Cat kuku warna perak baru saja mengganti cat kuku merah yang sempat menghiasi jemari kaki serta tangan Meira setelah ia menghapusnya lebih dulu tadi, ia tengah duduk di sofa ruang tamu seraya menunggu cat kukunya kering saat keadaan di luar sana justru hujan deras, untunglah segelas susu cokelat sudi menemani malam kesendirian Meira. Meski begitu, ia hanya mengenakan kaus oversize yang menutupi bagian atas tubuhnya hingga sebatas lutut, hot pants yang membalut bagian bawah pun tak terlihat sama sekali.
Meira meniupi cat kuku basah pada sepasang tangannya sebelum meneguk sedikit susu cokelat yang masih terasa panas, lagipula jika diminum saat dingin tak ada manfaatnya juga. Ekspresinya datar ketika ia menemukan seseorang membuka pintu utama dan masuk begitu saja, sayangnya Mey memang sudah mengizinkannya untuk masuk sendiri setelah ia sempat memberitahu rangkaian kode apartemennya.
Mey sama sekali tak tersenyum menanggapi kedatangan Riska di jam sepuluh malam ini, gadis itu masih diam saat Riska menghampirinya dan ikut duduk di sofa seraya memperlihatkan ekspresi dinginnya.
"Lo tahu, Riska. Sejujurnya gue nggak mengharapkan lo datang." Mey beranjak dan melenggang pergi, tapi Riska ikut beranjak dan menarik lengan gadis itu hingga mereka berhadapan.
"Mau lo itu apa. Hapus videonya dan urusan kita kelar," ujar Riska terdengar memohon, "lo yang maksa gue buat datang, terus sekarang sikap lo kayak gini. Jangan mempermainkan gue, ya."
Mey menatap kuku-kukunya seraya tersenyum miring. "Ada satu fakta yang perlu gue jelaskan kenapa gue nggak benar-benar berharap lo datang ke sini." Ia berjinjit menyejajarkan wajahnya dengan Riska, netra pekat laki-laki itu terpenjara dalam sudut mata Meira. Talunjuk Mey terangkat menyentuh ruang antara sepasang alis Riska, meluruh menyusuri hidungnya, turun lagi ke bibir dan terus hingga dagu dan berakhir di leher Riska seraya berkata, "Artinya lo secinta itu sama Luna sampai-sampai lo mau datang ke tempat orang asing tanpa peduli akibatnya, dan gue enggak suka." Mey menelan ludah.
"Kalau lo nggak maksa soal video itu, gue nggak akan pernah datang ke sini!" Sepasang alis Riska sudah bertaut, tingkah Mey justru semakin menjengkelkan saat ia menangkup wajah Riska seraya mendekatkan wajahnya sendiri, tapi saat bibir mereka sudah bersentuhan tanpa Riska menjauh—Mey justru meluruh dan melenggang melewatinya, ia masuk ke kamar sebelum duduk di tepi ranjang seraya meraih ponselnya.
Riska kembali mengekor masuk ke kamar sebelum ia merebut begitu saja ponsel Mey, tapi gadis itu hanya tersenyum menanggapinya tanpa merasa takut sama sekali. "Lo mau buang atau banting hape itu juga gue enggak masalah, gue masih bisa beli lagi, Riska. Percuma lo hapus videonya di situ, gue udah pindah ke tempat lain." Mey benar-benar santai menanggapi kehadiran laki-laki itu.
Mendengar penuturan Mey, Riska refleks melempar ponsel gadis itu ke permukaan ranjang. "Jangan mempermainkan gue."
"Tapi, gue kan emang minta main-main sama elo, masa enggak paham-paham. Sini." Mey menepuk permukaan seprai di sebelahnya, dan Riska duduk begitu saja tanpa protes sama sekali, mungkin ia benar-benar menyerah oleh tingkah laku Mey yang semakin menjadi-jadi, sebab di pikirannya hanya rasa takut tentang Luna saja. Mey tersenyum tipis bisa sedekat itu dengan Riska, tangannya kembali terulur menyentuh sisi wajah Riska, naik ke rambut dan mengusapnya lembut. "Gue nggak peduli ketika orang lain di luar sana selalu menginjak-injak harga diri gue, tapi gue mati-matian menjaganya tanpa orang lain tahu. Ketika gue minta lo datang ke sini, sebenarnya gue nggak ada keinginan apa-apa, gue nggak meminta lebih sama lo—apalagi menyerahkan diri." Senyum miringnya terbit, ia senang saat Riska menelan saliva tatkala jemari Mey menyusuri lehernya.
Riska meluruhkan tangan Meira darinya. "Kalau lo emang nggak membutuhkan apa-apa, gue mau pulang sekarang."
"Mau pindah ke sebelah, ya," ejek Mey, "ya silakan, tapi video itu tetap masih jadi pusaka gue kok, yang lo perlu tahu adalah gue kecewa ketika lo datang ke sini, mungkin ada dua hal yang lo pikirkan saat gue minta lo ke sini. Pertama, you think we're gonna play in this bed and spend the night together. Kedua, lo akan melakukan segala hal untuk perempuan yang lo cintai meski hal tersebut bisa menghancurkannya. Lo laki-laki yang gimana sih, Riska!" Ekspresi Mey berubah, ia beranjak dan bersidekap di hadapan laki-laki yang tak mengerti jalan pikiran Meira. "Bukan cuma lo yang nggak suka bekas orang lain atau rongsokan, gue juga nggak suka bekas orang lain. Apalagi nggak ada sesuatu yang membuat gue yakin kenapa gue harus menyerahkan diri sama lo, otak gue yang kecil ini masih bisa berpikir waras. Gue nggak suka sama laki-laki yang bisa melakukan segalanya buat cewek yang dia cintai, itu semua fake!"
"Licik," desis Riska semakin kesal, tapi ia tak berbuat apa-apa selain diam. "Terus lo mau apa sebenarnya, kalau lo nggak punya kejelasan mending biarin gue keluar dari tempat ini sekarang."
"Gampang, setelah gue memberitahu keinginan gue, lo bisa keluar dari sini dengan senang hati tanpa kurang suatu apa pun." Mey menghampirinya, tanpa canggung ia duduk di pangkuan Riska dan mengalungkan tangannya di leher laki-laki itu, yang membuat Mey mematung sejenak adalah saat mata teduh Riska enggan beralih darinya, Mey terperangkap di sana.
"Lo mau gue gimana." Suara serak Riska melenyapkan lamunan Meira, ia sama sekali tak mengenyahkan Mey meski gadis itu berlaku kurang ajar terhadapnya.
"Just be mine, lo jadi pacar gue sekarang."
"Lo gila!"
"Sst!" Mey menempelkan telunjuknya pada bibir Riska agar laki-laki itu tak perlu melanjutkan bicara, ia menggeleng pelan seraya tersenyum. "Di sini gue yang berhak mengatur, Baby. Dan elo harus nurut biar semuanya baik-baik aja, lo nggak mau Luna sampai stres, kan? Karena gue juga bisa melakukan sesuatu yang lebih dari ini." Telunjuknya meluruh dari bibir Riska, kali ini ia beranjak dan menyingkir, lebih tepatnya berdiri di depan laki-laki yang dipaksa tunduk atas vonis dari Meira.
"Gue nggak mau jadi pacar lo."
"Itu keputusan gue, sekarang lo bisa keluar dari sini dengan selamat." Mey tersenyum seraya menunjuk ke arah pintu kamar yang terbuka.
Riska menatapnya sejenak sebelum melenggang keluar dari sana, dan Mey tertawa kencang setelahnya. Ia merasa puas telah memvonis Riska dengan status tersebut, tapi begitulah tujuan Mey sejak awal. Untuk apa ia mengharapkan seseorang yang sudah memiliki perempuan lain, tak ada rasa setia yang bisa dibuktikan tatkala Riska benar-benar datang ke apartemen Mey. Sejatinya Mey hanya memancing tentang sikap laki-laki itu, ternyata Riska masuk dalam perangkap yang dibuatnya, lantas Mey semakin menjebloskannya dalam vonis yang tak bisa dihindari.
Meira merasa sangat puas bisa memanfaatkan situasi tersebut, ia masih jengkel atas sikap Riska tatkala membentaknya di area belakang kampus hari itu, lantas saat malam Mey sengaja meluangkan waktu datang ke basecamp untuk menjemput—justru orang lain yang Riska sambut. Sekarang Riska berada dalam genggamannya, Mey bisa berbuat sesuka hati terhadap laki-laki itu.
Meira kembali naik ke ranjang dan melompat-lompat kegirangan, ia seperti baru menang hadiah sebesar satu milyar sampai sebahagia itu hanya karena berhasil memanfaatkan seseorang. Sensasinya cukup berbeda, jika kebanyakan laki-laki dengan senang hati melakukan apa saja yang Mey minta, sedangakan Riska perlu diancam lebih dulu. Untung saja Mey pintar dan sempat merekam adegan tersebut.
***
Hai, pacar.
Jemput gue di Hotel Begonia, gue ada pemotretan, nggak bisa pulang karena mobil servis di bengkel (kiss emoticon)
Lagi-lagi Mey mengirimkan chat dengan emoticon yang membuatnya terpingkal-pingkal di ruang wardrobe saat Metta sibuk membersihkan make up di wajah gadis itu.
Sejak pagi hingga siang baru sekarang Mey mengingat jika ia memiliki seorang pacar yang harus siap siaga ketika dibutuhkan, Mey baru saja menyelesaikan pemotretan di sebuah hotel hingga malam menjelang, cukup banyak ia berganti kostum serta pose berbeda hingga badan terasa pegal. Sialnya, mobil harus menjalani servis rutin, jadi Meira memanfaatkan kesempatan untuk mengundang Riska agar datang.
Nggak bisa, gue lagi pergi sama Luna.
"Gue nggak suka ya kalau ditolak," gumam Meira, ia mengetik pesan balasan yang benar-benar memaksa.
Gampang kok kalau lo nggak mau, tunggu sampai besok bakal ada apa yang heboh.
Meira tak lagi membuka ponselnya saat notifikasi chat kembali terdengar, terserah jika Riska akan terus menolak keinginannya dengan segudang alasan, jika Mey sudah berkeinginan maka Riska harus mewujudkan.
Setelah bersih-bersih make up selesai dan Meira sudah berganti pakaiannya, ia memutuskan pulang usai berpamitan dengan Lolita, tadi Lolita sempat menawarinya untuk mengantar Mey pulang, tapi gadis itu menolak dengan alasan jika seseorang akan menjemputnya.
Meira sudah sampai di lobi, rupanya hujan turun begitu deras saat orang-orang mengeluarkan payung mereka dan menerbos hujan di bawah perlindungan. Mey sendiri memutuskan tetap keluar dan berdiri di beranda seraya menunggu kehadiran Riska.
"Mau gue antar nggak, Mey? Katanya mobil lo lagi diservis, ya." Axel baru saja keluar dari lobi dan menghampiri Mey yang berdiam seraya memeluk lengannya sebab dress tanpa lengan yang ia pakai membuat dingin mendekapnya sesuka hati.
"Nggak usah, gue ada yang jemput kok," sahut Mey.
"Siapa?"
"Bukan urusan lo."
"Ya okelah, paling cowok kenalan yang baru kan, gue duluan, ya." Axel berlari menerobos hujan menghampiri mobilnya di parkiran.
Awalnya Mey mungkin bisa bersabar saat ia justru berpikir jika Riska terlalu sibuk dengan Luna, tapi lambat laun Meira mulai kesal saat jarum arlojinya terus bergerak membawa malam yang semakin sunyi tatkala sebagian penghuni hotel sudah beristirahat, pengunjungnya pun telah pulang.
Satpam menyarankan agar Mey memesan taksi online saja sebab malam semakin larut, dan laki-laki yang ia tunggu tak kunjung datang. Apa Riska memang takkan datang?
"Pak, saya mau ke halte aja, ya," ucap Meira saat ia mulai putus asa menunggu kehadiran Riska, intensitas hujan yang sempat tinggi kini berubah sedang, Mey memberanikan diri berlari meninggalkan beranda dan keluar dari area hotel menuju halte di tepi jalan.
Rambut serta pakaian Mey tampak basah, tapi ia masih saja mengeraskan hati untuk menunggu kehadiran Riska dan mengabaikan saran memesan taksi online.
Meira duduk di dalam halte seorang diri, sialnya hujan kembali deras tanpa mengalah padanya. Suhu udara di sana terasa semakin dingin, memeluk lengan pun terasa percuma.
"Sebenanrnya gue beneran goblok apa gimana," gumam Meira, "dia pasti sibuklah sama si Luna, mana ada waktu buat ngurusin gue. Meira ... Meira, jangan kebanyakan ngehalu." Mey menarik sepasang kakinya ke permukaan kursi besi di sana sebelum memeluk lutut dan menyandarkan dagu. Tatapan sayunya terus mengarah pada rintik hujan yang menyentuh setapak.
Meira mengangkat kepala saat ia menemukan sosok tubuh menghalangi pandangannya, ia pun menurunkan kaki ketika Riska melepas jaketnya dan menghampiri Mey, ia tak mengatakan apa-apa saat menarik Mey keluar dari sana dan memasangkan jaketnya, ia juga memasangkan helm di kepala Meira.
Apa gue lagi mimpi, Tuhan?
***