"Bang, gue kangen." Aku merengek ketika wajah Bang Ash muncul di layar laptopnya Evan. Aku menemukannya di dalam lemari saat kebosananku datang, dan menjadi brutal.
"Baru juga sehari, Ars. Eh, gimana Evan? Baik kan?" Kulihat Bang Ash meyesap secangkir kopi di atas meja.
"Baik apanya? Gue dikurung tau nggak, dikunciin dari luar!" Aku bersungut-sungut sambil tetap tengkurap di sofa, dan menyilangkan kedua kaki ke atas.
"Masa? Jangan ngada-ngada lu." Bang Ash tertawa meremehkan.
"Serius, Bang. Lu tau nggak? Tadi pagi, dia bangunin gue kasar banget. Masa, gue diceburin ke bathtub! Kan gila tuh cowok!"
"Gue nggak percaya Evan kayak gitu. Dia orangnya baik, Ars."
"Ih, dibilangin juga! Terus nih ya, Bang ... gue belom makan dari pagi. Cuma makan remah-remah kayak gini doang." Aku menunjukkan bungkus makanan ringan di depan layar. "Gue diterlantarin, Bang," lanjutku menunjukkan wajah memelas
"Nggah usah drama deh." Bang Ash tertawa tak percaya.
"Abang kok nggak percaya sama gue sih?" tanyaku ketus.
"Ya gue lebih percaya sama Evan lah. Jelas-jelas dia baik, sahabat gue."
Aku bangkit berdiri, dan masih memandangi wajah Bang Ash di layar. Entah kenapa, dalam situasi seperti ini, wajah Bang Ash yang menurutku tampan, tiba-tiba berubah jadi super sengak. Menyebalkan.
"Tapi kan gue ade lu, Bang. Ah, gimana sih?" Aku berkacak pinggang.
"Lu emang ade gue, tapi bandel!" Bang Ash terkikik geli.
"Percuma gue ngadu sama lu!" gumamku.
Bang Ash terlihat memicingkan mata, menatapku tak suka.
"Eh, Ars ... lu cuma pake celana pendek dan kemeja putih punya Evan?"
Aku memperhatikan kemeja Evan yang kukenakan. "Iya, Bang. Kan gue lupa nggak bawa baju. Gue kira, dia yang mau tinggal di rumah. Nggak taunya, dia malah culik gue ke sini."
"Emang nggak ada baju lain lagi selain kemeja putih itu?"
"Ya ada lah, Bang. Tapi gue sukanya ini."
"Ganti, Ars."
"Ganti apanya deh, Bang?"
"Cepetan ganti baju. Jangan pake kemeja putih kayak gitu. Lu keliatan seksi tau nggak?"
Dahiku mengernyit. "Masa, Bang? Menurut lu, gue seksi pake ini?" Aku menahan senyum.
"Gue bilang ganti, ganti, Ars!"
Aku mencibir. Bang Ash ini terlalu kaku.
"Gue nggak mau!"
"Kenapa? Lu pasti mau flirting Evan, kan?"
"Iya lah, Bang. Nanggung gini gue udah ada di apartemennya. Kenapa nggak sekalian?" Aku terkekeh sambil mengibaskan rambut panjangku.
"Arsyana Clarissa!" Bang Ash melotot, seperti biasa, dia mengeluarkan senjatanya.
"Iya, Bang, oke. Puas lu?"
"Ya udah, sana ganti."
"Iya, Bang. Bentar dulu lah. Gue kan masih kangen sama lu."
Bang Ash tersenyum. Ya, dia memang tampan. Kalo aku bukan adiknya, mungkin aku suka.
"Lu balik kapan, Bang?" tanyaku seraya kembali tengkurap di atas sofa.
"Gue cuma mau balik kalo lu mau nikah sama Evan."
Aku mendecih tak suka. Mengerucutkan bibir.
"Ars, dengerin gue. Kalo lu nikah sama Evan, gue yakin hidup lu pasti bahagia."
"Masa? Baru ketemu juga!"
"Lu nurut sama gue. Gue lakuin ini semua, buat kebaikkan lu kok. Kuliah nggak, punya kesibukkan juga nggak. Dari pada keluyuran malem nggak jelas, mending lu nikah aja. Lagian, Evan cakep, mapan, suamiable banget. Kayak gue." Bang Ash tersenyum bangga.
"Alah, dasar kalian jones!"
"Sialan lu!"
"Emang bener kan? Harusnya lu duluan yang nikah. Kenapa harus gue?"
"Lu nggak bisa jaga diri, Ars."
Bang Ash menatapku lekat. Walau terhalang layar, aku tahu dia sedang merasa khawatir. Aku juga merasakan getaran pada suara Bang Ash. Dia begitu menyayangiku.
"Emang, lu yakin Evan mau nikah sama gue?"
Bang Ash menyesap sisa kopi di cangkirnya. "Evan itu suka sama lu sejak dulu. Ya pasti mau lah."
"Serius, Bang?" tanyaku terkejut sambil menutup mulut.
"Gini, ya ... gue tau yang terbaik buat lu. Lu harus percaya sama gue."
Aku menatap Bang Ash di balik layar. Dari sorot matanya, dia terlihat serius. Haruskah aku menyetujui pernikahan yang tiba-tiba ini?
"Gue masih kecil kali, Bang."
"Halah! Masih kecil udah doyan ke klub!"
"Tapi kan gue nggak ...."
"Cinta?" Bang Ash menyela. "Lama-lama juga lu bakal melting kalo deket dia terus."
"Yakin amat lu, Bang?" Aku mencibir.
"Yakin lah. Lu jangan ngeles mulu deh. Oh, atau jangan-jangan ... lu beneran hamil, Ars?"
Aku melotot, menatapnya tak suka. "Dasar Abang gila!"
Bang Ash tertawa. "By the way, udah dulu ya. Gue mau liat laporan dulu. Lu ganti baju, terus pikirin omongan gue barusan. Okay?"
"Iya, Bang."
"Satu lagi, lu jangan coba-coba flirting sama Evan."
"Dikit doang nggak apa-apa, Bang?" tanyaku jahil.
"Arsyana!"
Aku terkikik.
"Bye."
"Bye."
Aku mematikan sambungan skype. Kadang, Bang Ash terlalu serius. Mana mungkin aku menggoda Evan? Senakal-nakalnya aku, kesucian tetap nomor satu.
Aku menatap layar laptop Evan. Keingintahuan mendominasiku saat ini. Kubuka file foto yang ada di dalamnya. Kulihat satu persatu. Hanya foto-foto tentang pekerjaannya. Cih. Jones.
Sesaat sebelum aku klik exit, aku menemukan sebuah file yang berjudul ARS. ARS? Aku maksudnya? Kubuka file itu, dan ternyata benar. Banyak foto-foto candid-ku di sana. Dia mengambil fotoku saat datang ke rumah. Kenapa aku tak sadar sama sekali?
Aku terlentang di atas sofa, menatap langit-langit apartemen. Merenung. Apa benar Evan begitu menyukaiku hingga sering mengambil fotoku diam-diam? Ah, Evan ... semanis itukah dirinya?
Apa lagi yang kucari? Aku bertanya pada diri sendiri. Meratapi takdir, yang ditinggal kekasih menikahi perempuan lain. Hari-hariku begitu sulit. Bukankah ini waktunya untukku menata masa depan, bersama Evan?
Aku baru bertemu dengannya kemarin. Lalu Evan? Entah sudah berapa lama menyembunyikan isi hatinya. Apa menurutnya ini begitu tak adil? Kurasa, bisikkan dalam hati memenangkan logika. Aku terus mempertimbangkannya, hingga terlelap di atas sofa.
***
"Kita nikah. Besok," ucapnya yakin.
Besok? Apa bisa pernikahan dilaksanakan begitu mendadak? Aku tak percaya ... jantungku berdegup kencang.
"Lu becanda kan?" tanyaku ragu.
Evan tersenyum, membuang muka. "Gue nggak becanda. Kita nikah. Kalo bisa besok. Tapi kayaknya nggak bisa, paling cepet minggu depan. Karena harus nyiapin surat-suratnya dulu. Sekalian nunggu Ashkara pulang."
Aku bernapas lega. Kupikir, akan memang secepat itu. Tapi, walaupun bisa secepat itu, sebenarnya tak masalah.
Evan mengerutkan dahi ketika dia menyadari laptopnya tergeletak di atas meja. Gawat! Aku lupa menyimpannya.
"Lu abis pake laptop gue?" Evan menaikkan alis, curiga.
"Hehe. Dikit. Gue cuma pinjem buat skype sama Bang Ash tadi." Aku mencoba memberikan senyum termanisku, agar Evan tak curiga bahwa aku membuka file-nya tanpa ijin.
"Oh ... oke."
Evan beranjak dari sofa. Aku segera memeluknya dari belakang. Hening.
"Ars ...," lirihnya.
"Sebentar, Van. Gue cuma kangen sama Bang Ash. Cuma lu yang bisa gue peluk sekarang. Sebentar ... aja." Ya, aku mengelak.
Aku memejamkan mata, merasakan aroma tubuhnya. Setelah seharian bekerja, ternyata dia tetap wangi. Entah aroma apa namanya, itu membuatku lebih rileks. Aroma ini yang akan kuhirup setiap harinya.
Evan menyentuh kedua tanganku, dan melepaskan pelukan. Lalu berbalik menghadapku. Membelai rambutku dengan sayang.
"Abis gue mandi, kita kasih tau Ashkara tentang pernikahan kita."
Aku mengangguk, menatapnya lekat. Kedua tanganku meraih dasi yang melingkar di kerah lehernya, meregangkan sedikit ikatannya. Ini akan menjadi rutinitas harianku, memasangkan dan melepaskan dasi untuknya.
Evan menyentuh kedua pipiku. Mendekatkan wajahnya pada wajahku. Jantungku berdebar. Bang Ash benar, mungkin aku terlihat seksi saat ini. Wajahnya semakin dekat, hingga hanya satu sentimeter, dia terdiam.
"Besok-besok nggak usah pake baju gue lagi!"
Aku tersentak. Dia melepaskan belaian di pipi, dan melangkah ke kamar mandi.
***
Evan mengajakku ke sebuah rumah berlantai dua yang cukup luas. Rumah ini lumayan jauh dari apartemennya. Di pelatarannya, terdapat berbagai macam tanaman. Begitu asri, dan sejuk dipandang.
Setelah dia mengantarku untuk mengambil baju-bajuku di rumah, dia tak bilang ini rumah siapa. Dia memarkirkan mobil di halamannya. Dan mengajakku untuk turun.
Evan membunyikan bel. Seorang wanita muda dan cantik menyembur dari dalam rumah, dan langsung memeluk Evan. Aku hanya tercengang menyaksikan pemandangan yang berada di depan mataku.
"Evan! Gue kangen ...."
Kini, wanita ini bergelayut manja di lengan Evan. Sedikit membuatku mual.
"Gue juga kangen sama lu." Evan tersenyum.
Cih.
Mungkin aku cemburu? Tidak! Aku tak suka? Ya! Aku seperti kacang goreng di depan mereka. Mereka seperti tak menyadari keberadaanku.
Siapa wanita itu?
"Ehm," decakku.
Evan melirikku. "Oh, kenalin. Ini Arsyana. Arsyana, ini Erika."
Erika? Siapa dia?
Wanita itu menjulurkan sebelah tangannya. Dengan ragu, aku menjabatnya.
"Erika."
"Arsyana."
"Eh, Van. Masuk yuk. Ada mami di dalem," ajak Erika yang tak lepas dari gelayutnya di lengan Evan.
"Oke. Yuk, Ars."
Aku tersenyum kecut. Lalu masuk mengikuti mereka.
"Mamiii ...," jerit Erika di dalam rumah.
Seorang wanita paruh baya keluar dari sebuah pintu. Dia sudah tua, tapi terlihat masih cantik.
"Evan, My Handsome ...."
Wanita itu merentangkan kedua tangannya, dan langsung memeluk Evan, mencium pipi kiri dan kanan.
"Mami, I miss you so much." Evan mengecup kening yang disebutnya mami itu.
"Kamu udah lama baru ke sini lagi. Mami kira, kamu lupa sama Mami."
Wanita itu menepuk-nepuk bahu Evan.
"Tau nih. Kita kan kangen ya, Mam?" ucap Erika.
"I'm busy. I'm so sorry, Mam."
Wanita itu tersenyum penuh kebahagiaan. Lalu melirik ke arahku.
"Who is she?" tanyanya.
"Kenalin, Mam. Ini Arsyana."
"Hai, Tante. Aku Arsyana." Aku mencium tangan wanita itu.
"Mami, Erika, mulai sekarang, Arsyana akan tinggal di sini," jelas Evan.
What?