Aku setengah berlari sambil sesekali menengadah, menahan air mata. Tak menghiraukan tatapan aneh orang-orang di sekitar. Tak peduli. Sungguh, aku hanya ingin segera menghilang ke dasar bumi detik ini juga.
Seseorang mencekal lenganku saat tiba di halaman depan. Aku menoleh. Bang Ash.
"Ars, kenapa?" Jelas sekali dari raut wajahnya bahwa dia sedang khawatir.
"Ars!" Evan sudah berdiri di belakangku.
Bang Ash bergantian menatapku dan Evan.
"Ada apa ini, Van?"
"Ars, ayo aku anter pulang," ajak Evan. Dia menarik tanganku, tapi segera kutepis.
"Nggak! Aku bisa pulang sendiri!" jeritku.
"Van, jelasin! Apa yang ...."
"Stop, Ash! Ini urusan gue sama Arsyana!"
Evan menarik paksa lenganku. Aku menoleh pada Bang Ash yang tengah mematung melihat Evan menyeretku hingga ke mobil.
"Lepasin!" Aku menepis tangan Evan yang mencengkram dengan kuat. Sedikit bercak merah di atasnya. Aku meringis.
Evan membuka pintu mobil. "Masuk!"
Aku tak bergeming.
"Arsyana! Masuk!"
Aku segera masuk ke dalam mobil, di susul Evan. Dia mengemudikan mobil dengan cepat. Tak ada sepatah kata pun yang ke luar dari mulut kami. Aku tak peduli seberapa cepatnya dia melaju. Kami larut dalam pikiran masing-masing.
Di jalanan sepi, yang kanan kirinya hanya terdapat pohon-pohon yang menjulang, rem berdecit ketika Evan mendadak menghentikan lajunya. Napasku terengah.
"Sakit?" tanyanya.
Aku memalingkan wajah.
"Aku minta maaf, Ars. Aku ... nggak bermaksud kasar sama kamu. Tapi, tadi ada Ashkara. Aku nggak mau ada yang ikut campur."
Aku diam.
"Ars, aku jelasin satu-satu ya. Vanesha, dia nggak lebih dari partner aku. Aku sama dia kebetulan satu divisi. Tadi ... dia cuma nganterin berkas-berkas yang harus aku selesaikan aja. Nggak lebih."
Aku masih diam.
"Lalu ... perempuan yang anterin dasi itu, aku nggak tau, Ars. Aku bener-bener nggak tau. Bahkan, aku nggak liat wajahnya. Siapa tau perempuan itu temen kantor aku yang lain."
Air mataku luruh. Tak sanggup lagi untuk menahannya lebih lama. Apa saat ini aku sedang cemburu buta? Atau apa?
"Aku harap, kamu percaya sama aku, Ars."
Evan meraih jemariku. Erat.
"Aku ... aku bingung," ucapku disela isakan tangis. Aku menarik tangan yang digenggam Evan. Kemudian menutup wajah dengan kedua tangan.
Evan beringsut mendekat, lalu memelukku. Tak ada kekuatan untuk menolaknya. Aku pasrah. Aku sadar. Aku telah mencintainya sedalam ini. Apa ini salah?
"Aku cinta sama kamu, Arsyana. Aku nggak akan kecewain kamu," bisiknya.
Siapa sebenarnya pria yang tengah memelukku saat ini? Dia yang membuatku goyah. Dia pula yang menenangkan. Sungguh, aku tak mengerti.
Pernikahan yang mendadak. Apa itu termasuk sebuah kesalahan? Aku sama sekali belum mengenali suamiku sendiri. Siapa dia sebenarnya? Dan ... siapa perempuan-perempuan di belakangnya?
"Kamu maafin aku kan?" tanyanya lirih.
Aku mengangguk ragu.
Mungkin aku terlihat bodoh saat ini.
Entahlah.
"Jangan buang air mata kamu."
Evan menyeka air mata yang menetes di kedua pipi. Lalu, mengecup keningku.
"Kamu ... satu-satunya di muka bumi yang kusebut cinta."
Kini, dentuman indah dalam hati kembali menjalar. Zat dopamin dan oksitosin kembali membanjiri otak. Aku seperti mendapat kekuatan super dari dalam tubuh.
Hanya penjelasan receh seperti ini saja bisa membuatku melayang. Aku terlalu bodoh. Aku jatuh cinta. Aku jatuh cinta, Evan!
***
"Nggak ada apa-apa, Bang."
Malamnya, Bang Ash menelponku. Menanyakan perihal kejadian tadi sore. Dia terdengar cemas. Andai saja, aku bisa sedikit menyembunyikan emosi di depan Bang Ash, akan kulakukan. Jika sudah seperti ini, baikan dengan Evan adalah hal yang memalukan.
"Serius, Bang. Aku sama Evan baik-baik aja. Lu nggak usah khawatir ya?"
Aku mengakhiri panggilan dengan Bang Ash. Dia hanya memastikan bahwa aku baik-baik saja. Kurasa begitu.
"Kamu minum ini. Biar lebih rileks."
Evan membawakanku secangkir cokelat panas. Aku menyesapnya sedikit. Lalu, dia mengusap sesuatu di atas bibirku.
"Kamu kayak Latisha deh kalo gini. Bikin aku gemes." Dia mengambil cangkir dari tanganku, dan disimpan di atas meja.
Jelas saja, wajahku pasti memerah.
Lalu, dia beringsut duduk di sebelahku, di atas tempat tidur. Membentangkan selimut, kemudian membenamkan kepalaku di dadanya.
Aku bisa merasakan detak jantungnya. Sedikit saling memburu. Desahan napasnya, berembus lembut di atas rambut.
"Ars ... kamu tau nggak ... apa yang paling kutakuti di dunia ini?"
Bola mataku berputar-putar. Memikirkan jawaban atas pertanyaannya. Nihil.
"Apa?" Aku balik bertanya.
"Aku takut jadi pengecut."
"Kenapa?"
"Karena dengan menjadi pengecut, aku nggak berarti apa-apa buat kamu."
Hening.
Dia mengusap rambutku dengan sayang. Aku bisa merasakan sentuhan tangannya begitu lembut, dan penuh cinta. Ah, aku selalu menyukai setiap sentuhan-sentuhannya
"Aku ingin jadi seseorang yang berarti buat kamu, Ars."
"Van ...," lirihku.
"Ya?"
"Aku nggak tau, apa yang akan terjadi selanjutnya ... tapi, aku harap ... kamu selalu jujur sama aku."
Evan terdiam sesaat dari aktifitas membelai rambutku. Lalu, dia bergumam, "pasti.".
Kini, aku balas memeluknya. Merasakan aroma tubuhnya. Untuk beberapa saat, hanya keheningan di antara kami, hingga aku terlelap dalam buaiannya.
***
Aku membuka mata saat sinar matahari masuk melalui jendela yang terbuka. Evan sudah bangun terlebih dahulu. Dia sudah berpakaian rapi siap ke kantor.
"Pagi, Sayang ...," sapanya setelah menyadari aku membuka mata.
Dia menghampiriku sambil membawa sepiring sandwich di tangan kiri, dan secangkir teh panas di tangan kanan. Lalu, meletakannya di atas meja.
"Aku buatin sarapan buat kamu."
"Maaf, aku telat bangun," ucapku dengan suara yang masih terdengar parau.
"Nggak apa-apa, Sayang. Aku liat, kamu tidurnya nyenyak banget."
Aku tersenyum. Evan mencium keningku. Lalu, alisnya bertautan. Dia meletakan punggung tangan di atas dahiku.
"Badan kamu panas, Ars."
Aku menggeliat. Memang, suhu badanku sedikit hangat. Dan rasanya kepalaku sedikit berat.
"Aku nggak apa-apa."
"Nggak, Ars. Kamu panas." Evan kembali menyentuh dahiku dengan punggung tangannya.
Aku menepisnya. "Aku nggak apa-apa, Evan."
"Kita ke Dokter sekarang ya?"
"Aku nggak mau!" Aku menarik selimut hingga menutupi seluruh tubuh.
"Ars ...."
Evan menyibakan selimut di bagian wajah.
"Aku nggak mau ke Dokter, Evan. Aku istirahat di rumah aja. Aku nggak apa-apa," kataku mengiba.
Evan menghela napas pelan. "Ya udah, aku temenin kamu di sini ya?"
"Kamu kerja aja, Van. Aku bilang, aku nggak apa-apa."
"Kamu keras kepala, aku juga!"
Dia menyilangkan kedua tangan di atas dada. Aku terkikik geli. Ya, semanis itulah dia. Salah satu bagian yang kusuka tentangnya.
Kemudian Evan membantuku duduk. Bersandar pada bantal yang mengganjal antara tubuhku dan tempat tidur.
"Kamu sarapan dulu ya, aku suapin."
Aku menggeleng.
"Kenapa? Kamu harus makan, Ars. Terus minum obat."
"Perut aku nggak enak."
Evan mengerutkan dahi. "Kalo gitu kamu mau makan apa? Aku beliin ya."
Aku menggeleng lagi.
"Kenapa? Kamu harus makan. Biar cepet sembuh, Ars."
Aku menarik tangan Evan dengan kuat sehingga dia ambruk di atas tubuhku. Aku melingkarkan tangan di atas bahunya. Hingga tak ada jarak di antara kita.
Dia tesenyum, lalu mencium bibirku singkat.
"Kamu makan sekarang ya?"
Aku mengangguk ragu. Evan menyuapiku sepotong demi sepotong sandwich yang telah dibuatnya. Baru beberapa suap, perutku terasa tak nyaman. Seperti ingin muntah. Aku langsung berlari ke kamar mandi, dan memuntahkan semua isi perut.
Evan memijat tengkukku perlahan. Menyibakkan rambutku yang tergerai menutupi wajah. Aku menyalakan keran wastafel. Lalu, mendongakan wajah. Mengusap sisa percikan air di area mulut setelah kubasuh.
"Kamu baik-baik aja?"
"Aku nggak tau. Aku ... mual," kataku sambil mengusap perut.
"Ars ... kayaknya kamu harus ke Dokter deh."
"Nggak, Van. Aku cuma mual."
"Kamu mual karena ... mungkin ada sesuatu di perutmu."
Aku menatapnya lekat.
Sesuatu di perutku?
Apa itu?
Mungkinkah ... bayi?
Ting tong.
Bel berbunyi.
Aku dan Evan serempak menoleh.
"Kita liat siapa yang dateng. Abis ini, kita ke Dokter. Oke?"
Aku mengangguk. Kami segera melangkah menuju pintu. Evan meraih handle, dan membukanya.
Perempuan.
Ya, perempuan yang mengantarkan dasi kemarin.
Aku dan Evan berpandangan. Perempuan itu menyeringai, lalu memeluk Evan begitu saja.
Evan berontak melepaskan pelukan perempuan itu. Wajahnya merah padam.
"Boleh aku masuk?" tanyanya.
"Di sini aja, ada perlu apa?" tanya Evan ketus.
"Ajak dia masuk, Van!" perintahku.
Perempuan itu langsung masuk menerobos aku dan Evan. Langsung mendudukan dirinya di atas sofa.
Apa lagi ini ya, Tuhan?
Aku, Evan, dan perempuan itu kini duduk berhadapan. Saling menatap tajam. Menerka-nerka apa yang akan dikatakannya.
"Kenalin, aku Renata." Dia mengulurkan tangan.
Aku tak menjabatnya. Dia kembali menarik tangannya.
"Kalo nggak ada keperluan, lu pergi sekarang!" ucap Evan dengan nada tinggi.
Renata tersenyum, licik.
"Aku yakin ini menarik."
"Apa maksud kedatangan kamu ke sini?" tanyaku.
Renata menatapku, kemudian menatap Evan.
"Evan ... aku hamil."