Chereads / I Love You, Ars! / Chapter 7 - Arsyana 7

Chapter 7 - Arsyana 7

Hujan masih mengguyur saat aku menyuap sesendok affogato di apartement lounge. Berbeda dengan Evan, dia memilih secangkir espresso. Matanya fokus menatap layar laptop yang menyala di depannya. Seharusnya, hari ini dia sudah mulai bekerja. Tapi nanggung, katanya. Nanggung apa? Entah.

Benar kata Bang Ash, lama-lama aku meleleh oleh sikap manis Evan. Aku selalu suka ketika dia menatap mataku saat berbicara. Aku selalu suka ketika mendengar suaranya yang lembut saat memanggil namaku. Walau terkadang ada debaran yang menari-nari.

Evan mengerutkan dahinya sambil terus menatap layar, sesekali melirikku. Jemarinya lincah menekan-nekan keyboard. Ada pemandangan yang lebih menarik selain ini? Kurasa ... tidak! Dia terlihat seksi saat di depan laptop. Ah, aku mulai gila sekarang.

"Evaaan!"

Aku dan Evan menoleh.

Perempuan.

Dia memakai pakaian minim, sepatu hak tinggi, dan lipstik merah menyala di bibir. Perempuan itu menghampiri Evan, bergelayut manja, dan mencium pipinya.

Mata Evan terbelalak, lalu menggeliat tanda tak nyaman. Aku menatapnya nyalang. Menjijikkan.

"Evan ... kamu ke mana aja, Honey? Kita kangen loh sama kamu," ucap perempuan itu. Dia nyaris bergelayut lagi jika Evan tak menepisnya.

Honey?

Kita?

Kangen?

"Sorry, kita sibuk. Yuk, Ars!"

Evan menutup laptopnya dan segera menarik tangaku, berjalan menuju lift di lobi. Aku meninggalkan affogato-ku yang masih tersisa setengah. Mood booster-ku, nyatanya mood-ku jauh lebih buruk!

Di dalam lift aku melepaskan kasar genggaman Evan. Dadaku bergemuruh, pikiranku kacau. Bisa-bisanya dia menikmati saat perempuan lain mencium pipinya? Maksudku ... kenapa tak ada penolakan sama sekali?

Saat ini, aku sedang tak ingin melihat wajahnya. Tak sepatah kata pun yang diucapkan. Bahkan, dia tak memberi penjelasan sedikit pun mengenai kejadian barusan.

Evan meraih tanganku saat ke luar dari lift, namun kutepis. Sungguh, aku tak ingin disentuhnya. Aku benci.

Saat tiba di kamar, aku langsung meminum segelas air putih. Meringankan segala sesak di dada, menetralkan perasaan tak nyaman ini.

"Ars ...," lirihnya.

Aku menatap tajam matanya. "Siapa?"

"Aku nggak tau dia siapa."

"Tapi dia tau nama kamu, dia cium pipi kamu. Ada ya, orang nggak kenal tapi langsung meluk terus cium pipi? Ada?"

"Tapi aku beneran nggak tau dia siapa."

"Siapa, Evan? Jawab!" Aku menjerit. Napasku terengah.

Sekilas, aku teringat foto yang berada di dalam lemari Evan. Dia bukan Nadia, karena foto Nadia tersimpan rapi di dalam kotak di bawah kolong tempat tidur. Jelas bukan Nadia, karena Nadia tak ada. Ya, dia salah satu jalang yang ada di foto itu.

Evan menggeleng.

Aku tersenyum kecut. "Mungkin kamu hanya lupa!"

Aku bergegas melangkah menuju balkon. Namun kuurangkan, karena di luar hujan masih cukup deras. Aku hanya memandangi segerombolan air langit itu di balik jendela.

Evan memelukku dari belakang. Aku ingin berontak, tapi ditahannya. Dia semakin mengeratkan pelukan. Menciumi rambutku dengan lembut. Aku memejamkan mata, tak sanggup menolak.

"Maaf, Sayang ...," bisiknya.

Cih.

Bahkan, aku terhanyut dalam pelukan dan kelembutan suaranya. Haruskah aku memaafkan? Atau mungkin ... Evan benar-benar lupa siapa jalang itu.

"Aku sebel sama kamu!" ucapku seraya berbalik, memukul bahu Evan.

"Kamu cemburu?" tanyanya sambil menyipitkan mata.

Aku cemburu!

Cemburu!

"Nggak!" Aku memalingkan wajah.

Evan menyentuh pipiku, membuatku mau tak mau menatap wajahnya.

"Aku suka liat kamu marah."

"Kamu suka dicium sama perempuan itu? Biar aku marah terus? Iya?" Aku mencubit perutnya.

Dia tersenyum geli. Lalu memelukku lagi, tapi kutepis.

"Jawab, siapa perempuan itu? Kenapa dia tiba-tiba cium kamu?" tanyaku tegas dengan tatapan serius.

Evan tertegun. Mungkin, dalam kepalanya saat ini sedang terjadi perdebatan sengit. Antara harus jujur atau tidak. Lalu dia tersenyum.

"Aku nggak tau, Ars," jawabnya sedikit menunduk.

Dia bohong, aku bisa melihat dalam matanya. Aku berbalik, kembali mengamati setiap tetesan air yang turun.

Kesalahanku, terlalu buru-buru mengambil keputusan. Aku tak tahu, kalau akan seperti ini. Baru beberapa hari aku menjadi istrinya, sudah ada masalah yang tak terduga seperti ini. Bagaimana nanti?

Aku tahu, dia jalang. Tak seharusnya aku marah, karena aku jauh lebih berharga dari pada jalang itu. Tapi, hatiku menolak. Aku sama sekali merasa tak nyaman. Tak ada kesinkronan antara hati dan logika.

Aku mendongakan wajah, agar air mata tak tumpah. Aku tak ingin Evan melihatku menangis. Terlebih, karena jalang sialan itu. Aku harus kuat, aku harus tegar. Bukankah, saat ini waktunya untuk mengedepankan logika dari pada hati? Karena Evan hanya milikku. Setahuku begitu.

Tapi, Bang Ash ... apa dia tahu sebelumnya?

***

Keadaan di pantry pagi ini sangat kacau. Seperti telah terjadi huru-hara. Awalnya, aku hanya ingin membuat sarapan untukku dan Evan. Tapi, tak berjalan begitu mulus.

Aku membuat dua porsi nasi goreng. Entah seperti apa rasanya. Sedikit kewalahan. Belum terbiasa, mungkin.

Satu suapan kumasukkan ke dalam mulut. Rasanya aneh. Dalam diam, aku menerka-nerka saat Evan mencicipi nasi goreng yang menurutku tak layak makan ini. Seperti apa ekspresinya?

Celana hitam slimfit, kemeja warna biru, dan dasi yang belum terpasang sempurna sudah melekat. Ya, ini hari pertama dia berkerja setelah kami menikah.

Evan menghampiriku di pantry. Mengamati keadaan di sekeliling yang kacau balau, kemudian mengecup keningku.

"Pagi, Sayang," sapanya.

Dia duduk di depanku dan langsung menyambar satu piring nasi goreng, lalu menyantapnya. Lahap. Aku terpaku. Bagaimana mungkin dia terlihat begitu menikmati makanan yang tak layak dimakan itu? Sedangkan aku langsung mual setelah mencicipi hanya satu sendok saja.

Dalam diam, tanpa suara. Aku masih seperti kemarin, sedikit dingin. Tak menggubris candaannya, tak menjawab pertanyaannya.

Aku dibuat takjub saat melihat Evan menghabiskan satu piring nasi goreng yang tak layak makan itu. Bagaimana bisa?

"Makasih, Sayang."

Dia mengecup keningku lagi.

Aku masih diam. Tapi, dalam hati sebenarnya terkikik geli. Mungkin ini salah satu caranya untuk mengambil hatiku?

Evan bersiap-siap berangkat kerja, memakai kaus kaki dan sepatu. Kemudian menyampirkan tas selempang di bahunya. Dia berjalan menuju pintu, aku mengekor di belakangnya.

"Aku kerja dulu ya."

Dia mengecup keningku. Lagi. Ketiga kalinya pagi ini.

Aku hanya mengangguk tanpa menatap matanya. Lalu, dia membuka pintu. Seketika, aku menahan tangannya. Dia menoleh.

"Sebentar," kataku seraya membetulkan dasi yang belum terpasang sempurna itu. "Udah."

Evan tersenyum, mencium bibirku. Lalu, melangkah ke luar pintu. Aku menatapi punggungnya yang semakin menjauh, kemudian menghilang saat dia masuk ke dalam lift.

***

Ternyata, ini rasanya jadi ibu rumah tangga yang tidak berkerja. Justru, pekerjaan rumah lebih berat, kurasa. Aku harus mencuci piring, menyapu dan mengepel lantai. Soal baju kotor, biarlah aku membagi rejeki pada jasa laundry.

Baru kali ini aku mengerjakan pekerjaan rumah. Ya, dulu aku seorang Putri. Apa yang kumau serba instan. Sekarang? Aku seorang Ratu, minus dayang-dayang.

Melelahkan.

Aku merebahkan diri di atas tempat tidur, sambil memeriksa chat yang masuk di ponselku. Ternyata ada pesan dari Erika.

[Ars, aku otw apartemen ya.]

Bingung. Ada perlu apa Erika sehingga mau mengunjungiku? Ah, mungkin sekedar ingin say hallo.

[Iya, Kak. Take care.] balasku.

Tak berapa lama, bel berbunyi. Aku terperanjat. Melihat pesan yang di kirim Erika, ternyata dia mengirim pesan sejak tadi. Pantas saja.

Aku melangkah menuju pintu, lalu kubuka.

Erika, bersama anak kecil, perempuan. Tubuhnya sedikit gempal, rambutnya panjang, matanya bulat, kulitnya putih. Ah, lucu sekali anak ini.

"Arsyana!" jerit Erika menyembul di balik pintu.

"Kak!"

Kami berpelukan. Sedikit berlebihan, mengingat baru bertemu dua hari yang lalu.

"Ini pasti Latisha, iya kan?" tanyaku sambil sedikit membungkuk.

"Iya, Tante. Ini Tante Arsyana ya, istri Om Evan?"

Aku mengangguk, kemudian Latisha menyalamiku. Ini pertama kalinya aku bertemu. Karena selama aku di rumah mami, Latisha sedang tinggal bersama nenek dari ayahnya.

"Yuk, masuk!" ajakku.

Ada perasaan tenang saat Erika tiba. Hampir saja tadi aku tergoda untuk berleyeh-leyeh sambil nonton K-drama. Kalau tidak, urusan perdapuranku bisa jadi ancaman.

"Mau minum apa, Kak?" tawarku sembari membuka lemari es.

"Ars, siang ini kita shopping yuk! Ada yang mau aku beli." ajak Erika.

Erika dan Latisha duduk di sofa. Latisha terlihat mengayun-ngayunkan kakinya, sambil sesekali tengok kanan dan kiri.

Dua gelas es jeruk sudah tersedia di atas meja. Erika langsung meminumnya. Aku menyodorkan setoples kue keju untuk Latisha. Dia memakannya.

"Emang mau beli apa, Kak?"

"Baju buat Latisha. Lusa mau ada acara fashion show."

Aku berpikir sejenak. "Aku bilang Evan dulu ya, Kak?"

Erika mengangguk.

Kuraih ponsel di atas tempat tidur, dan berjalan menuju balkon. Kusentuh nama Evan di kontak telepon.

"Iya, Sayang?" sapanya di sebrang sana.

"Ada Erika." Suaraku masih sedikit terdengar ketus.

"Bagus dong. Kamu jadi ada temennya."

"Tapi dia ngajak shopping," kataku ragu.

"Kamu mau shopping?"

"Ng ...."

"Kalo kamu mau shopping, nggak apa-apa. Di dalem laci lemari ada satu kartu kredit. Kamu pake aja. Terserah mau beli apa."

Fix.

Idaman.

"Ng ... boleh?" tanyaku malu-malu.

Padahal dalam hati sudah berteriak, 'YES!'.

"Boleh dong."

"Eeemmm ... Van?"

"Iya?"

"Maaf ...."

"Untuk?"

"Nasi gorengnya."

Evan terkekeh.

Dasar Arsyana bodoh!

Tut.

Langsung kuakhiri sambungan telepon tanpa pamit. Apalagi berterima kasih. Memang dasar aku, tak tahu diri terkadang.

***

Latisha berjalan di tengah-tengah antara aku dan Erika yang memegangi tangannya. Tak butuh waktu lama, aku sudah akrab dengan Latisha. Dia gadis kecil yang baik, pintar dan tidak cengeng. Mudah beradaptasi dengan orang baru. Manis. Pantas diikutkan dalam acara fashion show.

Kami menyusuri pertokoan di dalam mal. Dan memasuki salah satu outlet khusus untuk pakaian anak dan bayi. Erika langsung memilah dan memilih baju mana yang cocok untuk dipakai Latisha.

Seraya menunggu Latisha mencoba baju, aku memilih melihat-lihat di deretan baju bayi.

Bayi?

Bagaimana rasanya? Aku terkikik geli dalam hati.

Tiba-tiba ada seorang ibu hamil yang tak sengaja menjatuhkan barang bawaannya, lumayan banyak. Dia terlihat seperti kesusahan saat meraih barang yang berceceran di lantai.

Aku menghampiri ibu hamil itu, dan memunguti barang yang berjatuhan.

"Makasih, Mbak," ucapnya seraya tersenyum.

Perempuan hamil itu terlihat cantik. Rambut cokelatnya yang panjang dan bergelombang. Bibirnya agak tebal, sensual. Aku yang perempuan saja kagum, apalagi kaum pria?

"Sama-sama. Mbaknya ... sendiri?" Aku celingak-celinguk mencari sosok sang suami ibu hamil itu.

Dia tersenyum samar, lalu menggeleng.

"Oh, maaf,"

"Nggak apa-apa, Mbak. Saya permisi dulu."

Dia berjalan menuju kasir. Bila kutaksir, usia kandungannya terlihat sekitar tujuh atau delapan bulan. Entahlah. Aku belum pernah merasakannya.

"Ars!"

Aku menoleh. Ternyata Erika dan Latisha sudah ke luar dari fitting room.

"Liatin apa?" tanyanya.

"Eh? Ng-gak kok, Kak. Gimana, udah selesai?"

"Coba liat, bagus nggak menurut kamu?"

Erika memutar badan Latisha perlahan. Dia mengenakan dress berwarna peach di atas lutut. Tak begitu hanyak aksen, simpel, dan elegan

Aku tersenyum, dan mengacungkan dua jempol.