Chereads / Hello, Riska / Chapter 49 - First love.

Chapter 49 - First love.

"Kenapa, kenapa Papa menikah dengan perempuan yang udah sakit dari lama. Apa enggak ada perempuan lain?" Memang terdengar sarkas, tapi Meira ingin menanyakan hal tersebut sejak Rendra menjelaskan penyakit yang diderita Nirmala. Tadi, Meira mengajak keluar sang ayah menemui kantin dan berakhir duduk hanya berdua seperti sekarang. Pria yang selalu dirindukannya itu kini mendapat pembatas yang tebal agar tak bisa menyentuh Meira dengan mudah, bahkan untuk sebuah pelukan saja terasa sulit Sehan dapatkan.

"Papa berhutang budi sama mamanya Rendra, Mey. Sekalipun papa tahu dia sakit, papa bisa menerima konsekuensinya." Sehan menatap lekat wajah sang putri yang lantas mengalihkan pandang, Meira mati-matian menahan diri untuk tidak pergi, ia masih menginginkan banyak jawab dari tanya yang sudah meradang di kepalanya sejak lama. Sekarang narasumber sudah di depan mata, tinggal Meira melangsungkan wawancara.

"Selama ini, Papa ada di mana? Nggak di Jakarta kan?"

"Waktu itu, setelah bercerai dari mama kamu, papa pulang ke Palembang dan tinggal sama orangtua papa, terus sempat pergi ke Singapur. Di sana papa bertemu Nirmala dan Rendra, terus—"

"Menikah?" Meira mendesah. "Apa sebelum kalian menikah, dia tahu papa punya anak?"

"Tahu, dan itu alasan terbesar kenapa papa pulang ke Jakarta. Mencari kamu, apalagi mamanya Rendra sangat ingin bertemu kamu, Mey. Dia punya keinginan yang besar buat sembuh, penyakit Nirmala awalnya karena faktor keturunan, dia punya kakak laki-laki yang udah meninggal karena hal yang sama, tapi Nirmala juga punya diabetes. Sekarang kankernya dideteksi udah stadium empat, dan sebenarnya kanker udah menyebar ke paru-paru sama hatinya."

Meira bergeming seraya bersidekap, ia tak tahu harus bersikap seperti apa sekarang, antara harus iba atau marah karena ayahnya memilih pasangan yang sudah jelas bisa meninggalkannya kapan saja. Oke, semua orang akan mati pada akhirnya, tapi sekalipun hal tersebut pasti terjadi—setidaknya Sehan bisa memilih perempuan yang mampu mendampinginya bertahan lebih lama.

Sekarang Meira akan belajar menerima mengapa orangtuanya memutuskan hidup mereka sendiri, melepaskan tali kasih yang berakhir pedih, Meira akan berusaha mengerti mengapa sepasang manusia yang dipertemukan belum tentu bertahan berdua sampai salah satunya mati, bukan pergi ke lain hati atau perceraian di penghujung hari.

"Jadi, Papa di Singapur, bukannya pengobatan di sana lebih ...." Meira tak melanjutkan, harusnya Sehan mengerti apa yang hendak dikatakan putrinya.

"Memang, tapi Nirmala nggak mau ditinggal. Jadinya, dia ikut papa ke Jakarta sama Rendra, kami baru menempati rumah yang baru papa beli sebulan lalu, nggak nyangka juga kalau warung nasi bebek mempertemukan kita." Sehan tersenyum, ia menyadari jika Meira masih putri kecilnya yang dulu seringkali duduk berdua menikmati nasi bebek seraya berbagi banyak kisah, yang paling sering bercerita adalah Meira, apa saja aktivitasnya selama seharian di sekolah.

Sekarang, Meira-nya sudah tumbuh dewasa dengan begitu baik, berkembang pesat tanpa didampingi ayahnya. Bahkan, gadis itu terlihat sangat cantik, Sehan hanya mengasumsikan jika kehidupan Meira tanpa kehadirannya—jauh lebih baik-baik saja, pasti Ashila merawat anak mereka dengan baik.

"Kalau boleh papa tahu, Mey tinggal di mana?"

"Apartemen."

"Sama ... Ashila?" Ia tampak skeptis bertanya, saat Meira menggeleng—bola mata Sehan menelisik sesuatu yang mungkin mampu menjelaskan.

"Aku enggak tinggal sama mama, dia sama kayak Papa kok, menikah lagi dan tinggal di Jerman. Mama juga punya anak tiri, malah satu apartemen, tapi beda unit." Meira menerawang. "Aku punya harapan besar buat Papa, siapa tahu nanti kita ketemu lagi dan aku bisa ikut Papa, tapi ekspektasiku hancur waktu Rendra bilang kalau dia anak Papa, harapanku mati detik itu juga."

Sehan terperanjat. "Mey—"

"Aku lagi berusaha belajar buat menerima semuanya walaupun ini nggak adil, buat aku. Entah buat kalian yang semuanya bahagia sama kehidupan baru, pasangan baru—bahkan kalian mendapatkan anak juga dari pasangan kalian, di satu sisi aku selalu mikir—apa Meira ini masih masuk ruang lingkup kehidupan kalian?" Bola mata yag sempat menerawang itu kembali pada Sehan, memenjarakannya dengan nanar. "Papa tahu nggak, aku hidup sendiri, mama nggak ada karena dia di Jerman, sekalipun sekarang mama udah di Jakarta, rasanya tetap sama. Aku ngerasa nggak punya siapa-siapa lagi, aku cuma punya Riska, cuma Riska." Kelopaknya berkedip beberapa kali sengaja menahan air matanya agar tidak tumpah, kenyatannya jatuh juga. "Aku sakit hati, Pa. Aku kecewa sama kalian, buat apa menikah kalau harus bercerai, aku nggak akan nuntut apa-apa. Tapi, tolong, jangan." Kerongkongannya terasa sakit sekarang, seperti kering dan butuh air meluncur ke dalam sana, ia menunduk—menangis sebanyak mungkin tanpa ingin dilihat oleh ayahnya.

"Meira, papa minta maaf." Sehan beranjak mendekati putrinya yang masih terduduk terisak, ia membungkuk memeluk gadis itu, setidaknya masih ada ruang rindu yang tersisa.

"Aku bisa menerima kalau orang-orang menghujat, merundung atau mencaci setiap hari. Tapi, kalau untuk merasa berdiri jauh di belakang mama sama papa—rasanya susah, sekalipun Mey berusaha lari mengejar kalian, tetap nggak akan sampai, karena kenyataannya Mey udah tertinggal jauh, nggak ada lagi di antara kalian—setelah tangan kalian sibuk menggandeng kebahagiaan yang baru, dan itu bukan Meira, bukan Mey alasannya kalian bahagia."

"Mey, papa pulang ke Jakarta buat kamu, Nak. Papa cari kamu." Tak disangka air mata Sehan turut serta jatuh, semua seperti deja vu, ia juga pernah sampai menangis saat harus meninggalkan Meira di hari terakhir mereka bertemu setelah keputusan sidang perceraian. Tangan kecil yang seringkali diusapnya dengan lembut dipaksa terlepas begitu saja oleh keadaan, oleh dunia yang menarik mereka ke masing-masing sisi.

Lantas, kini Sehan harus menangis lagi karena pertemuan mereka setelah bertahun lamanya, karena kisah kekecewaan Meira yang besar setelah segala asa yang dirangkainya tak pernah membuktikan apa-apa. Anggap saja gadis itu berdiri sendirian di seberang jalan, sedangkan di sisi yang lain ia melihat orangtuanya berdiri beriringan dan tampak bahagia dengan kehidupan baru mereka, jalan yang mereka pilih setelah retak yang akhirnya pulih.

Meira seperti seorang putri yang terbuang.

"Kalau aku dikasih pilihan antara hidup di masa lalu atau masa depan, aku enggak mau keduanya, Pa. Semuanya sama-sama menyakitkan." Tangannya menyentuh lengan Sehan yang melingkari dada gadis itu, ia menjatuhkan air matanya di sana.

Atmosfer di ruangan itu menjadi berbeda, kecanggungan mereka berakhir seperti ini, seperti langit yang mengabu. Karena sebuah perpisahan memang menyisikan luka, dan Meira justru memupuknya hingga tumbuh subur dan kian membesar, ia hidup dengan mempertahankan harapannya—bisa bahagia besok setelah bertemu sang ayah, tapi apa sekarang masih bisa?

Sehan masih menjadi cinta pertama, dan Meira belum siap menggantikannya dengan orang lain—termasuk Fredy. Tidak, ia tak sudi merebut cinta pertama Luna, cukup dengan Riska.

Orang-orang yang kebetulan berada di sana, menatap mereka dalam aura yang berbeda, sama-sama menikmati mendung yang tak berada di angkasa. Sehan melepas dekapannya, ia masih membungkuk seraya mengusap tangis Meira, kali ini tak hanya Meira yang tertampar oleh kenyaatan. Sehan juga merasakannya, bahkan telak.

Sebuah kejutan tak selalunya membuat bahagia, seperti apa yang mereka alami, kejutan patah hati. Tahun demi tahun Meira terjebak dalam terungku harapannya hingga saat tiba keluar ia malah menemui sia-sia.

"Mey—" Perkataannya terhenti karena dering ponsel yang membuat Sehan merogoh saku celana, ia menatap nama Rendra di sana. "Iya, Ren." Hening, seseorang tengah berbicara di lain tempat. "Iya, papa ke sana sekarang."

"Aku juga mau pergi." Meira beranjak sebelum Sehan mengakhiri temu mereka kali ini.

"Papa boleh minta nomor ponsel kamu?"

"Minta ke Riska aja. Aku permisi." Gadis itu benar-benar melenggang seraya menyeka sisa air hujan di wajah, kantin yang kebetulan berada di lantai utama membuat Meira lebih cepat menghampiri area parkir, ia membuka sling bag dan merogoh ponsel. "Riska, gue ada di parkiran, di sebelah motor lo. Tolong cepat ke sini ya, gue mau pulang."

Tak sampai sepuluh menit Riska sudah datang, tampak bergegas sebab menyadari sesuatu menimpa gadis itu setelah mendengar suaranya di telepon. Kenyataan memang benar, ia menemukan wajah sembap Meira, niat hati ingin bertanya, tapi Riska memilih mundur. Sebab ia tahu apa pun yang baru saja terjadi antara Meira dan Sehan pasti segala tentang luka. Jika tidak—tak mungkin ada air mata, terlebih tadi Riska juga berpapasan dengan Sehan saat ia baru keluar dari lift, mata memerah pria itu sudah cukup menjadi bukti.

"Pulang sekarang?" tanya Riska.

"Iya, kita pulang aja." Diraihnya helm dari spion, ia memasangkan pengait di bawah dagunya sebelum duduk di belakang Riska.

Kini motor melaju meninggalkan area rumah sakit, membawa pedih Meira yang masih tersisa untuk seseorang. Setidaknya, ia sudah mengungkap semua rasa kecewanya pada Sehan, bahkan untuk Ashila juga. Harapan Meira setelah semua yang terjadi tidak muluk-muluk, ia ingin hidup lebih baik lagi ke depannya tanpa mengusik siapa-siapa. Ia ingin membahagiakan diri sendiri serta melepas setiap beban yang sempat menggelayut manja di punggung, harusnya satu per satu mulai mundur—sebab ia sudah menegaskan apa pun kelak—dunianya yang masih terus berputar, ia ingin melihat awan biru di langit, bukan abu-abu.

Segala konflik yang terjadi sudah sangat mendewasakan dirinya, baru mau menginjak usia 21 tahun, tapi beban yang Meira lalui tidak tanggung-tanggung. Sekarang ia ingin menjauhi semuanya, mencoba berdamai sebab segala tanya di masa lalu telah terjawab. Ia sudah bertemu Sehan lagi, ia juga yang menanggung konsekuensi dari perpisahan orangtuanya.

Tolong, jangan ditambah lagi. Meira sudah terlalu lama berkubang dalam lubang penuh luka, jika masih ada yang lebih buruk dari ini—ia takut tak mampu menghadapinya lagi.

***