Aku sedang terlelap ketika sesuatu menyentuh lenganku. Ruangan masih berpenerangan temaram. Sengaja kumatikan lampu saat hendak tidur tadi.
"Van ...," bisik seseorang di telingaku.
Aku membuka mata. Masih merasakan kantuk luar biasa. Karena aku yakin, belum lama aku terlelap.
Aku mendongak, ketika kudapati seseorang bergelayut di lenganku. Arsyana. Bukankah, tadi dia sudah tidur terlebih dulu?
"Van ...," bisiknya lagi.
"Apa sih, Ars? Ini masih malem kan?" tanyaku malas sambil menguap. Berbalik menghadap sandaran sofa.
"Van, bangun!" Arsyana menarik lenganku.
Ini menyebalkan!
Aaarrrggghhh.
Aku bergegas duduk. Menepis tangannya yang bergelayut manja pada lenganku. "Apa?" tanyaku ketus.
"Gue laper," ucapnya sambil nyengir kuda.
Astaga ... bangun tengah malam hanya karena lapar?
"Banyak makanan di lemari es. Lu ambil, terus angetin di microwave."
"Nggak mau. Gue maunya mie rebus pake telor, terus cabe sama sayurannya yang banyak."
Aku mengacak-ngacak rambut. Frustasi.
"Ars ... di lemari es udah lengkap semua yang lu mau. Lu tinggal masak sendiri."
"Tapi gue nggak bisa masak. Bikinin, Van ...," Arsyana menarik-narik lenganku merengek persis anak kecil.
Aku menatapnya dalam keremangan, sedikit cahaya dari lampu tidur menyoroti matanya. Kuakui, perempuan ini begitu manis. Bisa membuat siapapun yang melihatnya terpesona. Tak terkecuali aku.
Teringat kemarin, saat Ashkara -teman baikku- memintaku untuk menjemput Arsyana -adiknya- di salah satu klub malam. Saat itu, aku tengah berjalan di parkiran, tiba-tiba melihat target tujuanku.
Aku menghampiri Arsyana yang sedang berjalan sempoyongan. Memegangi kepalanya, dan meracau tak jelas.
"Arsyana!" teriakku.
Dia menengadah. Memicingkan mata. "Bang Ash? Kok muka lu beda?" racaunya sambil menepuk-nepuk pipiku.
"Ayo pulang!"
"Bang ... kenapa Aldi ninggalin gue? Kenapa, Bang, kenapa?"
Aku menopang lengannya. Membantunya berjalan.
"Bang ... Bang Ash!" Dia menarik tubuhnya hingga terjatuh.
Aku hendak membantunya berdiri, tapi dia menarikku. Hingga aku berada dalam pelukannya.
"Bang ... peluk gue."
Aku ... memeluknya. Tanpa dia sadari, aku pernah beberapa kali melihatnya saat berkunjung ke rumah Ashkara. Hingga suatu waktu, aku melihatnya berbeda. Aku menempatkannya di salah satu sudut di dalam hati.
"Bang Ash ... muka lu beda. Terus ... muka lu banyak banget. Berenti muter-muter, Bang. Gue pusing!"
Tiba-tiba Arsyana terkulai di pangkuanku. Pingsan.
Itulah saat aku dengannya berada dalam jarak yang begitu dekat. Walau sering melihatnya sebelumnya, tak pernah sedekat ini. Bahkan, dia tak pernah menyadari kehadiranku saat berkunjung ke rumahnya.
Kini, Ashkara menyerahkan tanggung jawabnya padaku selama dia bertugas di Kalimantan. Sebenarnya aku senang, karena bisa berdekatan dengan Arsyana. Tapi, sedikit berat. Karena dia perempuan yang masih labil. Belum bisa mengontrol emosinya. Tapi, akan kubuktikan pada Ashkara kalau aku mampu menjaganya.
"Evan!"
Aku terkesiap. Mendapati Arsyana menatapku heran. "Eh?"
"Gue ... laper!" pekiknya.
Aku segera beranjak menuju pantry. Memilih bahan makanan yang dipinta Arsyana. Memotong sayuran, dan menyiapkan panci berisi air. Sambil sesekali menguap, menahan kantuk.
"Bisa-bisanya ya ... lu udah tidur, terus kebangun gara-gara laper."
Arsyana menopangkan kedua tangannya di atas minibar. Memandangi kepulan asap di atas tungku.
"Salah sendiri! Kenapa lu nggak kasih gue makan?" katanya enteng.
"Lu nggak minta!"
"Lu nggak peka!"
Aku menggeleng. Arsyana. Si perempuan ajaib. Mabuk bisa, masak mie doang nggak becus. Luar biasa.
"Nih."
Aku menyodorkan semangkuk mie rebus. Yang langsung diterimanya dengan binar bahagia. Arsyana langsung menyantapnya tanpa jeda.
Yang kulakukan hanya bersedekap tangan. Melihatnya menyantap mie rebus tanpa ada embel-embel jaim, membuatku sedikit kagum. Tak seperti kebanyakan perempuan di luaran sana.
"Lu nggak makan?" tanyanya dengan wajah tanpa dosa.
Aku menggeleng. "Kenyang gue liat lu makan."
"Ya udah."
Arsyana kembali menyantap mie rebus. Tak berapa lama, mie rebus dalam mangkuk habis tak tersisa.
"Kenyang?"
"Kenyang. Thank's ya."
Cup.
Arsyana mengecup pipiku.
Hening.
"Eh, sorry, kebiasaan gitu sama Bang Ash. Gue nggak sengaja, sorry ya," katanya cepat-cepat.
Aku menaikkan alis, berusaha menunjukkan muka masam. Kemudian meninggalkannya di pantry tanpa satu patah kata pun. Bukan karena aku marah dia telah menciumku. Tapi, lebih karena ada debaran aneh yang mengganggu di dalam hati.
Aku kembali tidur di sofa. Menghadap sandarannya. Mataku terpejam, tapi pikiranku melayang-layang. Aku segera menutup seluruh tubuh dengan selimut saat terdengar suara langkah Arsyana. Shit. Jantungku seperti mau lompat!
***
Pagi ini tak seperti biasanya. Badanku terasa tidak fresh. Bagaimana tidak? Semalaman aku mengurusi debaran terkutuk itu. Padahal, bila kulihat, perempuan itu bisa tertidur pulas. Seperti pagi ini, dia masih terbuai mimpi indahnya di balik selimut.
Aku membuka lebar-lebar semua gorden, agar cahaya matahari bisa masuk melalui celahnya. Kudapati Arsyana mengerjapkan matanya karena silau.
"Heh, bangun!" kataku sambil menyibak selimut.
"Eeemmmhhh ... gue masih ngantuk!" erangnya sambil menarik kembali selimutnya.
Aku berkacak pinggang. Selain menggemaskan, perempuan itu juga menyebalkan. Kutarik selimutnya. Dan membopongnya ke kamar mandi. Lalu, kuceburkan tubuhnya di atas bathtub yang sudah terisi penuh dengan air dingin.
"Aaaaa!" jeritan Arsyana melengking di dalam kamar mandi. "Dingin, Evan! Kasar amat sih!"
Aku tak menghiraukannya. "Gue mau ke kantor. Lu jangan macem-macem di sini!" ucapku tegas sambil melangkah ke luar.
Aku bergegas berangkat kerja. Mengunci apartemen dari luar.
***
Sore hari, saat aku pulang dari rutinitas harian, perasaanku begitu cemas. Aku diliputi rasa khawatir yang luar biasa. Tak hentinya aku memikirkan tentang Arsyana. Bagaimana bisa aku menguncinya dari luar? You know what ... dia perempuan seperti apa?
Pikiran negatif melayang-layang di kepalaku. Bagaimana jika perempuan labil itu nekat terjun dari lantai lima saat dia menyadari terkunci dari luar? Oh, ya Tuhan ... aku ingin segera sampai.
Aku memarkirkan mobilku dengan asal. Aku harus segera masuk untuk memastikan keadaanya. Berlari menuju lift, menekan cepat tombolnya. Kukepalkan jemariku, takut terjadi sesuatu dengan Arsyana.
Setelah lift terbuka, aku langsung berlari menuju kamar. Kubuka pintu kamar setelah menempelkan ID card. Dan ... pemandangan yang tak biasa sedang terjadi di hadapanku.
Sampah kemasan bekas makanan ringan berserakan di atas meja. Baju-bajuku, berantakan di atas tempat tidur. Astaga ... apa lagi ini?
Arsyana sedang terlelap di atas sofa, di mana banyak sisa makanan ringan bececeran di sekitarnya. Dia memakai celana pendek, dan kemeja putihku yang kebesaran di badannya. Tapi, aku sedikit lega, karena ternyata dia baik-baik saja.
"Ars, bangun!" Aku menepuk-nepuk pipinya. Matanya terbuka.
"Eh, lu udah pulang?" Arsyana menguap, meregangkan otot-ototnya.
"Lu udah makan?" tanyaku.
Arsyana menggeleng. "Lu tega ngunciin gue!" katanya pelan sembari ngucek-ngucek mata.
Aku tersenyum geli. Perempuan ini, begitu manis, dan lucu. Kadang, dia seperti bom waktu yang siap meledak kapan saja, layaknya anak kecil. Tapi ternyata, dia juga bisa bersikap lembut seperti ini.
"Maaf. Kalo gitu, kita makan dulu ya? Gue bawain nasi goreng nih buat lu."
Arsyana tersenyum, lalu mengangguk. Kami menyantap nasi goreng bersama. Sesekali kulirik dia, begitu lahapnya memakan makanan yang berada di depannya itu. Aku jadi merasa bersalah.
"Jadi, lu brutal gini karena kelaperan?" Aku membuka pembicaraan setelah menghabiskan satu suapan nasi goreng terakhir. Mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru ruangan.
Arsyana mengamati sekelilingnya. Lalu tersenyum malu.
"Sorry, Van ... abisnya, gue cuma nemu makanan ini. Gue nggak bisa nyalain microwave, takut panas kena tangan."
"Tapi, lu kan bisa makan sambil kalem aja gitu. Nggak usah berantakan di mana-mana. Terus, kenapa baju gue, kemeja-kemeja gue, ikut diberantakin juga?" Aku menatap kemeja yang dikenakannya. Putih, tapi banyak noda di mana-mana.
"Gue bingung mau pake baju yang mana. Setelah gue coba, baju lu kegedean semua."
"Tapi, kan bisa lu beresin lagi, masukin lagi ke lemari."
"Ya, sorry ...."
Aku meneguk segelas air putih. Lalu memeriksa ponsel.
"Van ...," bisiknya.
"Hm ...." Mataku masih menatap ponsel, mengetik sesuatu di atasnya.
"Gue mau nikah sama lu."
Kuhentikan aktifitas, mencoba menajamkan pendengaran.
"Gue mau nikah sama lu, Evan!"
Aku beralih menatapnya. Tak ada tanda-tanda bahwa dia sedang main-main.
"Lu nggak salah? Setelah lu bikin tempat gue kayak kapal pecah, lu bilang pengen nikah sama gue?"
Arsyana menatapku. "Gue serius, Van. Gue mau nikah sama lu."
Aku memegang bahunya. "Ars ... denger, lu nggak usah hirauin perkataan Ashkara. Gue cuma diperintahin buat jagain lu doang. Setelah dia balik dari tugas, gue pulangin lu sama Ashkara. Selesai."
"Sesederhana itu? Lu pikir gue barang?" Arsyana tersenyum kecut.
Aku melepaskan tangan dari bahunya. "Lu jauh lebih berharga dari barang, Ars. Bahkan berlian sekali pun. Maka dari itu, gue harus bertanggung jawab atas apa yang Ashkara amanahin sama gue."
"Gue tau kok, lu suka kan sama gue?"
Aku memalingkan wajah. Berharap Arsyana tidak terlalu dalam melihat kenyataan di mataku.
"Evan, tatap mata gue!" Arsyana menyentuh kedua pipiku. Membuat mataku menatapnya mau tak mau.
Hening.
Hanya decak jarum jam yang terdengar. Haruskah aku jujur, dan menikahinya?
"Ini bukan soal amanah Bang Ash. Tapi, karena ...."
Aku menatapnya, menunggunya melanjutkan perkataan.
"... Gue nggak mau dibilang kumpul kebo!"
Aku terkikik geli. Perempuan ini memang menggemaskan.
"Jangan ketawa!"
"Cuma itu alesannya?"
"Satu lagi."
"Apa?"
Arsyana berbalik, memunggungiku. "Kayaknya gue mulai suka sama lu."
Hatiku berdebar. Benarkah? Secepat itu? Bukankah dia perempuan labil?
Aku menariknya hingga kembali menghadapku. Dia menunduk. Kudongakkan wajahnya yang sudah memerah dengan menyentuh dagunya. Kurasa, dia salah memilih pakaian.
Sebenarnya, melihat dia berpakaian seperti itu malah membuatnya terlihat seksi. Lelaki mana yang tahan berada dalam satu ruangan tertutup dengan seorang perempuan yang begitu menggoda? Hanya aku. Terlebih, aku memang sudah menyukainya sejak dulu. Kurasa, menikahinya adalah pilihan tepat.
"Kita nikah. Besok," ucapku yakin.