"Ampun si Meira! Macam-macam aja bikin kepala gue mau pecah itu bocah, lagian ngapain sih udah tahu kurang enak badan malah keluyuran ke Raflessia Residence, ada apa sih di sana, kalau gagal pemotretan kan rugi! Mana kalau disuruh minum obat udah kayak minum racun aja, susahnya setengah mati." Lolita berceloteh seraya menutup pintu utama unit apartemen Meira saat seseorang juga baru keluar dari pintu unit Luna, bukan gadis itu, tapi laki-laki yang baru saja mendengar jelas setiap keluhan Lolita. Riska hanya menunduk diam seraya menelan ludah bersama telempap kiri yang masih menyentuh daun pintu tatkala Lolita melewatinya di belakang.
Riska baru menoleh pada Lolita saat langkah manager Mey tersebut semakin menjauh dan menghilang di balik pintu lift, kini tatapan Riska beralih pada pintu lain di sisi kanannya, perlahan ia mendekat menghampiri pintu tersebut saat ingatannya memunculkan sesuatu yang Luna temukan di depan rumahnya tadi—sebelum ia mengantarkan Luna pulang ke apartemen, mungkin Riska tak benar-benar sakit seperti yang Mey cemaskan.
Awalnya Riska hanya diam saat tubuhnya tertegun di depan pintu unit Meira, ia seperti menimang-nimang sesuatu, entah harus maju atau mundur, tapi tiba-tiba pintu terbuka dan memunculkan sosok Trias yang refleks tersenyum menemukan Riska di sana.
"Masnya mau ketemu Mbak Mey? Ada kok di dalam, tapi lagi sakit, Mas," tutur Trias.
"Eum—" Riska tak tahu harus berkata apa.
"Saya tinggal dulu ya, Mas." Trias melenggang pergi tanpa menutup pintu, ia sengaja melakukannya begitu melihat Riska bertahan di sana.
Laki-laki itu menelan ludah menatap ruang tamu kosong di depannya, ia terpejam sejenak sekadar meyakinkan diri kalau sepasang kakinya sudi menapak ke dalam—meski entah untuk apa, mengapa ia harus melakukannya?
Seringkali, perintah otak dan kata hati bertentangan, kini Riska merasakannya saat hati menolak masuk, tapi bahasa tubuhnya menunjukan pergerakan yang membuatnya tak lagi terlihat di lorong lantai tersebut, ia menghilang setelah memasuki ruang tamu Meira.
Sayup-sayup terdengar suara bersin si pemilik apartemen yang berasal dari kamar, Riska terus saja melangkah meski perlahan bersama bola mata menatap sekitar seolah ia mengawasi sesuatu yang membuatnya takut, tapi Mey berani mengangkat telunjuk serta jari tengahnya jika selama ia tinggal di sana belum pernah menemukan makhluk tak kasat mata, atau Riska tengah mencemaskan hal lain?
"Hatchi! Hatchi!" Gadis itu terbaring di ranjang besarnya, ia dipeluk selimut tebal hingga sebatas leher, posisi Mey memunggungi Riska yang baru saja berdiri di depan kamar, lucunya pintu kamar dibiarkan terbuka, mungkin saja saat keluar Lolita lupa menutup pintu—atau Mey sendiri enggan beranjak sekadar menutupnya. "Lo ngapain balik lagi, Asep. Kan gue udah bilang nggak apa-apa, gue tadi minta lo ke sini buat lihat keadaan gue doang, gue bukan bayi, jadi nggak usah cemas berlebihan," tutur Mey saat ia mendengar derap langkah manusia di belakangnya, ia pikir Lolita.
Sepasang tangan tersembunyi di balik saku jaket, bola matanya tertuju pada sosok di ranjang sebelum beralih pada beberapa bungkus obat yang masih utuh di permukaan nakas serta segelas air putih, pasti benda tersebut alasan Lolita sampai ngedumel saat meninggalkan apartemen Meira tadi.
"Lol, lo ngapain balik lagi ke kamar gue?" tanya Mey yang belum menyadari kehadiran Riska, beberapa kali ia menggosok pangkal hidung yang terlihat kemerahan sebab bersin tanpa henti, pasti gatal sekali, tapi ia tipikal yang bebal soal urusan obat, Mey benci obat dan ia tak pernah ingin sakit—apalagi sampai terbaring di brankar rumah sakit. "Lol, kok diam aja? Lo sekarang jadi kalem, ya. Capek ya ngurusin gue, hatchi!"
Gadis itu berusaha beranjak duduk tanpa mendorong selimutnya, ia masih sibuk menggosok hidung sebelum menoleh pada sosok yang membuatnya berkedip beberapa kali, Mey bahkan seperti linglung saat ia menatap ke depan dan kembali pada wajah Riska, sesuatu membuatnya kebingungan.
Tiba-tiba saja Meira tertawa menatap Riska yang tetap memasang raut datarnya. "Kayaknya pusing kepala bikin gue berhalusinasi, sejak kapan kayak gini. Lolita berubah jadi Riska ya ampun." Ia menggeleng seraya menyentuh keningnya yang hangat, merasa jika lelucon berada di kamarnya. Saat Mey bergeming dari tawa, ia kembali memperhatikan Riska yang sama sekali tak mengubah ekspresi wajahnya, tetap hambar seperti sayur tanpa garam. Lagi-lagi Mey berkedip guna memastikan sesuatu, ia bahkan menggucak mata meski tetap saja rupa laki-laki itu tak berubah menjadi Lolita seperti dalam pikirnya.
"Ya ampun ini mimpi kan. Mana mungkin ada cowok ini di apartemen gue sekarang." Ia menyingkirkan selimutnya sebelum turun dari ranjang dan menghampiri Riska. "Ini nggak mungkin, nggak benar. Ada yang salah sama mata dan otak gue." Mey tetap belum yakin atas apa yang dilihatnya, ia tak segan menangkup wajah Riska dan merabahnya, terasa sekali suhu tubuh gadis itu saat menyentuh kulit Riska, tangan kanan Riska muncul dari saku jaket dan beralih menyentuh pergelangan kiri Mey saat gadis itu masih sibuk memastikan.
"Gue Riska."
Tangan Mey refelks meluruh usai mendengarnya, ekspresi gadis itu juga berubah, ia tampak sendu. "Lo, lo ngapain di sini."
"Nggak ada hal lain, lo nggak perlu ke rumah gue buat antar sesuatu yang nggak gue minta," ucap Riska.
Wajah Mey semakin muram. "Kayaknya itu semua terserah gue selama enggak melanggar hukum, toh gue enggak memunculkan wajah di depan elo kan, apa masalahnya bisa berat?"
Riska bergeming, Mey memutuskan kembali merebahkan tubuh di ranjang dan menarik selimutnya, ia memosisikan tubuh seperti tadi; memunggungi Riska. Perasaan Mey jadi tak keruan, entah ia harus bagaimana melukiskannya.
"Nggak ada urusan lagi, kan? Mending lo pulang, atau ke tempat Luna aja." Mey berdecih. "Yang tetap romantis tanpa kenal waktu." Entah sindirian atau ungkapan patah hati, tapi Mey senang mengatakannya.
"Lo nggak perlu lagi repot-repot datang ke rumah gue." Riska memutar tubuh sebelum melangkah pergi, tapi saat tiba di ambang pintu ia terhenti dan menoleh. "Minum obatnya." Setelah itu pintu tertutup rapat, Mey baru menoleh saat sosok Riska tak lagi dilihatnya, bagaimana pun laki-laki itu memiliki akses yang mudah untuk masuk ke apartemennya sesuka hati. Apa Mey merasa menyesal sekarang?
Karakter laki-laki judes ternyata ngalahin cewek judes.
***
Sebuah shopping bag tergenggam di telempap kanan Meira setelah ia turun dari mobilnya yang sudah selesai diperbaiki, bersin masih sibuk mengusik, tapi ia tetap berangkat ke kampus karena semangatnya berada di sana tanpa harus ia mengakui atau menyadarinya. Ia tersenyum tipis menatap shopping bag tersebut, di dalam sana berisi sesuatu yang menjadi alasan besar mengapa Mey harus menghampiri fakultas tempat Riska bernaung sebelum gadis itu menyapa teman-temannya seolah Riska menjadi yang lebih utama.
Penuh pesona Meira melangkah santai menghampiri gedung fakultas lain yang jaraknya cukup jauh, ia tak meninggalkan tatapan mahasiswa yang baru dilewatinya, jika pagi ini cemoohan menghampiri telinga—ia usahakan terus baik-baik saja selama bulan tidak jatuh ke bumi.
"Mey, lo kalau pakai lingerie bisa sepanas itu ya, gue jadi pengin lihat langsung," celetuk seorang mahasiswa di koridor yang baru saja Mey lewati, sayangnya godaan tersebut tak membuat langkah Mey terhenti, ia sengaja menulikan telinga untuk segala hal yang merusak good mood di pagi hari, Mey kasihan pada alarm yang sudah bersusah payah membangunkannya.
"Mey kok di sini?" Semburat merah muda terlihat begitu jelas saat Haikal baru keluar dari sebuah ruangan dan berpapasan dengan Meira, baginya gadis itu lebih menarik dari sinar matahari.
"Hai." Mey menyempatkan diri berhenti, bagaimana pun Haikal memiliki andil besar untuk urusan Mey dan Riska. "Teman lo mana? Tadi gue udah lihat motor dia di parkiran."
"Teman?" Haikal sempat berpikir.
"Iya, si Riska. Dia di mana?"
"Gue belum ketemu dia, Mey."
Ekspresi senang Mey lenyap, ia meninggalkan Haikal tanpa mengatakan apa-apa. Gadis itu harus mencari Riska di segala tempat, tapi ia mengawalinya di ruangan Mapala yang sempat didatanginya tempo hari—sebelum Riska hiking ke Pangrango.
Rupanya seorang mahasiswi baru keluar dari ruangan tersebut, Mey masih familier dengan rupa Ajeng yang pernah dipuji-puji Riska saat itu, Mey memutar bola mata saat Ajeng berdiri di depannya.
"Cari siapa sampai jauh-jauh ke sini?" Kentara sekali rasa tak suka Ajeng terhadap Meira.
"Mau bayar berapa kalau gue kasih tahu." Mey bersidekap seraya memasang senyum miring. "Bukan urusan lo kan, nggak merugikan lo juga."
"Cari Riska? Bukannya Riska udah punya cewek ya, Luna namanya." Ajeng berusaha menegaskan posisi Mey seharusnya.
"Gue nggak nanya apa-apa sama lo, urusan gue sama Riska." Saat Riska muncul di belakang Ajeng, senyum Meira merekah, tapi tentu tidak bagi Riska. "Hai." Mey bahkan melambai tangan seolah senang telah menemukan laki-laki itu.
Ajeng menoleh pada Riska. "Lo ada urusan apa sih sama dia, kayaknya dari waktu itu nyariin terus, lo nggak takut si Luna cemburu, Ka?" Begitu polosnya ia bertanya.
Mey berdecih. "Ya ampun siapa sih nama lo, untung nggak kenal. Gue bilang bukan urusan lo, manusia. Ngapain juga takut Luna cemburu, yang ada Riska malah takut sama gue." Ia tersenyum sengit pada Riska yang lantas menarik tangannya menjauh dari sana, Ajeng benar-benar tak mengerti apa yang terjadi antara kedua makhluk tersebut.
"Ngapain ke sini." Riska to the point setelah menarik Mey ke halaman belakang kampus yang sepi dari aktivitas manusia, ia meloloskan tangan gadis itu.
"Jaket lo, udah gue laundry kok." Mey mengulurkan shopping bag yang ia bawa, dan Riska menerimanya. "Oh ya, status gue ini cewek lo kan ya—meskipun without something, tapi tetap aja gue ini pacar lo. Kalau nggak sibuk nanti sore temenin gue pemotretan ya, nanti gue share location. Bye." Mey menyempatkan mencubit pipi Riska sebelum meninggalkan laki-laki itu, dan permintaan Meira adalah vonis yang harus Riska jalani.
***