Senyum jahil di wajah Meira sama sekali tak bisa ia singkirkan saat ini, ia terlalu gemas menanggapi sikap cemburu seseorang yang baginya begitu lucu, ia yakin Riska takkan lagi mengajaknya makan di foodtruck dekat Universitas Dharmawangsa tadi—pasalnya Meira melakukan hal yang tak pernah dilakukan pembeli lain.
Jika teman-teman Riska atau kebanyakan pembeli makanan foodtruck tadi mengajak si penjual perempuan untuk berswafoto, maka yang dilakukan Meira adalah kebalikannya, ia mengajak si suami berswa foto dengannya tanpa memedulikan Riska yang terlihat tak suka. Lucunya lagi Meira memposting foto tersebut ke linimasa instagramnya dengan alasan ia endorse makanan dari foodtruck—seperti yang banyak pembeli lainnya lakukan.
Untungnya si penjual foodtruck sama sekali tak marah saat Meira mengajak suaminya berswafoto, mungkin sebab penjual tersebut juga seringkali berswafoto dengan para pelanggan yang lebih didominasi laki-laki.
Meira menikmati setiap detik saat rasa cemburu dalam diri kekasihnya yang terus mengakar, ia tak ingin melepas pelukannya pada perut Riska saat motor membawa mereka semakin jauh menjelajah jalanan ibukota siang ini.
Sesekali Meira mengintip ekspresi laki-laki di depannya dari pantulan spion, tampak muram dengan alis bertaut, saat Meira kepergok—ia lantas mengalihkan pandang dan tersenyum kecil.
Semenyenangkan ini bikin orang yang gue sayang cemburu, gue iri sama Luna, batin Meira.
"Kok kita masuk ke area perumahan lo, emang enggak jadi antar gue pulang?" tanya Meira saat ia merasa jalan yang mereka lalui berbeda dari arah menuju ke apartemen Meira, dan ia cukup familier dengan area sekitar.
"Nanti, ke tempat gue dulu," sahut Riska tanpa menurunkan kadar kekesalannya, "gue mau kasih lo lihat sesuatu."
"Oke." Apa pun itu Meira tengah merasa senang, meskipun Riska mengajaknya ke neraka saat ini pun Meira menerimanya dengan senang hati.
Meira memang terlalu antusias dengan rasa senangnya sampai tak memusingkan atmosfer sekitar tentang langit yang sudah mengabu sejak mereka memutuskan pulang dan berpisah dari teman-teman Riska, lantas semakin suram tatkala gerimis perlahan turun menyentuh bumi Jakarta, membuat laju kendaraan Riska semakin kencang sebab posisinya dari rumah masih jauh.
Saat Riska memutuskan kembali lagi ke Jakarta dan tinggal sendirian memang sudah dipikirkannya matang-matang, bagaimana pun Jakarta adalah tanah kelahirannya, tempat Riska menghabiskan masa kecil hingga usia enam sebelum akhirnya pindah ke tempat lain.
Sialnya saat ia mencari tempat tinggal di Rafflesia Residence malah mendapatkan rumah di pojok cluster, bisa dibilang cluster yang Riska singgahi posisinya berada paling belakang dari cluster yang lain, alhasil jarak cukup panjang dari gapura utama perlu ia tempuh, tapi melakoninya setiap hari membuat Riska terbiasa. Jangankan jarak cluster dari gapura utama, dari lereng gunung menuju puncaknya yang tak bisa dilalui seperti menapaki aspal pun ia sanggup.
Kini motor berhasil berhenti di depan gerbang rendah rumah Riska. "Bukain gerbang, mau hujan deras," tutur Riska pada perempuan di belakangnya yang kini turun dan bergerak membuka gerbang rendah di depan rumah laki-laki itu.
Hujan deras benar-benar tiba setelah Riska berhasil memarkir motornya di bawah atap beranda, bunyinya lebih terdengar seperti air yang disiramkan dengan kasar, saking derasnya.
Meira melepas helm dan mengulurkannya pada Riska yang juga baru melepas pelindung kepala tersebut, ia meletakannya di masing-masing spion, tanpa mengatakan apa-apa Riska merogoh kunci dari dalam ransel, membuka pintu dan meninggalkan Meira yang merasakan aura gelap dari kekasihnya.
"Riska kalau cemburu kayak gini ya," gumam Meira tersenyum jahil, tanpa menunggu laki-laki itu mengizinkannya masuk—Meira sudah lebih dulu melangkahkan kakinya ke dalam, ia turut serta melepas sepatu saat menemukan Riska duduk di sofa seraya melepas sepatu dan menggantinya dengan sandal japit, tapi hanya satu. "Lah, terus gue pakai apa?"
"Nyeker."
"Nyeker?" Meira merasa asing dengan kosa kata tersebut.
"Enggak usah pakai sandal." Riska beranjak memasuki kamarnya, ia tak peduli dengan apa yang dilakukan Meira sekarang. Hanya saja perempuan yang satu itu memang seperti anak kucing, ia mengikuti Riska memasuki kamarnya dan duduk di tepi ranjang saat Riska memasukan colokan charger ke lubang ponsel. Lagi-lagi Riska tak peduli atas apa yang dilakukan Meira.
"Riska, lo marah sama gue?" tanya Meira yang mulai kesal tak diperhatikan lagi. Sayangnya, Riska tak menyahut, ia lebih mementingkan ponselnya ketimbang perempuan yang kini mengerucut sebal. Meira tak menyerah, ia menghampiri Riska, duduk di sampingnya dan menangkup wajah kuarsa tersebut seraya mengarahkannya untuk menatap Meira. "Look at me, okey? Lo marah? Ya ampun, itu cuma foto, enggak penting."
Riska mendengkus, ia meluruhkan tangan Meira dari wajahnya dan menunjukan sebuah video CCTV di ponselnya. "Lo kenal dia?"
Kini perhatian Meira sepenuhnya teralihkan pada video tersebut, rupanya rekaman CCTV di area parkir kampus, Meira mengenali mobilnya di sana, ia mengernyit saat melihat gerak-gerik seseorang begitu mencurigakan ketika menghampiri mobilnya. Detik-detik rekaman terus berlanjut saat laki-laki dengan wajah tertutup masker tersebut berjongkok di belakang mobil Meira dan masuk ke lorong kendaraan itu, entah apa yang dilakukannya sebab tak terlihat kamera, yang jelas saat laki-laki itu keluar dari lorong ia memegang sebuah gunting dan menyimpannya di saku hoodie sebelum bergegas pergi.
Meira bergeming usai video CCTV berakhir, rupanya benar jika mobilnya disabotase hingga rem tak berfungsi dengan benar, ulah orang jahat tersebut sangat merugikan sebab kini Meira tak memiliki kendaraan.
Meira jadi mengingat perkataan teman-temannya saat berada di kelas pagi tadi—setelah mereka berhasil mengintrogasi Meira tentang hubungannya dengan Riska, ketiganya bercerita saat Meira belum masuk kampus karena masih harus melakoni bed rest—yang sebenarnya sama sekali tak Meira jalankan—beberapa anggota polisi datang menemui pihak kampus, desas-desus mereka meminta rekaman CCTV dari hari tepat saat sebelum Meira mengalami kecelakaan akibat rem blong.
"Dapat dari mana video itu? Polisi?" tanya Meira.
"Pihak kampus, lo kenal orang itu nggak?"
Meira menggeleng. "Nggak sama sekali."
"Sadar kan kalau nyawa lo terancam, dan dalang semua ini pasti orang yang sama—yang datang ke apartemen lo malam itu." Riska menganalisis.
"Lo yang laporin soal mobil gue ke polisi?"
Riska tak menyahut, ia mengalihkan pandang. "Lo harus lebih berhati-hati."
"Gue enggak takut mati." Jawaban Meira membuat Riska kembali menatapnya. "Dibunuh atau enggak gue juga bakal mati, kan? Ini cuma tentang waktu, sekarang atau besok."
Riska berdecak. "Terserah."
Gue enggak takut mati, Ka. Tiba-tiba aja ngerasa kayak gini, karena ada lo di samping gue, rasanya selalu aman setiap saat, lo ada saat gue celaka di mana pun itu. Lo malaikat atau apa?
"Kenapa lihatin gue kayak gitu."
"Makasih ya, lo selalu ada di waktu yang nggak berpihak sama gue, lo muncul di sana."
"Hal kayak gitu enggak akan berlaku setiap waktu, makanya gue bilang lo harus hati-hati. Paham?"
Meira mengangguk, ia tersenyum sebelum mendekatkan wajahnya dan mengecup hidung Riska sekitar tiga detik.
Riska terperanjat tanpa suara, ia menatap lekat eboni Meira yang sama teduhnya seperti milik Riska, lantas meluruh pada bibir perempuan itu dan beralih lagi ke matanya seolah mencari sebuah keputusan, tapi ketika akhirnya ia menarik tengkuk Meira tiba-tiba artinya Riska sudah menemukan keinginannya.
Ponsel yang sempat tergenggam lolos begitu saja menjuntai terhubung dengan kabel charger yang menyentuh lantai kamarnya ketika Riska memilih aktivitas kissing scene nan panjang.
Sayangnya, ingatan Meira tentang video yang pernah disimpannya lagi-lagi muncul, ia refleks mendorong Riska menjauh—melepaskannya.
"Mey—" Riska protes, ia terkejut.
"Jangan dilanjutin, jangan." Ia beranjak dan melangkah gontai menghampiri pintu seperti orang linglung, seperti mabuk berat, rasanya begitu lemas.
"Mey!" Riska membentak—mengharapkan Meira memutar tubuh dan kembali padanya, tapi yang diharapkan Riska bertolak belakang, Meira terus melangkah sesusah apa pun hingga tiba di ruang tamu. Tubuhnya terduduk lemas di sofa, ia membenci situasi seperti ini saat harusnya semua bisa berlanjut begitu mudah, tapi bayangan akan Luna mengusiknya setiap waktu.
Meira menunduk menyugar rambutnya seraya sedikit meremas merasakan gemas, tapi setelahnya ia terperanjat kaget saat mendengar pintu kamar Riska ditutup begitu keras, sepertinya Riska tak terima.
"Dia marah?" Meira mengalah, ia beranjak menghampiri pintu kamar Riska, mengetuknya berkali-kali seraya meneriakan namanya tanpa jeda. "Riska, gue minta maaf, Ka. Buka sebentar." Ia bahkan tak pernah memohon seperti ini pada orang lain, Riska terlalu penting.
Pintu terbuka, tapi tak seluruhnya saat Meira hanya bisa melihat sisi tubuh serta wajah Riska, tatapan kekasihnya sudah cukup menegaskan hal berbeda, tak lagi layak dianggap teduh.
"Gue minta maaf." Meira mengiba, ia sampai seperti ini. "Sebelumnya gue pernah bilang kan buat jangan cium gue, lo ingat kan—"
"Jangan lo jadiin alasan." Riska membuka pintu lebih lebar, menarik Meira ke dalam dan menutupnya lagi. "Biar gue ajarin cara cepat lupa, gue juga bilang jangan lihat gue sebagai bayangan Luna. Nama gue Riska." Ia meloloskan sling bag Meira dari bahu perempuan itu dan melemparnya ke ranjang, ia tarik Meira ke kamar mandi, berdiri di bawah shower yang kemudian Riska nyalakan. Apa bedanya dengan air hujan di luar sana?
"Ini kenapa?" Meira tampak risi saat air shower terjun bagai hujan yang menyentuhnya, padahal ia mati-matian untuk menghindari hujan, tapi Riska sengaja menghadirkannya di kamar mandi.
"Cara biar lo cepat lupa." Riska meloloskan jaketnya, membuangnya ke arah selasar di luar kamar mandi, ia tak menutup ruangan tersebut. Kini mereka bermain hujan bukan dari tetesan air langit, setidaknya rasa dingin air shower tak seburuk air hujan.
"Gue nggak lupa, lo malah bikin gue basah. Ini nggak nyaman."
"Gue belum mulai."
"Apa?"
"Pertama, kalau lo ingat apa pun itu tolong jangan mundur, jangan dorong gue, jangan berhenti. Kedua, terus lanjutkan sampai lo benar-benar kehilangan minat dan lupa soal saudara lo, yang lo harus ingat adalah gue—Riska—di sini, sama lo."
Meira mengangguk meski ia tak benar-benar mengerti mengapa Riska harus seberusaha ini melakukannya, membuat mereka tampak konyol seperti anak SMA yang baru mengalami pubertas dan tak tahu cara menyalurkan hasrat seksual.
"Lihat gue, mata gue," tutur Riska mulai mengarahkannya, mungkin maksud Riska mengajaknya main hujan berdua di bawah shower adalah agar tetangga tak tahu apa yang mereka perbuat, mungkin.
Meira menatapnya, wajah basah yang hanya berjarak beberapa centi saja sampai perlahan bibir Riska menghampirinya, melakukan hal yang sama seperti saat di ranjang. Kali ini tempo lebih pelan seolah menghitung setiap detiknya, tangan Riska menangkup wajah Meira disertai tubuh yang merapat agar perempuan itu tak bisa bergerak.
Tangan Meira mencengkram kaus Riska, ia mati-matian menahan diri untuk tak mendorong, tapi lagi-lagi Meira tak bisa menahannya dan mendorong sekuat tenaga agar mereka terlepas, sayangnya Meira gagal saat Riska membantunya dengan terus menekan tubuh perempuan itu ke tembok.
Jatuhnya air shower cukup berguna saat hawa dingin dari udara di luar efek hujan terus menyerbu mereka disertai sentuhan air tiada henti yang membuat tubuh Meira serasa siap membeku kapan saja. Namun, di dalam sana hawa panas merambat menyusuri setiap jengkal tubuh tanpa terlewat satu centi pun. Hanya desah napas mereka yang membuat masing-masing wajah terasa menghangat meski guyuran air shower takkan mengalah untuk berhenti.
Meira tahu ia berusaha menyingkirkan bayangan Luna, terlebih saat bahasa tubuhnya meminta lebih, ia tak segan berjinjit meraih leher Riska dan memeluknya.
Lambat laun Meira merasa nyaman dengan apa yang mereka lakukan, ia mulai lupa dan menghilangkan setiap bagian rasa takutnya, bayangan akan Luna perlahan pergi digantikan rasa menginginkan sesuatu yang lebih besar. Hasrat seksual Meira bergejolak.
"Ka ...." Suaranya terdengar memohon saat Riska melepaskannya, menjauhkan wajah mereka seraya menarik napas sebanyak mungkin.
"Gue enggak ke mana-mana." Suara Riska lebih lirih, ia kembali mendekat, tapi bukan untuk mereguk bibir Meira melainkan menarik sisi kepala kekasihnya agar miring, yang Riska dapatkan adalah leher polos nan basah.
Riska mengecupnya perlahan, ia juga memberi gigitan kecil sampai lenguhan Meira terdengar meski samar oleh suara air hujan di halaman rumah. Satu tangan Riska mulai aktif melepaskan satu per satu kancing kemeja yang Meira pakai, ia menarik bagian bahu sisi kiri ke bawah sebatas lengan dan sedikit memperlihatkan bra yang Meira kenakan, dikecupnya bahu tersebut disertai tangan yang terus menghabiskan kancing kemeja Meira sampai tangan lain turut serta meloloskan pakaian tersebut dari tubuh di depannya, jatuh di lantai.
"Riska ...." Meira tahu segalanya mulai memuncak sampai kepala perempuan itu terasa pening, ia terlalu hanyut dan candu menggapi setiap sentuhan Riska, kali ini efeknya lebih hebat dari malam itu.
"Let's continue this on the bed, okey?"
***