Chereads / Hello, Riska / Chapter 9 - Picking up wounds.

Chapter 9 - Picking up wounds.

Aroma tanah basah menyambut sekumpulan pendaki Gunung Gede Pangrango dari tim Mapala Universitas Malaka, malam ini sekitar pukul delapan mereka baru tiba di basecamp setelah melakukan hiking sejak kemarin, bermalam di Pangrango seraya memasang tenda dan menanti sunrise pagi hari memang cukup menyenangkan, terlebih jika dilihat dari puncak Pangrango. Entah sunset atau sunrise, keduanya memanjakan mata serta perasaan orang-orang meski hanya sejenak.

Beberapa mahasiswi dijemput keluarga atau pasangan mereka setelah menunggu sejenak di basecamp, memang cukup melelahkan, tapi rasa puas jelas terbayar lunas—terlebih jika mereka terbiasa melakoni hiking dari gunung di satu tempat ke tempat lain, Indonesia terbilang memiliki gunung cukup banyak serta panorama eksotis yang benar-benar memanjakan mata. Jika mereka baru saja melakoni pendakian ke Pangrango, maka agenda berikutnya bisa hiking lagi atau snorkeling, semua tentang alam tak ada yang membosankan.

Seseorang baru saja menutup pintu mobilnya setelah memarkir kendaraan roda empat tersebut tak jauh dari area basecamp, hanya saja memang tak berdekatan dengan kendaraan lain yang juga datang untuk menjemput rekan, saudara atau kekasih mereka. Gadis itu sengaja memarkirnya di tempat berbeda tanpa ingin diketahui siapa-siapa.

Hujan yang turun setengah jam lalu membuatnya mengenakan jaket tebal, sebelumnya Mey hanya membalut tubuhnya menggunakan singlet serta celana jeans saja setelah melakoni pemotretan di dekat sebuah danau. Untungnya Mey selalu membawa beberapa pakaian di mobil untuk berjaga-jaga jika ia melakoni pemotretan di tempat yang jauh, alhasil jaket tebal yang jarang dipakainya itu kini memeluk tubuh Meira dengan leluasa.

Payung turut serta menemani langkah Mey menghampiri area basecamp yang masih terlihat ramai oleh orang-orang, hiruk pikuk serta tawa mereka terdengar mengalahkan derai air hujan. Untuk pertama kalinya Mey datang ke tempat semacam itu, ia berbekal tekad yang besar serta harapan kecilnya tentang seseorang.

Riska tampak berdiri di depan basecamp bersama beberapa pendaki dari kampusnya sekadar menyambut orang-orang yang datang, dari jauh Mey bisa melihat betapa eloknya senyum tulus dari rupa kuarsa yang terlihat letih itu. Andai saja senyum semacam itu bisa Mey dapatkan dengan mudah.

Oke, semua hanya mimpi.

"Hati-hati, ya. Sampai di rumah langsung istirahat, bersih-bersih dulu tapi," tutur Riska saat membiarkan temannya pulang bersama saudara yang datang menjemput.

"Bro, gue balik duluan, ya." Tama namanya, ia baru saja menepuk bahu Riska saat laki-laki itu sibuk bersalaman dengan beberapa orang yang menjemput teman-temannya.

"Oh, iya. Hati-hati, lo dijemput siapa?" tanya Riska.

"Cewek gue lah, kangen berat dia," tutur Tama seraya terkekeh kecil, ia bergerak cepat meninggalkan basecamp meski hujan masih turun begitu deras, Tama sekadar menutupi kepala menggunakan tudung hoodie seraya berlari kecil menghampiri mobil yang baru berhenti di pelataran basecamp.

Gadis itu sudah semakin dekat dengan basecamp, ia mempercepat langkahnya seraya tersenyum lebar—berharap salah seorang di sana bisa menerima usaha kecilnya untuk datang menjemput.

"Riska!!!"

"Sialan!" Mey terpaksa menghentikan langkah saat laju lari seseorang menyentuh kubangan air di dekatnya tak sengaja membuat sepatu serta celana Mey basah terkena cipratan, ia membungkuk sejenak sekadar mengusap permukaan sepatu putihnya—sebelum kembali berdiri dengan benar dan berakhir tertegun tak percaya atas apa yang dilihatnya.

Jadi, makhluk sialan yang sempat meneriakkan nama Riska serta membuat sepatu Mey kotor adalah makhluk yang kini memeluk Riska di antara banyaknya orang tanpa peduli atmosfer sekitar.

Mey tertegun, senyum yang sempat melingkari wajahnya lesap dalam sekejap tanpa sisa, kekesalannya justru bertambah usai menonton adegan mesra semacam rasa rindu lama tak berjumpa tak jauh di depannya. Anehnya, orang-orang terlihat biasa saja melihat adegan skinship antara Riska dan Luna di sana seolah mereka sudah sering melihatnya.

Mey masih mematung, ia tak suka tentang senyum Riska yang berkembang menjadi sebuah tawa saat tangannya mengusap punggung Luna, pelukan itu bahkan masih berlangsung meski lebih dari sepuluh detik.

"Woy, eling dong banyak kaum jomlo, jadi gerah nih," celetuk Angga sengaja meledek Riska dan Luna, ia berdiri di dekat mereka.

"Benar banget, mending dibawa pulang aja pelukannya biar tambah anget." Saka menimpali, ia tak segan bersiul saat Luna tertawa mendengar celotehannya.

"Hai semua," sapa Luna seraya melambai tangan pada orang-orang yang masih tersisa di sana, tangan lainnya tampak merangkul pinggang Riska tanpa canggung.

"Hai, Luna." Teman-teman Riska membalas sapaan Luna, wajah gadis itu tak asing bagi mereka—terlebih saat hubungannya dengan Riska terjalin cukup lama, ditambah laki-laki itu seringkali mengajak Luna berkumpul dengan teman-temannya. Bisa dibayangkan chemistry seperti apa yang menguat antara Luna dan teman-teman Riska.

Saat orang-orang justru bahagia atas kehadiran Luna, beda dengan aroma patah hati yang dirasakan Mey, ia membenci situasi di mana saat tubuhnya enggan diajak beralih meski bagian lain merasa benar-benar sesak, mereka seperti tidak sinkron.

"Gue salah tempat, gue salah waktu," lirih Mey saat bola matanya enggan menghindar meski netra Riska baru saja menemukannya, ia masih bertahan meski tubuhnya seakan tercabik-cabik tanpa ampun.

Di sana, dari jarak sekitar dua meter meski hujan turun begitu deras, tapi bola matanya masih bisa menangkap jelas sosok yang berdiri di pelataran basecamp seraya memegang erat payung dan menatapnya di antara guyuran air hujan. Riska mulai mengenal postur tubuh Mey meski hanya beberapa kali mereka bercengkrama dalam keadaan yang tak pernah baik.

"Jadi, gue sebenarnya di sini cuma menjemput luka. Bukan menjemput manusia?" Mey bertanya-tanya pada diri sendiri, cengkramannya pada penyangga payung semakin menguat sebelum lima detik berikutnya memudar dan berakhir jatuh menyentuh selasar. Payung yang sempat melindungi Mey dari air hujan kini tersungkur tak berguna dan membiarkan pemiliknya mulai basah kuyup. "Kalian harus balas perbuatan yang udah kalian lakukan ke gue sekarang, gue janji kalau besok lo nggak akan bisa ke mana-mana, Riska." Kedua tangan Mey mengepal, rencana kecilnya tak semulus itu, ia tak pernah berpikir jika Luna akan datang dan mengacaukan semua.

Terakhir kali, Mey menatap Riska yang masih bertahan menatapnya, entah ekspresi apa itu—yang jelas Riska hanya diam tanpa berniat menghampiri Mey yang sudah basah kuyup. Mungkin di matanya Meira hanyalah jailangkung yang kehadirannya tak diundang, pulang pun tanpa diantar.

Miris sekali.

Mey memutar tubuh, ia mengalah tanpa ingin merasa kalah, jika rencana satu gagal, maka masih banyak rencana cadangan. Sepertinya Meira benar-benar belajar tentang peran antagonis dari sinetron di televisi.

Gadis itu kembali ke mobilnya, tapi ia membuka jaket lebih dulu sebelum meninggalkannya begitu saja di selasar tanpa peduli jika hawa dingin siap mengulitinya selama perjalanan menuju tempat lain. Mobil melaju pergi meninggalkan area basecamp, rambut serta tubuh yang basah tak mampu mengalahkan sebuah sesak bercokol di dada, tak semudah itu rupanya.

Entah mengapa bola matanya harus berkaca hingga air hujan nan terasa hangat tiba-tiba meluruh tanpa diduga, Mey mengusapnya segera. "Lo tolol banget sih, Mey. Ngapain gue nangisin mereka, emang mereka siapa." Ia tak ingin mengakuinya. Membayangkan beberapa hal seperti saat Riska tertawa setelah kehadiran Luna serta dekapannya di tubuh Riska membuat kepala Mey serasa mendidih dalam sekejap, ia ingin meledak.

***

Esoknya Mey memutuskan absen dari kampus meski ia sendiri tak sakit atau melaksanakan sesuatu yang membuatnya harus menepikan urusan kuliah, Mey sengaja tidak datang dan memberi alasan pada teman-temannya jika ia memiliki urusan dadakan yang tak bisa membuatnya datang ke kampus, untunglah ketiga temannya percaya.

Trias datang membersihkan apartemen Meira seperti biasanya, kepada Trias-lah Mey mengaku jika ia memang malas berangkat kuliah karena kesal dengan seseorang, tapi Trias enggan berkomentar lebih dan hanya berusaha memahami keputusan majikannya.

Mey tengah duduk bersandar di ranjang besarnya seraya menonton televisi yang memperlihatkan tayangan gosip pagi hari, sebuah majalah juga berada dalam pangkuan perempuan itu—majalah edisi terbaru yang memperlihatkan Mey sebagai cover utama. Beberapa kali ia menatap ponselnya, entah apa yang membuat Mey sampai terlihat gusar sendiri.

Senyum licik terbit menghiasi wajahnya, ia mengingat jika tempo hari pernah meminta nomor Riska pada Haikal. Mey masih kesal atas perbuatan Riska di depannya semalam meski laki-laki itu tak pernah sengaja membuat Mey kesal, toh Riska tak mengharapkan datangnya Meira.

Mey membuka galeri dan mengirimkan video french kiss Riska serta Luna pada nomor laki-laki itu seraya mengetik chat di bawahnya.

Ini video lo kan, ya.

Gue kayaknya mau bagi itu video ke Luna aja, mau tahu reaksi dia gimana kalau gue ancam bakal sebar video itu (kissing emoticon)

Mey bahkan menyelipkan emoticon yang membuatnya terpingkal sendirian, segera ia mengirimnya pada nomor Riska. Baru beberapa detik Mey meletakan ponselnya di permukaan seprai, dering panggilan masuk membuat Mey lantas meraih ponselnya dan beranjak seraya melompat-lompat kegirangan.

"Tuh kan elo bakal hubungin gue langsung!" Rupanya taktik yang Mey lakukan ampuh untuk membuat Riska takut, sepertinya Luna adalah senjata paling mutakhir yang bisa Mey manfaatkan. "Hallo, Darl."

"Gue udah pernah bilang untuk jangan bawa-bawa Luna dalam lelucon yang lo buat, stop mengganggu Luna!" Suara Riska yang khas terdengar jelas, Mey kembali bersila di ranjang seraya memilin ujung rambutnya.

"Ya ampun, Riska. Kayaknya Luna adalah permata paling berharga buat lo sampai dia nggak bisa dilecetin sama sekali, tapi gimana ya ...." Mey menerawang seraya tersenyum puas. "Gue kecewa banget sama sikap lo semalam, lo seolah nggak menghargai kedatangan gue dan malah mesra sama cewek lo. Gue sakit hati tahu." Cara bicaranya terdengar manja.

"Mau lo apa!"

"Jangan emosi dong, Sayang. Gue kan udah sering bilang waktu itu, datang ke apartemen gue nanti malam, kalau lo nggak datang ya ... siap-siap gue ancam Luna pakai video itu, gue nggak peduli kalau dia bisa pingsan atau syok setelahnya. Gue nggak peduli!" Mey mengakhiri panggilan sepihak, ia mengirimkan rangkaian kode agar Riska bisa masuk ke apartemennya tanpa perlu menunggu Mey membukakan pintu. "Riska, Riska. Lo itu emang menarik banget ternyata."

***