Mike terdiam dalam duduknya. Ia berpikir keras tentang perkataan adiknya. Jujur, ia awalnya memang nafsu terhadap tubuh Diah yang menerawang oleh air hujan. Namun, ia sudah mulai menyukai Diah saat terjatuh dan menindih tubuh Diah.
Helaan napas berhembus sekali ini. Dan ini untuk kesekian kalinya ia membuang helaan napas panjangnya.
Ya, Mike sadar, hujan malam ini membuat dia lebih mementingkan nafsunya dibanding akal sehat dan perasaan sukanya terhadap Diah. Setan mana yang telah merasuki hingga ia berani melepaskan birahinya pada Diah, Mike pun tidak mengerti semua itu. Padahal, ia sudah berjanji pada Austin, Mom dan Daddy-nya untuk tidak membuat masalah dinegara orang sebelum berangkat. Dan juga, bodohnya dia telah mengingkari janjinya pada Austin yang sudah mengajaknya berkeliling dunia sebelum dia akan menikah pada Abigail.
Entah mulai kapan? Hatinya seakan sudah terpaku pada sosok Diah yang cantik dan ayu itu. Rasanya mustahil hatinya secepat itu berubah haluan dari Abigail ke Diah. Dulu, Mike sering bertemu banyak wanita dari negara manapun di dunia ini, bahkan ia bertemu beberapa wanita yang lebih cantik dan seksi dari Diah, tapi kenapa cuma Diah yang tertinggal di hatinya kini.
Kali ini, helaan nafasnya seolah melepaskan beban berat yang saat ini menghinggapi pundaknya. Dan Mike tidak menyesalinya. Dibandingkan dengan Abigail, Mike lebih menyukai Diah yang terlihat apa adanya dimata kakak dari Austin ini. Entahlah, sekarang ia amat bingung. Semua terjadi begitu saja tanpa skenario dari dirinya sendiri. Andaikan saja dirinya tidak terlalu terburu-buru melamar wanita yang juga disukai adiknya itu, mungkin Mike akan lebih memilih Diah. Itupun kalau saja dia lebih dulu bertemu Diah dibanding bertemu Abigail.
"Sekali lagi elu bicara begitu tentang Abigail, mampus lu." Ancaman adiknya beralasan bila dirinya sangat marah pada dirinya. Mike tau Austin suka Abigail dari masa SMU dulu, bukan, adiknya menyukai Abigail semenjak dia dan Austin duduk dibangku Sekolah Dasar. Sayangnya, gadis berambut pirang dan bermata hijau itu tidak menyukai Austin. Abigail lebih suka menganggap Austin sebagai teman dibandingkan sebagai seorang pacar. Sebab, pertemanan itu yang mengurungkan rasa suka Abigail pada Austin untuknya.
"Sekarang, gue gak mau tau lu suka atau gak sama gadis itu atau lu sama sekali ga cinta Abigail, tapi yang gue mau elu beresin masalah elu sama gadis itu." Kalimat terakhir adiknya, membuat Mike sadar akan posisinya sekarang. Dia sudah melakukan kesalahan pada kembang desa ini dan ia rasa harus bertanggung jawab atas perbuatannya. Tapi, mendadak rasa takut menyelimuti batinnya. Mommy-nya tak sebaik yang ia kira. Bahkan Daddy-nya lebih sadis bila tau Mike telah berbuat seperti ini pada gadis asing.
Ia beranjak bangun, memilah baju dan akhirnya memakai kemeja biru tosca sebagai pilihannya. Mike melangkah, lalu berhenti tepat di depan pintu kamar hotelnya. Knop pintu tak jadi ia putar. Diam. Berpikir sejenak.
"Gue harus cari dia kemana? Gue kan gak tau rumahnya..?!" Guman Mike bingung sendirian.
Duduk, kembali pada posisi semula.
Dilain tempat.
Austin duduk di tengah keramaian bar. Dentuman musik yang riuh tak membuatnya bergeming dari kursi depan bartender yang sedari tadi sibuk melayani para pelanggan bar tersebut.
"Br*ngs*k.. semuanya br*ngs*k.. andai aja gue dilahirkan dikeluarga biasa dan gak punya kakak, mungkin gue akan lebih bahagia bersama Abigail." Ceracaunya tak karuan. Ia terlihat sangat mabuk malam ini. Pikirannya asik berkutat pada masalah kakaknya. Kakak yang amat ia benci sejak dulu.
Ada empat gelas tergeletak di meja dekat Austin. Wajahnya terlihat merah dan serius kearah gelas yang saat ini masih di tangannya dan berisi penuh minuman berwarna biru. Austin langsung meminum dengan sekali tenggak.
Pikiran mumetnya mendadak nakal. Memorinya tak bisa dihentikan saat Austin ingin menenangkan diri, mencari ingatan tentang masa SMU dulu.
Kelas itu dulu tampak sepi. Sangat sepi saat Abigail memutuskan untuk pindah ke kota lain. Pertemanan yang dulu sering Austin rasakan penuh warna mendadak menghilang oleh kepindahan Abigail yang tak pernah pamit padanya. Sekolah dasar, ia dan Abigail pernah satu kelas dari kelas tiga hingga kelas enam sekolah dasar.
Namun, Austin harus kehilangan Abigail saat gadis pirang itu pindah di kelas satu SMP. Rasanya begitu lama walau hanya tiga tahun berpisah. Setelah tiga tahun Abigail memutuskan kembali ke kota tempat Austin dan Mike tinggal. Persahabatan ketiganya kembali terjadi. Rasa suka Austin terhadap Abigail kembali bergejolak dihatinya.
Dan siang waktu itu, Austin berdiri di belakang sekolah. Dihadapannya ada ada Abigail. Cewek cantik itu tampak bingung dengan diamnya Austin. Sudah hampir setengah jam mereka berdiri tanpa bicara. Saat istirahat tadi, Austin mengajak Abigail untuk bicara. Bicara tentang perasaannya.
"Austin, elu beneran mau bicara sama gue?" Tanya Abigail bingung. Kepala adiknya Mike itu menunduk, wajahnya memerah. Ia cuma mengangguk sekali tanpa menatap wajah Abigail. Padahal, Austin tidak pernah seperti ini terhadap cewek yang sedang berdiri didepannya.
Cukup lama Austin berdiam diri setelah menggangguk.
Ia mencoba menenangkan diri. Lalu mengangkat kepalanya, menatap Abigail yang sedari tadi menunggu reaksi Austin. "Gue.." katanya namun terhenti lagi. Menarik nafas, ada perasaan takut menyelinap hingga membuatnya ragu untuk jujur.
"Gue.. entah sejak kapan kayak gini. Saat lu pindah ke kota lain, gue jadi merasa kesepian walau ada puluhan teman disekeliling gue. Gue juga ga tau, mendadak perasaan gue jadi aneh saat lu balik lagi ke sini. Gue senang banget." Ucap Austin.
Abigail tersenyum, ia melangkah mendekati Austin. "Sama.., gue juga gitu." Kata cewek berambut pirang itu membuat Austin tersenyum senang. Ia pikir, Abigail juga punya perasaan sama seperti dia. "Sebab, kita kan teman..," mendadak batinnya terhempas badai dahsyat mendengar kata 'kita teman' dari bibir cewek yang ia sukai.
"Jadi wajar kita punya perasaan kayak.."
"Bukan..!" Potong Austin cepat. "Bukan perasaan kayak gitu maksud gue. Ta..pi.." henti Austin. Ia menghela Nafasnya yang terlalu menggebu-gebu. "Ini tentang perasaan gue sama elu. Perasaan suka antara cowok terhadap cewek. Bukan teman maupun sebagai saudara."
Abigail diam.
Austin pun ikut diam. Ada perasaan tenang saat ia sudah mengeluarkan isi hatinya pada Abigail. "Gue suka elu Abigail.." tambahnya lagi walau terlihat ragu.
Di tekuk lututnya dan bunga yang sedari tadi disembunyikan dibelakang tubuhnya diberikan pada Abigail sambil mengucapkan..
"Elu mau kan jadi pacar gue..?" Abigail tidak menjawab.
Cukup lama suasana menjadi hening.
"Jadi elu suka gue?"
Austin mengangguk.
"Sejak kapan?" Tanya Abigail sekali lagi.
"Sejak kita masih duduk di kelas enam SD." Jawab Austin semangat.
"Oh ya?"
Lagi, Austin mengangguk. Bibirnya tak henti-hentinya tersenyum.
"Kenapa baru sekarang elu bilang?"
Austin terdiam. Lalu bangkit dari bersimpuhnya. Wajahnya mendadak tak semangat. "Itu.. karena gue belum berani bilang."
"Hmm.." Abigail seakan mengerti itu semua. "Sayang gue udah nerima cinta kakak elu, Mike..?!"
"A..paa?!" Syok berat. Sampai Austin tidak lagi bisa berkata.
Abigail mengangguk.
"Sejak kapan?!"
"Sejak gue mau pindah ke kota lain." Aku Abigail. "Dia nyatain perasaannya saat gue lagi ngemas barang."
"Jadi..?!"
Abigail kembali mengangguk.
Austin menghela nafas. Tak ada harapan buat dia mendapatkan Abigail. Bahkan hubungan keduanya direstu kedua orang Abigail dan kedua orang tua Austin sendiri.
Ada perasaan kecewa dihatinya. Tapi ia berusaha tenang. Semua demi hubungan kedua keluarga. Dan ia tidak mau menghancurkannya demi keegoisan.
Hatinya semakin sakit. Saat semua mata meremehkan Austin sebagai penerus kedua kerajaan bisnis keluarganya. Dan saat ini, kerajaan bisnis itu dipegang Mike sementara waktu. Cintanya kandas, harapannya terhempas. Namun ia ingin tetap bisa memaafkan Mike untuk kesekian kalinya.
Dulu, sekarang hingga nanti. Sayangnya, ia kini mengetahui rasa didalam hati kakaknya itu. Palsu, hanya untuk main-main terhadap cewek yang amat disukainya.
Austin menenggak wishky didalam gelas untuk kesekian kalinya. Wajahnya terlihat berantakan. Kusut dengan rambut acak-acakan.
"Br*ngs*k, andai gue lebih cepat bilang suka sama Abigail, mungkin gue gak akan kayak gini..!" Umpatnya kesal, menenggak satu gelas whisky yang sudah di tuang bartender.
Ting.. satu pesan masuk ke dalam aplikasi chatnya.
"Mike..?!" Nama Mike terlihat samar dibacanya. "Mau ngapain dia chat gue?" Ocehnya masih kesal.
Di buka..
"Lu dimana? Gue mau ketempat cewek itu. Lu tau rumah dia gak..?" Austin tersenyum kemudian. Menenggak gelas terakhir minumannya. Meletakan uang beberapa lembar uang bernominal seratus ribuan diatas meja.
"Gue tau..!" Balas Austin membalas chat Mike, berjalan sambil tersenyum.
****
Mike menatap kaget ke arah Austin yang baru saja memasuki kamar hotel. "Austin..?!" Mike berjalan menghampiri adiknya itu. Ditelisik wajah Austin yang terlihat berbeda dimata Mike. "Elu mabuk?"
"Gak penting gue mabuk apa gak..!" Ujar Austin melewati kakaknya itu. "Yang penting sekarang, elu jadi apa gak kerumah cewek desa itu?!" Tanya Austin duduk di ranjang. Tubuhnya menyandar dan meluruskan kakinya dikasur.
"Gimana gak penting? Ya penting lah.. liat keadaan lu kayak gini gimana kita mau kesana? bisa-bisa keluarga cewek itu ngira kita pemuda gila yang lagi mabuk..?!" Imbuh Mike berekspresi berlebihan menatap adiknya.
"Alaaah, elu mikirnya terlalu berlebihan. Mereka juga gak akan permasalahin hal ini kok!! Cewek itu cuma tinggal sama bapaknya."
"Kata siapa..?!" Mike duduk dikursi. "biarpun cewek itu tinggal sama bapaknya, pasti bapaknya mikir tentang kita berdua atas apa yang terjadi sama anaknya kalau liat elu mabuk kayak gini..?!"
"Hei.." Austin menegakan tubuhnya. "Ini masalah elu, bukan masalah gue. Dan gue cuma nganterin elu aja untuk bertanggung jawab atas perbuatan elu itu." Sergah Austin meluruskan ucapan kakaknya itu. "Kalau masalah bapaknya mikir gak-gak tentang elu atau gue, itu bukan masalah gue. Okay..!!" Kata Austin lagi, duduk di kasur hotel.
"Sekarang, elu mau gak gue anterin ke rumah cewek itu..?!"
Mike menghela nafas. Menggeleng kepala sebentar, lalu bangkit. "Ayo kita berangkat."
Austin tersenyum.
****
Bersambung..