Kantin Universitas Malaka masih terlihat sepi pagi ini, Meira dan ketiga temannya juga baru menginjakan kaki di sana sebelum duduk di balik salah satu meja. Meira duduk di sisi kaca tebal bersebrangan dengan Selly, ada Mona di sebelahnya bersebrangan dengan Tania. Tampak Tania serta Mona memesan kopi untuk menyambut aktivitas pagi di kampus, sedangkan Selly hanya sebotol air mineral. Meira saja yang tak meminum apa-apa, sejak pagi suasana hatinya sedang tidak bagus meski langit begitu membiru hari ini.
Tidak, semua bukan kesalahan langit, bumi atau tempat mana pun. Semua adalah salah sepasang manusia yang membuat Mey untuk pertama kalinya menginjak-injak tulip yang ia terima, jika bukan dari Riska belum tentu Meira sudi menerima, tapi saat ia menerima dengan senang hati malah dibuat kesal setengah mati.
Ketika teman-temannya sibuk berbicara membahas ulang tahun ke-21 Selly esok malam, hanya Meira yang diam seraya menopang dagu dengan tatapan mengarah pada jendela kaca tebal di sampingnya. Kondisi di luar sana jadi terlihat jelas, apalagi lapangan basket yang arahnya berada di sisi kantin.
"Adrian itu so sweet banget, teman dekatnya bilang kalau dia bakal kasih surprise ke gue pas malam ulang tahun nanti, dan gue jelas diminta pura-pura enggak tahu dong," celoteh Selly menatap Mona dan Tania bergantian, ia begitu excited membahas acara pertambahan usianya besok, undangan yang disebar hanya melalui e-mail. Selly adalah putri seorang CEO perusahaan yang bergerak di bidang konstruksi, ia anak paling bontot dari tiga bersaudara, kedua kakaknya laki-laki yang selalu memanjakan sang adik, apalagi salah satunya berada di Aussie dan belum ada yang menikah. Jadi, pusat perhatian masih bisa dibagi untuk adiknya.
Circle persahabatan Meira memang terbilang cukup mumpuni, bisa dibilang tidak banyak orang yang bisa masuk di antara mereka berempat jika tak memiliki status sederajat. Mungkin selama ini Meira hidup sendiri, tapi penghasilan yang didapatkannya cukup membuat ia berada di tengah-tengah ketiga temannya, apalagi Meira begitu famous dan selalu menjadi pusat perhatian, jadi ketiga temannya merasa aura positif Meira menular ke mereka.
Tania sendiri adalah putri seorang jaksa, the one and only. Jelas sudah putri satu-satunya akan selalu dimanja orangtua, kalau orangtua Mona memiliki beberapa mall yang tersebar di Jakarta dan Bali, intinya status sosial ketiga teman Meira tak ada yang diragukan.
Nyatanya, di balik semua itu terselip lara dari seseorang yang terbiasa melakoni hidupnya sendiri. Ashila siap mengurus putrinya kapan saja, tapi Meira memutuskan keukeuh berdiri di atas kaki sendiri setelah wanita yang melahirkannya menikah lagi.
"Kalau si Randy sih, dia liburan semester mau ngajak gue liburan ke Korea dong, gue juga udah ketemu orangtuanya dan mereka baik banget ya ampun, calon mertua idaman." Begitu menggebunya Tania berbicara seraya membayangkan masa depan yang cerah jika ia kelak menikah dengan Randy, kedua sikunya bertumpu di permukaan meja saat sepasang telempapnya menangkup wajah sendiri.
"Wow, Korea, Tan?" Selly nyaris tak percaya, banyak sekali orang yang ingin berlibur di sana.
"Baik banget ya Tan si Randy," puji Mona, tapi setelahnya ia mengerucut sebal. "Kalau gue enggak tahu nih, pengin banget selingkuh, habisnya Ryuji kayak main sesuatu di belakang gue, dia udah enggak perhatian lagi.
"Gampang kalau cowok begitu, nanti gue cariin cowok cakep dan tajir buat lo, kalau nggak tanya sama si Mey aja tuh. Dia kan sering blind date sama cowok tajir," ujar Selly.
"Tapi, cowok aja nggak punya," ledek Tania membuat kedua temannya terkekeh saat bahan olokan mereka justru seakan tak mendengar apa pun sebab pikirannya berada di tempat lain, Mey hanya membiarkan raganya saja yang berada di sana.
"Iya juga, ya. Kan gue punya sahabat yang sering kencan sama cowok tajir, pasti dia bisalah bantuin gue. Cuma buat pelampiasan aja, gue belum mau putus dari Ryuji." Mona merasa setuju dengan usulan Selly, ia pun menoleh pada Meira seraya menyentuh lengannya—membuat Mey akhirnya menoleh dan membuyarkan konsentrasi dari hal lain. "Mey, lo pasti bisa dong bantuin gue."
"Bantu apa?" Mey menatap ketiga temannya bergantian, ekspresi mereka seperti menantikan sebuah harap sederhana. "Kok pada lihatin gue kayak gitu, ada yang aneh sama gue?"
"Bukan, Mey. Gue mau minta tolong buat cariin cowok sama lo," ujar Mona.
"Cowok? Bukannya lo udah ada Ryuji, mau lo taruh di mana dia."
"Nah ini nih, si Mey dari tadi mikirin apa sampai nggak dengar pembahasan kita," sergah Tania, "mikirin lo bakal blind date sama siapa malam ini, ya?"
"Apaan sih." Mey tampak tidak suka mendengarnya.
"Ya udah makanya bantuin." Mona memohon. "Ya, biar pun lo nggak ada pacar, tapikan pasti tahu cowok mana yang cocok buat gue."
Meira berdecak dan beranjak. "Kalian apa-apaan sih, masih pagi udah bahas cowok," keluhnya sebelum mendorong kursi ke belakang untuk mencipta ruang agar ia bisa lewat dari belakang Mona dan pergi meninggalkan kantin.
"Ya ampun dia marah?" Selly bertanya-tanya. "Ini pasti karena kesindir keseringan blind date, tapi nggak punya pacar."
"Tau, lagi tanggal merah kali," ujar Tania, ia sendiri turut meledek sahabatnya tadi, sedangkan Mona hanya bisa mengedik bahu sebelum meneguk kopi yang sudah terhidang sejak tadi.
Meira memutuskan menyingkir ke toilet ketimbang mendengar ocehan teman-temannya lagi, mood Mey seperti semakin ambruk karena ketiga sahabatnya. Toilet terlihat sepi saat ia datang, Mey berdiri di depan salah satu wastafel sekadar menatap pantulan wajahnya di sana.
Mereka aja yang nggak tahu kalau gue punya pacar, tapikan emang cuma buat main-main aja, jadi nggak perlu dikasih tahu juga. Meira berdecak kesal, ia memutar tubuh sebelum bersandar pada wastafel di belakangnya, Mey merogoh ponsel dari hand bag sekadar mencari nomor Riska, entah mengapa ia merasa semakin gusar saja. "Argh, pasti dia masih sibuk sama si Luna. Kan tadi bilang mau ke bandara."
Terlihat salah satu pintu toilet terbuka dan memperlihatkan sosok Alexa yang tiba-tiba muncul seperti sosok Hanako-San, kehadirannya sungguh tak diharapkan. Alexa tersenyum miring menatap keberadaan Meira di sana, ia mendekat dan berhenti di depan rivalnya tersebut.
"Kemarin Juna cerita sama gue kalau dia hampir cium lo, tapi kenapa nggak dapat, ya? Harusnya kan bisa, apalagi lo terkenal banget dengan stigma sebagai ayam kampus," cibir Alexa tanpa diduga.
Meira tak menggubris perkataan Alexa, ia sekadar melirik gadis itu seraya mengarahkan ponselnya ke telinga.
"Jangan pura-pura budek deh, Mey. Gue tahu kalau lo pasti cuma caper karena ada cowok lo di studio waktu itu kan, kalau nggak ada pasti lo udah berlanjut sama Juna—bahkan sampai panas di ranjang."
Meira meluruhkan ponsel dari telinga sebab nomor yang dihubunginya tak kunjung mengangkat panggilan, ia menyimpannya kembali pada hand bag. Dinyalakannya kran wastafel sebelum Mey menampung air di kedua tangan dan mencipratkannya ke wajah Alexa tiba-tiba.
"Meira, lo gila!" Alexa mendelik tak percaya saat pakaian serta wajahnya sedikit basah.
Mey tersenyum miring. "Api emang harusnya dipadamkan biar nggak ngebakar orang lain," cibirnya sebelum melenggang keluar dari toilet.
"Dasar sialan lo, Meira!"
***
Sekitar pukul sebelas setelah Meira menyelesaikan kelasnya ia memutuskan pulang sendiri saat ketiga sahabatnya akan pergi dengan pacar mereka, Meira sendirian, lagi. Hari ini ia tak memiliki jadwal pemotretan atau kencan buta dengan siapa pun, bukannya tak ada tawaran kencan buta, tapi ia sedang libur melakoninya.
Sepasang kakinya sudah memasuki area parkir kampus, tapi tinggal beberapa langkah lagi hendak mencapai mobilnya—langkah Mey terhenti saat ia mengingat sesuatu, ia memutar tubuh meninggalkan parkiran mobil menuju barisan motor di sisi yang lain. Meira ingin memastikan sesuatu mumpung ia mengingatnya.
Tatapannya bergantian mensortir satu per satu motor yang dilewatinya perlahan, ia tengah mencari sesuatu sebelum senyum liciknya muncul sebab menemukan motor yang ia cari. "Jadi, dia udah ada di kampus ternyata. Yah, gue bisa ngeledek sebentar dong." Mey menatap ke segala arah sekadar memastikan situasi, tampak sepi.
"Riska, karena lo udah nyebelin banget, jadi kita gantian ya," ucapnya sebelum berjongkok di dekat motor Riska, ternyata Mey sengaja menggembosi kedua ban motor Riska. "Kalau kayak gini kan impas." Ia beranjak dan tersenyum merekah, tapi tepat saat tubuhnya berdiri tegap Mey baru menyadari jika seseorang pasti sudah melihat perbuatannya tadi.
Entah siapa namanya, laki-laki yang tampak culun dengan kaca mata tebalnya tengah berdiri di dekat motor vespa—yang kemungkinan adalah miliknya—ia terus saja menatap Meira tanpa kedip seolah baru saja memergoki aksi kejahatan. Posisi mahasiswa tersebut berada di seberang motor Riska.
"Lo tadi lihat yang gue lakukan?" tanya Mey memastikan, dan mahasiswa itu mengangguk cepat. "Terus, lo mau ngadu sama yang punya motor ini?" Ia memutuskan mendekati laki-laki culun yang tak mengedipkan mata saat melihat Meira dari jarak sedekat itu.
"Luar biasa," gumam mahasiswa culun tadi.
"Apanya yang luar biasa." Mey begitu galak dan pongah, ia bersidekap. "Lo yakin mau ngaduin gue sama si Riska?"
"Ng ... anu."
"Anu apa? Kalau lo ngadu nanti bakal menyesal, gue nggak takut sama lo, mau di sini juga gue berani kok."
"Ber, ber, berani apa, ya?" Suaranya mulai gagap saat telunjuk kanan Meira menyentuh dagu mahasiswa itu, tubuhnya teras panas dingin tiba-tiba, sentuhan Mey seperti sengatan saja baginya.
"Jangan ngaduin gue, ya." Ekspresi galak Meira berubah sumringah, telunjuknya meluruh menuju bahu dan menepuknya beberapa kali. "Kan lo cowok baik dan ngegemesin banget, jadi lo pasti akan bantuin gue jaga rahasia ini, rahasia kita. Oke?"
"Ra, ra, rahasia?" Dialognya masih tergugu.
"Iya dong rahasia, cuma antara lo sama gue." Setelah berkata demikian Meira melenggang pergi, senyum miringnya kembali merekah setelah puas mengerjai Riska.
***