Kami tengah berkumpul di meja makan, untuk menyantap sarapan pagi ini. Tak ada yang berbicara, hanya terdengar dentingan sendok dan garpu yang beradu dengan piring. Terlebih, Papi memang tak menyukai obrolan ketika sedang menyantap makanan.
Aku meneguk segelas air putih, setelah menghabiskan sarapan. Kulirik Arsyana, dia sedang mengaduk-ngaduk makanan di atas piringnya, hanya sedikit yang dimakan. Papi dan Erika telah menghabiskan makanannya masing-masing.
"Mami, Papi ... jadi, Arsyana ini calon istri Evan," ucapku yakin saat membuka obrolan.
Uhuk.
Mami tersedak saat sedang melahap suapan terakhir. Erika langsung memberikan segelas air putih. Papi menatapku serius.
"Kamu yakin?" tanya papi.
Aku mengangguk. "Yakin, Pi. Semuanya lagi Evan siapin. Kita nikah minggu depan."
Mami melirik Arsyana. "Kenapa tiba-tiba begini, Van? Ada apa?"
"Nggak ada apa-apa, Mam. Kita saling cinta, jadi ingin secepatnya menikah." Aku menggenggam jemari Arsyana. Berharap dia tak protes sedikit pun.
Arsyana melepaskan genggaman tanganku. Dia terlihat kikuk, sedikit salah tingkah.
"Maaf, Om, Tante, aku mau ke toilet."
Mami melirik Erika, mengisyaratkan agar mengantar Arsyana ke toilet. Erika bangkit dari tempat duduknya.
"Yuk, gue anter."
Arsyana tersenyum. "Permisi." Kemudian mengekor Erika dari belakang menuju toilet. Mami hanya tersenyum kecut, tidak seperti papi yang memberikan senyum tulusnya.
"Evan, jelasin! Kamu udah lama nggak pulang, sekalinya pulang bawa perempuan, dan bilang mau nikah minggu depan. What the hell?" Mama mengintrogasiku setelah Arsyana tak terlihat.
"Mam, please ... umur aku udah lebih dari cukup untuk menikah. Nggak ada yang salah."
Mama bersandar dengan kasar pada kursinya.
"Evan bener. Dia udah seharusnya menikah." Beruntunglah papi membelaku. Dibanding mami, papi selalu yang paling mengerti keadaanku. Papi selalu menghargai keputusanku.
"Tapi, nggak tiba-tiba kayak gini. I'm so surprised! Wait ... kamu hamilin dia?" Mama menatapku tajam sambil mengacungkan garpu di depanku.
Aku tertawa. Ya, mami memang seheboh itu. Apapun tanpa pemberitahuan sebelumnya, dia akan menentang.
"Nggak lah, Mam," jawabku santai.
Mami menarik napas lega. "Berapa umurnya?"
Aku memutar bola mata. "Mungkin ... dua puluh."
"Mungkin?" Mama melotot.
Aku mengangkat bahu. "Nggak masalah kan?"
"Terus, orang tuanya ... kamu udah lamar langsung? Kenapa nggak bilang Mami sama Papi sebelumnya?"
"Orang tuanya udah meninggal. Jadi, Arsyana itu adenya Ashkara, Mam. Teman baik Evan."
"Terus, kenapa kamu ajak dia tinggal di sini?" tanya Papi.
"Jadi, Ashkara kan lagi beresin proyek di luar pulau, Pi. Aku nggak tega kalo dia harus tinggal sendirian di rumahnya. Ya Evan ajak dia ke sini. Tapi cuma sementara kok. Sampe kami nikah."
Mami dan papi berpandangan. Lalu Arsyana sudah kembali ke meja makan. Mami memijit-mijit dahinya, seraya berlalu.
"Oh, my headache!" pekiknya.
***
Aku membawa tas berukuran besar ke dalam kamarku di lantai dua. Arsyana mengikuti dari belakang. Dia mengedarkan pandangan ke sekitar. Tanpa senyum, tanpa ekspresi.
"Ini kamar gue. Lu bisa tidur di sini."
Aku meletakkan tas besar itu di depan lemari. Kemudian menyibakkan gorden yang langsung disambut oleh sinar mentari melalui celahnya.
Kamarku cukup luas, bersih dan rapi. Ada kamar mandi di dalamnya. Jendela yang menghadap ke halaman samping rumah, di bawahnya terdapat beberapa tanaman hijau. Kurasa, Arsyana akan nyaman di sini, sama sepertiku.
"Evan ...," lirihnya.
Aku berbalik. "Ya? Kenapa?"
"Gue nggak mau tinggal di sini. Kayaknya ... mami nggak suka sama gue," ucapnya dengan nada pelan.
Aku mengelus rambutnya dengan sayang, dan menyibakkan ke belakang telinga.
"Lu nggak usah takut ...."
Arsyana menepis tanganku. "Gue nggak takut."
"Oke. Gini ... ini pertama kalinya mami ketemu sama lu. Dia cuma kaget. Tapi sebenarnya, dia baik kok. Trust me."
Arsyana menatapku, tersirat kegundahan dalam matanya. Sebenarnya, aku tak tega mengajaknya tinggal di sini. Dengan sikap mami yang begitu ketus. Tapi, tak ada pilihan lain. Dua malam saja dia di apartemen, aku hampir tak bisa menahan hasrat kelelakianku, ketika kemarin hampir menciumnya. Ini karena aku begitu menyukainya. Apa yang akan dikatakan Ashkara jika aku sudah menyentuhnya terlebih dahulu?
"Gue di apartemen lu aja ya?" pintanya.
"Nggak! Badan gue pegel-pegel tidur di sofa terus," elakku.
Dia duduk di ujung tempat tidur. Mengusap lembut selimut di atasnya. Bibirnya cemberut, matanya mendelik.
"Nggak lama kok. Cuma seminggu. Setelah kita menikah, gue ajak lu ke sana lagi," tambahku.
"Cih. Udah gue bilang. Gue ini kayak barang. Over sana, over sini. Gitu aja terus!"
"Udah gue bilang juga. Lu lebih berharga dari berlian sekali pun."
Aku melihat jam di tanganku, menunjukkan pukul delapan.
"Udah jam delapan. Gue ngantor dulu ya. Perjalanan dari sini kan lumayan jauh. Kita ketemu lagi di hari pernikahan kita. Oke?"
Arsyana tak menggubris perkataanku. Aku hendak melangkah ke luar, tapi seketika teringat sesuatu.
"Oh ya ... pesta pernikahan apa yang lu suka?" tanyaku.
Dia melirikku, kemudian mengalihkan pandangannya ke luar jendela. "Gue nggak mau ada pesta pernikahan."
"Kenapa? Bukannya semua perempuan punya pesta pernikahan impian masing-masing?" tanyaku heran.
"Gue juga punya. Tapi dulu ...."
"Jangan dilanjutin. Gue nggak mau lu inget-inget itu lagi. Kalo gitu, pesta kita rayain setelah Ashkara pulang ke sini dalam waktu yang lama."
Arsyana mengangguk tanpa melihat ke arahku. Entah apa yang dipikirkannya. Aku melangkah ke luar meninggalkan dia sendiri di kamar.
Aku melewati ruang tengah, di mana mama, papa, dan Erika sedang duduk di sofa.
"Pi, Mam, Kak ... Evan balik dulu ya. Harus cepet-cepet sampe kantor."
"Kamu pulang ke sini?" tanya mama.
"Nggak, Mam. Evan balik ke apartemen. Biar nggak kejauhan."
Mami hanya mendesis.
"Take care, Van," ucap papi.
"Always. Kak, ikut gue bentar ke depan. Gue mau ngomong."
"Okay." Erika melangkah mengikutiku.
Sesampainya di depan mobil, aku berhadapan dengan Erika. Erika adalah kakak perempuanku. Aku dengannya hanya terpaut jarak satu tahun. Dia sudah menikah dan mempunyai anak perempuan berusia lima tahun. Kini, suaminya sedang berkerja di luar negeri.
"Gue nitip Arsyana sama lu. Jangan sampe mami macem-macem sama dia," ucapku tegas.
"Beres. Lu tenang aja."
"Bukannya gue nggak percaya sama mami. Tapi, lu tau kan mami orangnya kayak gimana?"
"Iya, gue ngerti. Udah lu sana. Ntar telat lagi."
"Oke, Kak. Gue berangkat dulu ya. Thank's."
Erika melambaikan tangan ketika aku memasuki mobil dan melajukan mesinnya. Aku mengendarai mobil dengan perasaan cemas. Aku teringat sifat mami, dan sifat Arsyana. Jika disatukan ... entah.
***
"Jadi, sekarang Ars tinggal di rumah orang tua lu?" tanya Ashkara di sebrang sana.
Aku mengapit ponsel di antara telinga dan bahu, menuangkan segelas air putih, dan meminumnya.
"Iya, Ash. Lu tenang aja. Di sana dia aman. Ada Erika juga yang nemenin, dia kakak gue."
"Gue cuma ngeri aja. Kalo sifat aslinya meledak gimana?"
"Nggak bakal. Menurut gue, dia sedang dalam keadaan tenang. Jadi nggak mungkin lah tiba-tiba meledak."
Ashkara tertawa renyah. "Kacau emang. Ade gue kayak bom, bikin orang kalang kabut."
Kini aku yang tertawa. "Bom waktu, yang siap meledak kapan aja."
Hening.
"Van ...."
"Ya?"
"Jaga ade gue baik-baik ya. Jangan pernah sia-siain dia. Hatinya rapuh, keadaannya labil, gampang nekat. Kalo terjadi sesuatu sama dia, lu orang pertama yang gue cari."
Hening.
"Lu percaya sama gue?" tanyaku.
"Lebih dari itu."
"Gue janji, Ash."
"Harus."
Kami mengakhiri obrolan. Aku merenung, mencerna semua perkataan Ashkara. Aku berani berjanji, karena memang tak ada niatan untuk sedikit pun menyakiti Arsyana. Tak akan pernah. Pegang janjiku, Ash.
Ponselku bergetar. Satu pesan dari Arsyana.
[Evaaan ... gue disiksa!!!]
Hah?
[Nggak usah drama.] balasku.
Lama tak ada balasan. Di pikiranku, apa iya? Disiksa? Ah, tidak. Kadang, dia memang suka berlebihan. Tak lama Arsyana membalas pesanku.
[Beneran, Evan. Masa, cuma gara-gara gue nggak tau apa makanan kesukaan lu, gue dibilang calon istri macam apa? Macam apa katanya, Evaaan! Mami lu jahaaat!]
Aku terkikik geli.
[Mau gue kasih tau?]
[Telat, lu, telaaaaat!]
[Gue suka rendang, Ars.]
[Bodo amaaat!]