Chereads / I Love You, Ars! / Chapter 1 - Arsyana 1

I Love You, Ars!

Lovayudia
  • --
    chs / week
  • --
    NOT RATINGS
  • 45.9k
    Views
Synopsis

Chapter 1 - Arsyana 1

Byurrr.

Aku mengerjap, mataku terbelalak. Merasakan sensasi dingin di sekujur tubuh. Terlebih di bagian wajah. Napasku terengah. Aku segera bangkit, duduk bersandar ditempat tidur.

"Sadar lu, Ars!"

Plak.

Bang Ash. Setelah menyiramku dengan air dingin, dia menamparku. Untuk pertama kalinya.

"Mau sampe kapan lu kayak gini, hah?"

Napas Bang Ash memburu. Wajahnya merah padam. Aku berusaha untuk mencerna semuanya. Oh ... ya! Aku pingsan semalam.

"Apaan sih lu, Bang? Kepala gue sakit!" erangku seraya memijit dahi.

Tiba-tiba aku merasakan mual di perutku. Seperti ada sesuatu yang akan menyembur dari dalam. Aku langsung berlari menuju kamar mandi. Dan memuntahkan semua isinya.

Aku kembali ke tempat tidur setelah membasuh wajah. Kudapati Bang Ash masih berdiri mematung, wajahnya terlihat panik.

"Jangan bilang kalo lu hamil!"

Aku mendelik. "Apaan sih lu, Bang? Ya nggaklah!"

Bang Ash terlihat ragu, tak percaya.

"Lu tau, Ars? Kalo Evan nggak bisa dateng semalem, gue nggak tau nasib lu kayak gimana sekarang!"

Evan? Siapa dia?

Aku menatap wajah pria di hadapanku. Pria yang dilahirkan lima tahun sebelum aku lahir. Pria yang selalu menjagaku selama tiga tahun terakhir, setelah orang tua kami meninggal.

"Maaf, Bang ...," ucapku pelan, takut.

"Simpen kata maaf lu! Coba itung, udah berapa kali minta maaf? Setelah minta maaf, apa? Gitu lagi kan?"

Bang Ash duduk di depanku. Dia menatapku dalam diam. Kini, napasnya mulai stabil. Dia mengacak rambut, kemudian mengusap wajahnya dengan kasar.

"Denger, lu nggak bisa seenaknya kayak gini terus. Lulus SMA, bukannya kuliah, malah leyeh-leyeh nggak jelas! Lu masih punya masa depan."

Aku mendelik. Ingin membantah, tapi takut Bang Ash meledak lagi. Lebih baik aku diam.

"Gue tanya sama lu. Apa yang bikin lu jadi kayak gini? Sering keluyuran malem, gabung sama temen yang nggak jelas. Lu tuh cewek, Ars!"

Hening.

"Gue tau. Aldi! Iya kan?"

Aku mengangguk. Pasrah.

"Tapi bukan kayak gini, Ars. Lu bisa cerita semuanya sama gue. Sama kayak waktu lu sering cerita sama mama."

"Bang! Lu gak sadar kalo lu terlalu sibuk? Bahkan, semalem pun lu gak sempet buat jemput gue."

"Gue kerja, Ars. Buat lu!"

"Bullshit! Kerja kok sampe tengah malem?"

Bang Ash menatapku lekat. "Gue bela-belain kerja sampe tengah malem cuma buat lu. Buat memenuhi kebutuhan lu sehari-hari. Maaf kalo gue gak ada waktu buat lu. Gue sayang sama lu, Ars. Lu tanggung jawab gue."

"Maaf, Bang," kataku pelan.

Bang Ash mengangguk, lalu berdiri. "Lu mandi, terus makan. Ini udah siang. Biar nanti Mbak Sri yang beresin kamar. Gue tunggu lu di depan. Ada yang mau gue omongin."

"Iya, Bang."

***

Aku duduk di antara tiga orang yang menatapku tajam. Penuh selidik, seperti sedang berada di tengah-tengah persidangan. Bang Ash, Mbak Sri, dan pria yang tak kukenal sama sekali.

Sepertinya, pria itu seumuran dengan Bang Ash. Terlihat dari raut wajahnya. Kesan maskulin kudapati saat melihat tubuh bidangnya dibalik kemeja berdasi yang dikenakan.

"Ars, denger. Gue ada tugas di Kalimantan ...."

Belum sempat Bang Ash melanjutkan perkataannya, aku langsung bangkit dari tempatku duduk. "Lagi, Bang?" tanyaku penuh emosi.

"Duduk, Ars! Dengerin gue dulu."

Aku kembali duduk dengan sedikit enggan.

"Gue ditugasin buat beresin proyek di sana. Kebetulan, Mbak Sri minta ijin buat pulang kampung, karena suaminya sakit."

"Terus? Gue sendiri?" Aku melirik Mbak sri yang segera menunduk.

"Lu ikut gue!" ucap Bang Ash tegas.

"Nggak mau!"

"Gue nggak bisa ninggalin lu sendirian di sini."

"Kalo gitu lu nggak usah pergi!"

"Gue harus tanggung jawab sama kerjaan gue." Bang Ash membelai rambutku. Layaknya seorang kakak yang begitu menyayangi adiknya. "Lu ikut gue, atau ...."

"Apa?"

Bang Ash melirik pria di sebelahnya. "Lu nikah sama Evan!"

"Hah?" ucapku dan pria itu bersamaan. Evan.

"Lu pilih, Ars."

Cih. Bang Ash menyebalkan. Baru kali ini aku berada di posisi sulit seperti ini. Sebelumnya, Bang Ash memang sudah sering tugas ke luar kota atau luar pulau. Tapi, baru kali ini dia memberiku pilihan.

"Arsyana Clarissa!"

Ini serius. Ya, jika Bang Ash sudah menyebutkan nama lengkapku, berarti tidak main-main.

Aku menatap Bang Ash, Mbak Sri, dan Evan bergantian. Dan melemparkan bantal yang sedari tadi kupeluk, sambil berlalu. "Kalian jahat!"

Aku berlari menuju kamarku, dan membanting pintu kuat-kuat. Kujatuhkan diri di tempat tidur yang sudah rapi dibereskan Mbak Sri. Memeluk bantal sambil terisak.

Tok tok tok.

Aku tak menjawab. Tapi, kemudian pintu terbuka. Bang Ash masuk ke kamarku, dan duduk di samping tempat tidur.

"Ars ...," lirihnya sambil mengelus rambutku.

"Abang jahat!"

"Ars ... denger. Gue sayang banget sama lu. Gue nggak mau terjadi apa-apa sama lu selama gue nggak ada."

Aku bangkit, duduk berhadapan dengan Bang Ash.

"Kalo lu nggak mau ikut, nggak apa-apa ...."

"Tapi gue nggak mau nikah sama Evan!" Aku menyela.

Bang Ash tersenyum, berusaha lembut padaku. Kadang, aku memang tak tahu diri. Bang Ash begitu baik, dia bertanggung jawab atas kehidupanku setelah orang tua kami tiada. Dia yang selalu memenuhi kebutuhanku.

Dua tahun setelah lulus SMA, aku tak memanfaatkan waktu dengan baik. Aku menjalin hubungan dengan Aldi, si laki-laki brengsek. Dia menikah dengan perempuan lain, setahun setelah kami berpacaran. Tentunya, karena perempuan itu sudah hamil terlebih dahulu. Itu yang membuatku sering berkumpul dengan teman-teman hingga larut malam. Hanya itu caraku agar aku bisa menghapus bayang-bayang sialan tentang Aldi.

"Lu nggak harus nikah sekarang. Seenggaknya, selama gue pergi, Evan yang jagain lu."

"Lu jadiin Evan mata-mata gue?"

"Gue cuma khawatir sama lu, Ars!" Bang Ash mengacak rambutku.

"Gue udah gede! Gue bisa jaga diri!" Aku menepis tangan Bang Ash.

"Semalem lu pingsan di pinggir jalan, lu bilang bisa jaga diri?"

Ya, Bang Ash ada benarnya. Beberapa tahun ini emosiku tak terkontrol, labil, sering meledak-ledak. Aku sering membuat masalah. Tanpa Bang Ash, entahlah nasibku sudah seperti apa.

"Jadi, lu mau kan tinggal sama Evan dulu sementara?"

Aku menghela napas. Pasrah. Lalu mengangguk.

Bang Ash memelukku. Aku selalu menyukai pelukannya. Membuatku sedikit lebih tenang dan nyaman.

"By the way, Evan orangnya baik. Lu pasti suka," bisiknya.

"Abang!" Aku mencubit perut Bang Ash.

***

Aku dan Evan berjalan di lorong sebuah apartemen setelah keluar dari lift. Kami menghentikan langkah di depan pintu bertuliskan 205. Lalu Evan menempelkan ID card di depannya. Pintu terbuka.

"Masuk," ajaknya.

Aku menurutinya. Mengamati keadaaan sekitar. Ruangan ini cukup luas. Ada satu tempat tidur berukuran besar, satu sofa dan meja yang di dindingnya sudah terpampang televisi LED. Di sebelah kiri, terdapat minibar minimalis satu set beserta kursinya. Dan kamar mandi di pojok ruangan. Di sisi kanan terdapat jendela berukuran besar yang bisa dibuka untuk melihat pemandangan di bawah melalui balkon.

"Van, kenapa nggak tinggal di rumah gue aja sih?"

"Di sini lebih deket sama kantor gue. Udah, lu jangan protes! Sekarang, lu tanggung jawab gue!" ucap Evan tegas seraya menuangkan air ke dalam gelas.

"Tapi, Van, lu liat ... cuma ada satu tempat tidur!"

Evan menoleh tempat tidur. "Lu tidur di sofa!"

'What? Udah gila nih cowok!'

"Gue nggak mau! Ya udah, dari pada tidur di sofa, mending gue pulang aja!" Aku hendak melangkah, tapi kemudian Evan menarik tanganku.

"Lu tidur di tempat tidur, gue di sofa. Puas?"

Aku tersenyum penuh kemenangan.

"Nyusahin!" bisiknya nyaris tak terdengar.

"Apa lu bilang?"

"Nggak!"

"Lu jangan macem-macem ya. Kalo nggak, gue laporin lu sama Bang Ash!"

"Heh! Ada juga gue yang takut di macem-macemin sama lu!"

Aku mengibaskan tangan, tanda tak peduli apa yang diucapkannya. Aku merebahkan diri di atas kasur yang empuk itu. Ternyata cukup nyaman. Dan yang kusuka, apartemen Evan cukup bersih.

Tiba-tiba Evan sudah berdiri di depanku. Meregangkan dasi yang melingkar di lehernya. Kemudian membuka kancing kemejanya satu-persatu.

Aku tersentak, panik. "Lu mau ngapain?"

Evan mengerutkan dahi. "Gue mau ganti baju lah!"

"Sana di kamar mandi!"

Evan mendelik ke arahku. Tapi akhirnya dia melangkah ke kamar mandi sambil membawa baju ganti.

Akhirnya aku bisa bernapas lega. Kupejamkan mata, tertidur.