Sejak kelas berakhir tiga puluh menit yang lalu, keempat gadis itu belum memutuskan keluar untuk melakoni aktivitas berikutnya. Jika Selly, Mona dan Tania terlihat duduk berkerumun di dekat meja Mona sekadar membahas sesuatu yang klasik dari launching sebuah ponsel baru lusa nanti—beda dengan Mey, ia tak antusias lagi untuk membahas sesuatu dengan teman-temannya.
Mey seakan terpisah jauh dari mereka, padahal begitu dekat. Ia duduk di belakang Mona yang masih sibuk beradu ucapan dengan Selly dan Tania. Tangan kiri Mey terlihat menopang dagu saat tangan lain sibuk dengan ponsel, sesekali Mey melirik ke jendela yang memperlihatkan hilir-mudik banyak orang. Biasanya Mey yang paling semangat jika harus mengikuti launching ponsel baru, ia bisa mendapatkannya lebih dulu ketimbang ketiga temannya. Lantas hari ini? Mey tak acuh, hal itu tak menarik lagi baginya.
"Mey," panggil Selly saat ia menoleh ke belakang, tapi Meira seperti tak mendengarkan ucapannya. "Meira, lo hari ini nggak ada photo shoot, kan? Nongkrong, yuk!" Masih saja Mey diam tanpa menanggapi ajakan Selly, gadis itu akhirnya beranjak dan memberanikan diri menggebrak meja di depan Mey hingga ponsel temannya terjatuh ke lantai.
"Selly! Lo udah gila!" Mey menggerutu sebelum membungkuk meraih ponselnya, ia baru mendapatkan brand terbaru ponsel miliknya sebulan yang lalu, harga pun di atas angka sepuluh dengan jumlah nol sebanyak enam buah. Mey bisa mendapatkan apa pun yang ia mau tanpa perlu repot-repot membeli, salah satunya meminta pada pasangan blind date-nya. Namun, mengharapkan sesuatu dari salah satu laki-laki itu sama saja ia menjual diri.
"Ya, habisnya lo diam aja pas gue ajak ngomong. Kalau cuma main hape nggak akan segitu banget, Mey. Lo kenapa, sih?" Selly semakin protes.
"Iya, Mey. Lo akhir-akhir ini kenapa? Kayak banyak pikiran." Tania turut menimpali, ketiga teman Meira akhirnya memutar kursi mereka hingga menghadap Mey, sekarang Meira merasa seperti seorang tahanan yang harus menjawab seribu pertanyaan dari penyidik.
"Gue nggak apa-apa."
"Masa? Lo jangan sembunyikan sesuatu dari kita-kita ya, Mey." Mona angkat bicara.
"Serius nggak ada apa-apa, kayaknya gue lagi capek aja dan butuh—"
"Salon! Shopping! Ayo, Mey!" Tania bersemangat sekali, padahal ia tak tahu kata selanjutnya yang mungkin Mey lontarkan jika tak terpotong tadi.
"Bukan, bukan." Mey menggeleng. "Gue butuh refreshing, gue butuh istirahat yang cukup biar kecantikan paripurna gue enggak luntur. Jadi, gue bakal pulang sekarang mumpung nggak ada pemotretan." Ia beranjak seraya merapikan rambut tergerainya.
"Pulang? Biasanya kalau lagi nggak ada job semangat banget shopping, kesurupan apa lo, Mey?" Selly bertanya-tanya.
"Serius gue penat dan butuh rehat. Gue pulang ya, kalau ada apa-apa jangan lupa kabarin." Mey melenggang begitu saja tanpa memedulikan ketiga temannya yang semakin dilanda pertanyaan tentang sebab akibat dari sikap misterius Meira.
Mey bahkan sengaja melangkah cepat di koridor takut-takut jika salah satu temannya mengikuti alias menguntit, ia bukan seorang buronan juga, tapi kenapa harus takut—seolah Mey menyembunyikan sesuatu yang sangat rahasia.
Gadis itu sudah berbelok dari halaman kampus ke area parkir mobil, tangannya merogoh sesuatu dari saku celana jeans tiga perempat yang jarang sekali ia pakai, biasanya Mey lebih suka mengenakan dress agar lebih terlihat anggun. Mungkin penampilannya hari ini bisa disebut out of the box dari kebanyakan hari lainnya.
Baru saja tangannya membuka pintu, tubuh Mey belum berhasil masuk dan duduk saat matanya menemukan seseorang yang membuat wajahnya berseri-seri. Bukan tentang Riska, laki-laki itu tengah melangsungkan pendakian di Gunung Gede Pangrango sejak kemarin. Pantas saja Mey merasa aneh dengan harinya.
Mey menutup pintu dan bergerak menghampiri laki-laki yang berdiri tak jauh dari posisinya, laki-laki itu tengah berbicara dengan mahasiswa lain di depan kap mobil.
"Hai," sapa Mey pada mahasiswa yang membuat senyumnya tiba-tiba terbit itu.
"Ha-hai." Haikal tampak gagu menjawab, ia cukup terkejut melihat Mey menghampirinya.
"Gue tinggal dulu, ya, Kal." Teman Haikal tadi bergerak meninggalkan keduanya seolah memberi ruang gerak kosong pada mereka.
"Mey kok di sini?" Haikal masih mengumpulkan segenap kesadarannya meski ia seratus persen melek, ia hanya tak percaya seorang Meira menghampirinya, padahal saat mereka bertemu di depan ruang rapat anak-anak Mapala Mey begitu cuek dan enggan berkenalan. Rasanya seperti mimpi di siang bolong.
"Iya, kebetulan kita ketemu di sini. Lo anak Mapala, kan? Siapa namanya, gue lupa."
"Haikal, Mey."
"Oh ya, Haikal ya. Kok enggak ikut hiking? Bukannya komunitas kalian ada agenda hiking, ya?"
"Tadinya sih mau ikut, tapi pas udah di basecamp malah dapat kabar kalau mama masuk rumah sakit, ya udah gagal ikut."
"Oh gitu." Mey manggut-manggut. "Gue boleh minta tolong enggak?"
"Bol-boleh kok, Mey mau minta tolong apa?" Haikal jadi gugup sendiri menghadapi perempuan itu.
Mey mengeluarkan ponselnya dari saku celana, mengulurkannya pada Haikal. "Ada dua hal ya. Pertama, gue minta nomornya Riska. Kedua, gue mau tahu alamat basecamp kalian. Pasti kalau udah pada kelar hiking bakal di basecamp dulu, kan?"
"Riska?"
"Iya, Riska yang itu."
"Oke. Sebentar." Haikal mengeluarkan ponsel dari saku jaket sebelum meraih milik Meira, ia mengetik nomor Riska di ponsel Meira yang dilihatnya dari ponsel sendiri sebelum mengulurkan benda pipih itu pada pemiliknya.
"Alamat basecamp?"
Haikal menarik ranselnya ke depan, mengeluarkan sebuah bolpoin sebelum meraih telempap kanan Meira dan menuliskan sesuatu di sana, jantungnya berdegup kencang tatkala membaui aroma parfum Meira yang manis itu, terlebih jarak mereka jauh lebih dekat.
Mey tersenyum puas menatap telapak tangannya, tertera alamat basecamp anak Mapala di sana, jika dihitung jaraknya cukup jauh, tapi untuk sebuah usaha Mey akan melakukannya dengan senang hati.
"Makasih banyak, ya, Haikal." Ia mencubit pipi kanan Haikal sebelum melenggang menghampiri mobilnya, bisa ditebak apa yang terjadi dengan laki-laki itu?
Haikal mematung tanpa berkedip menatap kepergian Meira, bahkan saat gadis itu sudah menghilang di balik pintu mobil tatapannya enggan beralih, tubuhnya seakan tak bisa bergerak seolah membeku tanpa alasan. Saat mobil Meira perlahan melaju meninggalkan area parkir kampus, tangan kanan Haikal baru bisa terangkat menyentuh pipinya. Apa ada durian runtuh hari ini?
Meira menatap telempap bertuliskan alamat basecamp sebelum tertawa kecil. "Ya ampun, gampang banget ya. Mau sejauh apa pun tempatnya pasti bakal ketemu sama gue. Lagian cowok-cowok bego kayak Haikal emang paling gampang dimanfaatin, tapi kalau Riska kayaknya enggak bego, jadi susah gue deketin," gumam Meira, "tapi, tenang aja Riska. Di mana pun tempatnya pasti kita bakal ketemu, lo nggak akan bisa ke mana-mana, dan gue akan menyingkirkan siapa pun penghalang di antara kita—termasuk Luna. Semua cowok bisa lumer di depan gue, dan kalau elo sama sekali enggak bisa—gue yang akan maju paling depan," janji Meira memperlihatkan keseriusannya, kini ia memacu kendaraannya lebih kencang untuk tujuan yang lain.
***
Dermaga kecil serta rerumputan di area danau menjadi salah satu spot pemotretan siang ini, Mey serta beberapa model lain tengah melangsungkannya di sana, tapi ada pemandangan baru seperti yang pernah Mey dengarkan dari si pemberi kabar langsung tempo hari. Alexa benar-benar menjadi model dari perusahaan tempat Mey bernaung sebagai salah satu top model yang cukup lama bergabung di sana.
Mey sendiri sudah menyelesaikan pemotretan, ia hanya mengenakan tank top abu-abu serta ripped jeans tanpa merasa sungkan dengan orang-orang ketika ketatnya tank top mencetak jelas lekuk tubuhnya, lagipula seringkali Mey lebih dari sekadar mengenakan tank top, hanya menutupi tubuhnya menggunakan gaun tidur tembus pandang yang mempertontonkan bra serta celana dalamnya pun pernah ia lakoni saat pemotretan yang sudah berlalu.
Mey sudah menyetujui isi kontrak hitam di atas putih, setiap konsekuensinya harus ia jalani meski pamer lekuk tubuh di depan banyak laki-laki sekalipun, tapi ia merasa sudah kebal karena terbiasa melakukannya. Jadi, jika hanya tank top sama sekali tak berarti banyak, sebab model-model lain bisa jauh lebih seksi dari Meira.
Gadis itu duduk di bawah meja berpayung bersama Lolita yang sibuk berbicara dengan seseorang lewat ponsel, Mey sendiri memperhatikan Alexa yang kini menjalani pemotretan untuk pertama kali. Mey hanya diam tatkala Axel menggerutu oleh pose Alexa yang kurang sensual.
Mey meraih sebotol air mineral dari permukaan meja, ia meneguknya sedikit sebelum mengenakan topi hitam yang juga tergeletak di meja. Mey beranjak menghampiri Axel saat laki-laki itu baru saja mengakhiri sesi foto dengan model Alexa, sontak Alexa menatap sinis saat Meira berdiri di samping Axel.
"Gimana foto gue hari ini, bagus nggak?" tanya Mey, kebiasaannya setelah melakoni pemotretan adalah mengecek langsung hasilnya dari kamera jika Axel melakoni break.
"Bagus-bagus kok, nggak ada yang cacat. Lihat aja." Axel menunjukan foto-foto Mey saat duduk membelakangi kamera pada alas tebal berwarna putih yang ditata sedemikian rupa, Mey memperlihatkan punggung polosnya. "Beda sama model yang baru, masih amatir gitu kok berani banget ya dikontrak aja."
"Itu urusan atasan kali, ngapain lo pusing-pusing mikirin, lo kan tinggal foto aja terus dapat gaji," sahut Meira tak ingin menggosipkan Alexa yang kini duduk di bawah meja berpayung bersama managernya, Alexa tetap menatap sinis ke arah Mey yang justru tersenyum santai kepadanya seolah menegaskan kalau Alexa bukanlah hambatan bagi jalan Mey dalam dunia modeling.
"Lucunya lagi tadi gue nggak sengaja dengar pas dia bilang ke model lain kalau lo bakal secepatnya keluar karena dia yang bakal gantiin." Axel terkekeh usai mengatakannya. "Yang benar aja, Mey."
"Axel lo apaan sih, gue kan jadi pengin ketawa juga." Alhasil ia juga ikut menertawai kekonyolan Alexa yang begitu percaya diri untuk menyingkirkannya semudah membalik telapak tangan.
***