Chereads / Hello, Riska / Chapter 7 - Purposely.

Chapter 7 - Purposely.

"Dasar cowok nggak tahu diri! Dikasih kesempatan malah nggak mau, dia kira gue beneran rongsok kali." Berkali-kali Mey mengoceh saat ia mengingat betapa kasarnya perlakuan Riska tadi, ia sampai melamun dan mengumpat ketika dosen memanggil namanya, alhasil ia mendapat omelan dari sang dosen dan diminta membasuh wajah agar tersadar dari lamunannya. Ketiga teman gadis itu sampai kebingungan menanggapi perubahan sikap Mey tanpa tahu alasannya, mereka hanya menerka jika Meira mungkin mendapat masalah saat ke toilet. "Emang apa bedanya gue sama Luna? Kenapa dia belain Luna banget, sebal!" Meira memukul kemudi beberapa kali meski mobil tengah melaju kencang.

Gadis itu baru saja pulang dari pemotretan, ia lebih lambat dari biasanya, hari ini berkali-kali Mey mendapat teguran dari fotografer karena ekspresi wajahnya sama sekali tak sesuai dengan arahan yang diminta. Jelas saja, seharian isi pikiran Mey terganggu oleh sikap Riska. Seumur-umur baru hari ini ia dibentak-bentak bahkan diancam oleh seorang laki-laki, harga diri Meira seolah anjlok dalam sekejap.

Mobil yang dikemudikannya melesat semakin jauh sebelum memelan dan berbelok memasuki area apartemen, menuju basement dan memarkir kendaraannya di sana.

Mey bergerak cepat menghampiri beranda, melewati lobi dan menghilang di balik pintu lift sebelum ia tiba di lorong panjang—tempat unitnya berada di lantai 25. "Kira-kira Mbak Trias udah pulang apa belum, ya. Gue mau minta dipijit," gumamnya seraya melangkah menyusuri lorong, tapi refleks terhenti saat pintu unit apartemen milik Luna terbuka dan memperlihatkan pemiliknya, perempuan itu terlihat sibuk memeluk beberapa tumpuk buku di dada. Mey tersenyum penuh arti, jelas sesuatu tengah ia pikirkan sebelum langkahnya kembali berlanjut.

Luna masih berdiri berhadapan dengan pintu seraya menata ulang buku-buku tebal di sana, tapi seseorang yang entah sengaja atau tidak—baru saja menubruk Luna dari sisi kiri hingga buku-bukunya terjatuh di selasar.

"Ya ampun! Sorry, Luna. Gue enggak sengaja, heels gue bikin mau keseleo tadi," celetuk Mey yang kini berdiri di dekat Luna seraya memperhatikan tetangganya itu berjongkok mengumpulkan lagi semua buku-bukunya.

"Nggak apa-apa." Luna beranjak setelah semua bukunya terkumpul lagi dalam dekapan dada, ia tersenyum menatap Mey. "Kan kamu enggak sengaja, aku pergi dulu, ya." Luna melenggang pergi, sedangkan tatapan Mey yang semula hangat langsung berubah dalam sekejap, ia menyadari kepura-puraan serta sengaja menubruk Luna tadi.

"Cih, sok polos banget lo, tapi kalau udah di depan Riska pasti beda, jadi jablay," tutur Meira saat punggung Luna semakin mengecil hingga sosoknya menghilang di balik pintu lift. Meira adalah tipikal gadis yang jika sudah membenci sejak awal—pasti akan membencinya sampai kapan pun, rasa tak sukanya jelas beralasan.

Ada yang aneh dengan Meira, dan mengapa harus tentang Riska alasannya. Ada apa dalam diri Riska di mata Meira?

Meira memasuki apartemennya, di tempat yang kini bersih oleh housekeeper itu cukup membuat Mey menarik napas dengan nyaman tanpa adanya polusi asap knalpot atau asap rokok seperti di luar sana. Ia hempaskan pantatnya di permukaan sofa sebelum mengganti heels dengan sandal japit yang selalu tersedia pada rak kecil di dekat pintu.

"Mbak Trias udah pulang belum?" Mey sedikit berteriak, tapi ia tak mendapat jawaban dari siapa pun. "Yah, dia udah pulang." Mey menggerutu, ia beranjak meninggalkan ruang tamu, memasuki kamar dan meletakan cross body bag miliknya di permukaan nakas. Meira langsung meluncur ke kamar mandi, melepaskan setiap helai kain yang membalut tubuh rampingnya hingga ia benar-benar naked. Guyuran air shower yang dingin kini menyapa setiap centi kulit tubuh Mey.

Jika Mey merasa benar-benar lelah, ia bisa berendam di bath up cukup lama seraya mendengarkan musik tanpa ingin diganggu siapa-siapa.

***

Segelas susu cair dingin baru saja diteguk setengah oleh Mey yang kini duduk di balik meja makan seorang diri. Ya, bagaimana pun ia tetap benar-benar sendirian di tempat itu, sepi dan selalu mencoba terbiasa dengan kehidupannya yang berbeda sejak dua tahun terakhir.

Susu cair miliknya tak sendirian, piring ceper berisikan dua cupcakes cokelat turut serta terhidang sebagai pelengkap malam Mey yang kesepian. Isi kulkas Mey hampir penuh oleh dessert, ia menyukai makanan manis seperti cupcake, macaroon, dan beberapa lainnya sebagai kudapan malam hari. Sayangnya, ia memang takkan bisa gendut oleh tuntutan profesinya sebagai model, meskipun hampir setiap malam Mey menikmati makanan yang bisa menggemukan badannya, tapi ia selalu rajin mengonsumsi vitamin serta beberapa obat pelangsing badan.

Saat tangan kanan Mey menyuapkan cupcake ke bibir sendiri, tangan lain terlihat sibuk mengotak-atik ponselnya sekadar scroll banyaknya chat masuk dari temannya, rekan sesama model atau beberapa laki-laki tukang gombal yang entah tahu dari mana tahu nomor ponsel Mey. Sayangnya, jika Mey tak suka ia akan memblokirnya tanpa say good bye lebih dulu.

Baru saja Mey meletakan ponselnya karena ingin fokus menghabiskan kudapan malam nan manis itu, ponselnya berdering dengan layar menyala memperlihatkan nomor tanpa nama menghubungi. Sayangnya, bukan nomor dari Indonesia, tapi kode nomor dari Jerman dengan awalan +49.

Mey hanya meliriknya, ia tak berminat mengangkat panggilan itu meski tahu siapa yang menghubungi. Panggilan tak terjawab itu berakhir, tapi masih berlanjut untuk panggilan berikutnya hingga Mey gemas karena momen menyenangkannya jadi terganggu. Alhasil, gadis itu mengalah dan meraih ponselnya meski tampak kesal.

"Hello, Meira. No doubt you've been so busy to pick up this call that your mom wants to come home and see you, but the date is still set." Suara wanita yang terdengar, ekpresi kesal Mey seolah meningkat usai mendengar suara itu, ia tak segan meremas ponselnya lebih kuat. "Mom and dad miss you, we want to meet someone. You must be very happy to know her."

"I once said if you don't need to call me again, just get there. I don't want to hear anything from you, please stop acting like i'm okay." Seluruh otot di wajah Mey seakan terlihat saat ia mengatakannya, begitu menekan penuh kebencian. "Karena aku nggak butuh apa-apa lagi sekarang! Aku bisa cari apa-apa sendiri! Tolong berhenti!" Mey mengakhiri panggilan itu secara sepihak, tanpa aba-aba ia beranjak sebelum meraih gelas berisikan sisa susu cairnya dan melempar benda itu hingga menyentuh tembok di dekat pintu dapur dan berakhir jatuh berantakan di selasar.

Mey murka, ia juga menyapu beberapa benda di meja makan—termasuk ponselnya hingga berjatuhan dan mencipta bunyi yang khas. Mey mendorong kursi ke belakang sebelum ia bersembunyi di bawah meja makan seraya menekuk lutut dan meneggelamkan wajahnya, ia terisak cukup jelas.

Gadis berusia sepuluh tahun tersebut berlari memasuki dapur dan bersembunyi di bawah meja makan seraya merangkul sepasang lututnya, ia menangis tersedu-sedu melanjutkan air mata yang sudah berlangsung sejak melihat orangtuanya lagi-lagi bertengkar. Kesal sekali saat tubuh terasa lelah akibat melakoni aktivitas di sekolah, lantas pulang disambut dengan keributan yang tercipta dari orangtuanya di dalam rumah.

Meira sama sekali tak menyahut saat Ashila terus memanggilnya dari ruang berbeda, apa pun alasannya Meira tak ingin mendengar keributan dari mereka, hampir setiap hari Mey bisa mendengar umpatan yang terlontar dari bibir Sehan atau Ashila hanya karena sesuatu yang sederhana; Sehan tak pernah mengizinkan Ashila berkerja sebab ia merasa masih mampu mencukupi kehidupan rumah tangganya tanpa perlu sang istri ikut turun tangan.

"Mey, kamu di mana, Sayang? Please, maafin mama." Suara Ashila terdengar semakin mendekat, gadis di bawah meja semakin erat mendekap lututnya saat kaki-kaki Ashila sudah terlihat dari sana hingga wanita itu memasuki dapur dan menemukan sang putri berada di bawah meja makan. "Mey, ayo keluar, Sayang. Mama minta maaf, ya."

"Aku nggak mau dengar, Ma. Kenapa sih kalian berantem terus, kenapa kalian nggak pernah baikan," protes Meira yang sudah benar-benar bosan dengan tingkah laku orangtuanya, gadis seusia Meira harusnya menikmati masa kecil yang menyenangkan serta kasih sayang sebanyak mungkin dari orangtuanya, tapi ia justru disuguhkan pemandangan tak harmonis setiap hari.

Sejak kecil Mey selalu melakukan hal yang sama acapkali marah terhadap orangtuanya, dan kebiasaan itu berlangsung hingga dewasa. Ia merasa jika bersembunyi di bawah meja adalah tempat paling aman dari amuk dunia yang terkesan tak pernah adil terhadapnya, tak pernah membiarkan ia menikmati sebuah bahagia.

Ashila memang tak bersamanya, wanita itu takkan melihat seperti apa tangisan Meira jika ia merasa marah lagi dengannya. Jika orang-orang merasa ingin kembali ke masa kecil mereka yang menyenangkan karena tak perlu memikirkan banyak hal seperti yang orang dewasa lakukan, maka Mey adalah satu dari sekian juta orang yang pertama kali menolak untuk kembali ke masa kecilnya. Ia benci.

"Kalau mama memang sayang sama Mey. Mama nggak akan membiarkan Mey sendirian sampai sekarang, mama nggak akan setega itu sama, Mey," lirihnya di sela sesenggukan yang masih berlangsung, dagunya bersandar pada sepasang lutut yang masih direngkuhnya erat-erat.

Tak ada satu orang pun yang tahu jika Mey bisa bersembunyi di bawah meja makan seraya menangis, tak ada juga yang bisa membuatnya lekas keluar dari sana jika bukan orangtuanya sendiri, tapi satu pun dari mereka tak tinggal bersama Mey. Jadi, gadis itu akan keluar dari meja jika ia merasa sudah benar-benar merasa tenang.

Tak ada lagi yang membujuk Mey agar ia tenang.

Tak ada yang memberinya sebuah dekapan nyaman.

Tak ada siapa pun yang bisa diajaknya bicara tentang lelahnya bekerja seraya melakoni kuliah semester lima, mereka memutuskan melakoni kehidupan masing-masing seperti Mey yang kini melangsungkan hidupnya sendirian.

***