Tangan Meira bergerak bebas meraba sekitar sampai menyentuh kulit seseorang, jika miliknya—ia tak sampai membuka mata seperti sekarang, posisi tidurnya cukup bar-bar dan membuat pemilik ranjang sampai tak kebagian tempat, sebab Meira mendapatkan lebih dari separuh ranjang seolah yang paling berkuasa.
Matanya yang baru terbuka menatap samar laki-laki nan terlihat lugu saat kelopaknya terpejam, beda sekali jika bola matanya menatap orang lain, ditambah posisi tidur Riska begitu santai—sedikit duduk bersandar dengan sepasang tangan bersidekap, bagian atas tubuhnya shirtless, sedang bagian bawah berbalutkan ripped jeans berlutut robek.
Beda lagi dengan Meira yang sempat telungkup disertai kepala miring ke kiri, tapi keseluruhan tubuhnya yang naked tertutup selimut tebal. Ia sampai lupa sekarang jam berapa saking lelahnya dan terlelap berjam-jam, ditambah hujan deras yang sempat mengguyur membuat suasana sekitar terlalu memanjakan orang-orang untuk menemui rehatnya raga mereka.
Meira beranjak duduk seraya menarik selimut, ia menyandarkan kepalanya di bahu Riska meski laki-laki itu belum terbangun, bola mata Meira menelisik kamar tersebut—terutama kamar mandi dengan pintu terbuka yang memperlihatkan pakaiannya tercecer di lantai, ia mengingat segala hal saat pertahanannya runtuh oleh Riska.
"Ka, Riska. Ini udah malam ya." Meira mengangkat kepala dan menepuk lengan laki-laki di sebelahnya beberapa kali. "Bangun dong, gue mau pulang."
"Engh—" Riska membuka mata, tangannya tak lagi bersidekap dan menarik Meira dalam pelukan begitu wajah kekasihnya menyambut bola mata. "Hey." Lucu, kenapa harus tersenyum, apa adegan di ranjang yang membuatnya bahagia?
"Gue mau pulang, ini udah malam," rengek Meira seraya menepuk dada telanjang Riska berkali-kali.
"Ya udah, pulang tinggal pulang." Riska melepas dekapannya, ia sedikit mengeluarkan tenaga saat mengangkat ketiak Meira dan mendudukannya di pangkuan, selimut yang membalut Meira membuat beban perempuan itu menjadi berat.
"Iya pulang sih pulang, tapi gue pakai apa? Baju gue basah semua."
"Baju gue."
"Dalemannya?"
"Dalem-daleman?" Riska mengernyit mendengarnya, ia merasa tak memiliki apa yang Meira sebut. "Ya, jangan pakailah."
Meira mengernyit. "You're serious? You agree my insides are transparent in front of a lot of people? Shit!"
Riska terkekeh mendengarnya. "Kenapa sih? Gue masih enggak ngerti, i made you not a virgin, tapi kenapa lo ngelakuin pekerjaan yang bikin seluruh badan lo kelihatan banyak orang, selain dari punya gue."
Oke, punya gue.
"Itu pilihan, nilai kontraknya besar kok. Cukup buat memenuhi kebutuhan hidup gue, apalagi sendirian, nggak punya papa, siapa yang mau ngurusin." Meira berdecih, kalimatnya menegaskan seolah Ashila tak pernah turut serta dalam mengurusi proses kedewasaannya sampai Meira memutuskan bekerja sebagai model majalah dewasa. "Ini gimana? Gue nggak mungkin kan pulang pakai selimut aja kayak gini, nanti dikira dadar gulung."
Lagi-lagi Riska terkekeh, kini ia bebas mengapresiasikan perasaannya di depan Meira, sebab perempuan itu sudah melihat semua, mendapatakannya dari segala sisi—bahkan membuat Riska memunculkan bagian liar alami yang dimiliki setiap laki-laki.
Mereka hanya saling percaya, sebatas itu sampai mengorbankan semua termasuk perasaan orang sekitar, apa yang Meira miliki sebagai batasannya dengan laki-laki serta sebuah rasa yang datangnya tanpa diduga.
Andai hari itu Mona tak membuat mobil Meira hampir menabrak Riska di dekat gerbang kampus, belum tentu cerita mereka akan berjalan seperti ini, belum tentu Meira menyukai laki-laki yang sempat dimiliki saudara tirinya.
"Ya udah enggak usah pulanglah, tidur lagi aja."
Oke, Riska mulai menyebalkan.
Meira memutar bola matanya, ia bergerak turun dari ranjang seraya bersusah payah menyeret selimut tebal tersebut untuk menutupi tubuhnya. Riska tersenyum kecil menatap gerak-gerik Meira, untuk apa sampai seheboh itu saat ia sendiri sudah melihat semuanya?
Tatkala langkah Meira terhenti di depan kamar mandi, ia baru meluruhkan selimut dari tubuhnya yang topless dan berlari kecil memasuki kamar mandi seraya membanting pintu tanpa melihat laki-laki yang kembali dibuat terkekeh oleh tingkahnya.
***
"Perih banget," tutur Meira sesaat setelah keluar dari kamar mandi, ia melangkah perlahan seraya meringis menahan sakit di bawah sana, tubuhnya sudah berbalutkan handuk milik Riska yang hanya sebatas dada sampai paha.
Riska sendiri tengah berdiri di depan lemari seraya mengeluarkan kausnya serta celana yang ia lempar ke permukaan ranjang, kini tampilan ranjangnya sudah rapi lagi setelah pergulatan siang tadi, hanya saja tiada lagi selimut di sana—setelah Riska memasukannya ke mesin cuci termasuk pakaian Meira.
"Gue pakai baju lo lagi?" tanya Meira saat tangannya mengangkat celana serta kaus dari ranjang.
"Ya emang baju siapa lagi? Tetangga? Lo serius gue harus pinjam baju cewek ke tetangga?"
"Enggak juga sih, tapi ini celananya kecil, punya adik lo?"
"Punya gue, salah beli." Ia menyingkir memasuki kamar mandi seraya membawa kaus serta celana pendek sebelum menutup pintu.
Meira mengernyit menyadari sesuatu. "EH INI DALEMANNYA MANA? MASA CELANA SAMA BAJU AJA!"
"Nanti pakai jaket gue biar enggak kelihatan," seru Riska dari dalam kamar mandi, suara air shower kembali terdengar—memulai aktivitasnya di dalam sana.
Meira mendesah, apa pun yang terjadi ia harus menerima—termasuk memakai pakaian tanpa bra serta celana dalam, tidak lucu juga jika Riska sampai meminjam dua benda tersebut ke tetangga, apa yang harus dijawab jika mereka bertanya?
Jika dipikir-pikir kalau Meira sering datang ke rumah Riska—bisa membuat semua pakaian Riska berpindah ke lemarinya, kaus pertama yang dipinjamkan saja belum ingin Meira kembalikan, baginya terlalu memorable.
***
Meira mengernyit saat Riska baru keluar dari kamar mandi, sebab bola matanya baru menemukan beberapa tatto di sepasang kaki laki-laki itu sepanjang bagian bawah lutut sampai mata kaki. Meira sama sekali tak menyadarinya—terlebih saat mereka bergelut di ranjang Riska sama sekali tak meloloskan celana.
Ia terus menatap kaki laki-laki itu sampai pemiliknya berdiri di depan mata. "Kenapa?"
"Tatto di mana?" tanya Meira seraya mendongak menatap lawan bicara, ia duduk di tepi ranjang.
"Bandung, habis pulang hiking dari Tangkuban Perahu, setahun yang lalu." Riska duduk di sampingnya seraya mengusap rambut yang basah menggunakan handuk kecil, kini aroma yang terbiasa tercium dari tubuh Riska turut tersalur ke tubuh Meira.
"Kok lucu, gue mau coba juga kalau gitu."
"Coba apa?" Riska mengernyit seraya menghentikan aktivitas usap-usap rambut.
"Tatto."
"Nggak usah macam-macam."
"Kok jadi galak sih?"
"Nggak usah cerewet." Ia beranjak menghampiri lemari saat Meira mencebik bibir, dikeluarkannya jaket denim yang ia berikan pada Meira. "Dipakai biar nggak kelihatan."
"Gue laper," rengek Meira seraya beranjak memakai jaket Riska, toh sejak pulang dari kampus ia hanya memakan corn dog.
"Ya, habis ini makan." Sudut bibir Meira tertarik saat Riska mengatakannya, ia merasa tak lagi hidup sendiri sebab memiliki orang lain yang mengajaknya melakukan berbagai kegiatan bersama-sama, Meira merasa ia memiliki teman hidup dalam artian yang lebih intens.
***
Sedingin-dinginnya udara malam Jakarta saat ini, Meira tetap merasakan hangat tanpa bosan mendekap Riska dari belakang, tingkahnya adalah sebuah kewajiban, menyenangkan. Tak apa penampilannya berbeda sebab mengenakan kaus laki-laki yang oversize di tubuh kecilnya, bahkan jika semua orang mencibirnya sebab tampak aneh, masih ada Riska yang akan pasang badan. Seperti ini ya rasanya memiliki pacar, kalau Meira tahu—ia sudah mengabsen semua laki-laki teman kencan butanya, hanya saja mereka takkan mendapat apa yang Riska dapat.
Cinta.
Raga.
Rahasia.
Motor berhenti di dekat warung tenda nasi bebek favorit Meira, atau mungkin sekarang juga menjadi favorit Riska, sebab tanpa mengatakannya Riska sengaja mengajak Meira datang ke sana. Mungkin juga alasan lain tentang menatap perempuan kurus di belakangnya makan begitu lahap, malam sebelumnya mereka datang ke tempat ini dalam suasana berkabut, lebih tepatnya bagi Riska sendiri sebab usulan Selly untuk mendekatkan kakaknya dengan Meira.
"Lo nggak mau turun? Ini udah sampai," cerocos Riska saat perempuan di belakangnya masih sibuk menggamit tubuh seolah tak ingin turun.
"Oh iya lupa." Meira turun, ditatapnya area sekitar dan menemukan sedan hitam terpakir tak jauh dari posisi mereka, Meira mengedik bahu merasa semua golongan juga boleh makan di warung nasi bebek termasuk pelanggan bermobil, lagipula ia juga salah satunya meski mobil kini hanya tinggal kenangan. "Gue jadi kangen mobil gue. Padahal belinya pakai duit sendiri, sebentar lagi kontrak gue mau habis, enggak mungkin juga mikirin beli mobil."
"Jok motor gue nganggur," sahut Riska.
"Gue kan enggak bisa bawa motor."
"Yang nyuruh lo bawa siapa? Gue cuma bilang jok motor gue nganggur." Meski sarkas, tapi lagi-lagi Meira tersenyum karenanya, sebab terselip sebuah pesan yang mengartikan jika Riska siap mengantarnya ke man-mana.
Riska turun dari motornya, mereka berdua sama sekali tak memakai helm meski terkadang polisi berpatroli malam hari, tapi jarang di jam yang masih bisa disebut sore, sebab baru pukul delapan, biasanya patroli berlangsung jam sepuluh ke atas.
Riska menyingkir sejenak sekadar meneliti keadaan di dalam warung tenda sebelum membawa kekasihnya masuk ke sana, anggap saja ia tengah mencari kursi paling strategis untuk Meira agar aman dari jangkauan mata-mata jahat, terlebih pengunjung malam ini lebih didominasi oleh kaum adam.
Riska kembali pada Meira usai memastikan ruang kosong di dalam warung, ia merangkum tangan perempuan itu dan menariknya menghampiri warung tenda. Meira mengernyit saat ia mendengar suara tawa yang khas, begitu familier di telinga serta ingatannya.
"Riska, semoga gue enggak salah, ya." Ekspresi Meira tiba-tiba berubah cemas saat ia loloskan begitu saja tangan Riska.
"Hey, lo kenapa?"
Meira ingin memastikannya, ia bergerak memasuki warung tenda dan menemukan sekitar lima laki-laki menikmati makan malam di sana, dua di antaranya tengah tertawa, salah satu dari mereka membuat mata Meira berkaca. Ia sampai menggeleng saking tak percaya setelah sekian tahun berlalu.
"Papa?"
***