**
"Papa?"
Seketika tawa yang sempat mengudara dari bibir pria bertubuh kekar nan tinggi yang duduk di sudut warung tenda lenyap tanpa sisa saat bola mata serta pendengarannya berkoalisi mengartikan segala hal yang ia tangkap dari perempuan berjaket denim nan mematung di tempatnya seraya meluruhkan air mata.
"Papa?" Sekali lagi, Meira ingin mengatakannya—menyapa pria yang sudah bertahun-tahun menghilang tanpa jejak. Riska yang kini berdiri di belakang Meira hanya bisa mematung menyaksikan segala, kisah tentang pertemuan ayah dan anak setelah tahun demi tahun berlalu.
Tiba-tiba saja atmosfer tempat tersebut menjadi berbeda, tiada lagi suara obrolan pengunjung di sana, semua orang—termasuk Mbok Darti memberi ruang temu rindu untuk anak dan ayah malam ini.
Mbak Mey kaget gitu ketemu Pak Sehan, seolah mereka nggak pernah bertemu, batin Mbok Darti mengasumiskan sendiri, wanita berapron lusuh tersebut masih memegang piring kosong yang hendak ia isi dengan nasi dari rice cooker di dekatnya, semua orang seolah dipaksa menjadi patung yang bisu malam ini selain Meira serta Sehan saja.
Pria berkumis tipis tersebut beranjak, atensinya mengajak untuk terus mendekat tanpa setitik pun ragu. "Meira?"
"Ini bukan mimpi kan, ini bukan mimpi." Tepat saat Sehan berdiri di depannya Meira mendekap tubuh pria tersebut, menangis tersedu-sedu seraya mencengkram erat kemeja sang ayah.
Riska tersenyum tipis, ia memutuskan menyingkir dari sana dan memberi ruang untuk mereka, Riska memilih bertengger di motornya seraya menikmati udara malam Jakarta dalam nuansa gemerlap lampu sen hilir-mudik di jalan raya.
"Jadi, ini anak papa dari mantan istri?" Suara tersebut membuat Meira menjauhkan wajahnya dari kemeja Sehan, ia menatap pemilik suara yang sempat menyebut Sehan sebagai 'papa'.
"Siapa, Pa?" tanya Meira, ia asing dengan rupa laki-laki di belakang Sehan.
"Dia—"
"Saya Rendra, anak tirinya Papa Sehan." Senyum Rendra merekah disertai uluran tangan mengajak berkenalan pada Meira. "Kamu pasti Mey itu kan? Papa sering cerita sama saya tentang kamu."
"Anak, anak tiri?" Meira berusaha mencerna apa yang ia dengar, mungkin memang mengejutkan, tapi saat Rendra menegaskan kalau Sehan seringkali berkisah tentangnya—cukup membuat Meira percaya membalas uluran tangan Rendra. "Kam, kamu anak tirinya papa?" Ia beralih pada Sehan seraya menyeka air matanya. "Beneran anak papa?"
Sehan mengangguk, ia menangkup wajah Meira, menggunakan ibu jarinya mengusap air mata yang lagi-lagi jatuh. Di saat yang bersamaan dada Meira terasa sangat sesak, terlalu banyak perubahan yang terjadi dalam hidupnya dan semua itu harus ditelan bulat-bulat oleh Meira, suka tak suka, terima atau tidak Meira harus mengerti segala yang terjadi.
Meira senang mendapati jika Tuhan berbaik hati mempertemukannya lagi dengan sang ayah, bahkan di tempat memorable yang sering mereka kunjungi di masa lalu, tapi Tuhan tak hanya mengarahkan Meira melihat Sehan, Tuhan membawa banyak hal asing yang dipaksa masuk dalam kehidupan Meira.
"Riska," lirih Meira, "Riska!" Ia menepis kasar tangan Sehan begitu saja seraya melangkah mundur menatap nanar pria itu, sikap Meira berubah drastis dalam hitungan detik.
"Mey—" Sehan terperanjat.
Meira menggeleng, ia lantas memeluk Riska yang baru tiba, tangisannya berganti pada laki-laki itu. "Bawa gue pergi, Ka. Gue nggak mau di sini," rintihnya begitu sembilu.
"Pergi?" Riska merasa aneh mendengarnya, sebelum ia keluar dari warung suasana tampak haru, mengapa kini langsung berbeda. Riska menatap Sehan dan Rendra bergantian, ekspresi mereka sama.
"Bawa gue pulang, gue mau pulang!" Meira mengurai pelukannya, bola mata perempuan itu memerah akibat air mata, ia menoleh pada Sehan yang mengharapkan Meira mengampirinya lagi, tapi Meira terlalu terkejut dan belum bisa menerima fakta yang dibawa Sehan sekaligus. Dadanya terasa sakit saat Meira menyadari akan sesuatu, ternyata ia tak ada di antara Sehan atau pun Ashila, ia bukan satu-satunya lagi.
"Iya, kita pulang." Riska mengalah, ia berusaha mengerti keadaan Meira, dituntunnya perempuan itu menghampiri motor. Riska merapikan rambut Meira yang sedikit basah sebab beberapa menyentuh wajah. "Sebentar, ya. Gue mau ngomong sesuatu." Ia menyingkir kembali memasuki warung tenda, tak sampai lima menit Riska kembali. "Ayo pulang."
Meira mengangguk lemah, saat Riska duduk di jok motor lebih dulu Meira menyempatkan waktu menatap ke arah warung tenda tempat Sehan bertahan di sana, menatapnya dalam raut sendu yang membuat Meira mengalihkan pandang dan segera duduk di belakang Riska, ia dekap erat laki-laki di depannya seraya menyandarkan kepala.
Meira melanjutkan isakan dalam diam saat motor melaju meninggalkan tempat tersebut, ia teringat saat Rendra memperkenalkan diri begitu mudah, padahal menambah baret luka dalam hidup Meira.
***
Motor baru berhenti di parkiran apartemen, dan Meira turun begitu saja tanpa mengatakan apa-apa, melangkah pergi seolah tak peduli dengan laki-laki yang kini dihinggapi segudang tanda tanya, mungkin satu-satunya alasan mengapa Riska tetap membiarkan perempuan itu pergi tanpa mengejarnya adalah tentang bagian dalam diri Meira yang sedang terkoyak, sedikit banyak Riska mulai memahami karakter kekasihnya.
Riska mendesah, ia baru menghampiri lobi saat sosok Meira sudah tak lagi terlihat, yang harus dilakukannya adalah tetap mengikuti Meira hingga perempuan itu masuk ke unitnya dengan selamat. Kacau yang tumbuh subur dari dalam memang seringkali membuat orang sangat berbeda, kontradiksi dengan watak yang sering diperlihatkannya pada orang lain.
Meira baru keluar dari lift, melangkah sendirian menyusuri lorong nan sepi dengan tatapan sendu serta sisa-sisa air mata, ia masih membiarkan separuh dirinya berkelana pada banyak fakta menyakitkan yang datangnya serempak.
Satu meter sebelum sepasang kaki Meira mencapai unitnya, Ashila keluar dari unit Luna, wanita tersebut mengukir senyum mendapati putrinya di koridor, tapi senyum Ashila seketika lenyap saat melihat kondisi memprihatinkan menghiasi wajah putrinya.
"Meira, Mey," cegah Ashila seraya menarik lengan Meira, putrinya sontak berhenti dan menatap Ashila seraya tersenyum sinis. "Kamu dari mana, Nak? Kenapa mukanya sembap gitu? Siapa yang bikin Meira nangis?"
"Mama," sahut Meira seraya menepis tangan Ashila.
"Mama?" Wanita itu kebingungan.
"Iya, Mama. Sadar nggak sih kesalahan yang Mama lakukan di masa lalu itu dampaknya besar banget, efeknya menyakitkan, dan aku yang jadi korban."
"Sayang, mama tahu kesalahan mama begitu besar, tapi mama selalu berusaha memperbaikinya, Mey."
"Nggak perlu!" Meira menatap ke arah Riska yang baru keluar dari lift. "Karena ulah Mama, aku ngerasa udah beneran nggak punya orangtua, Ma!" Ia bergegas menghampiri unitnya meski Ashila lantas mengikuti, dirangkainya kode sebelum membuka pintu, saat benda tersebut hendak ditutup—tangan Ashila menahan. "Jangan buat aku makin hancur, Ma!" Ia mendorong tangan Ashila dan membanting pintu.
"Mey! Dengerin mama dulu, Mey!" Ashila menggedor pintu berkali-kali, tapi Meira tak sedikit pun berniat membukanya.
"Tante." Riska sudah berdiri di belakang Ashila yang kini menangis. "Aku rasa Tante biarin Mey sendirian dulu," ujar Riska merasa suasana kali ini terlalu panas.
"Meira kenapa? Dia habis nangis kenapa, Riska?"
"Aku nggak tahu, tapi aku akan coba cari tahu, Tante tenang, ya. Sekarang biarin Meira-nya sendirian dulu, nanti kalau udah tenang bisa dibicarain lagi."
Ashila mengangguk. "Tante titip Mey, ya." Ia menatap Riska penuh harap sebelum melenggang menghampiri lift, segera Riska merangkai kode dan masuk ke dalam unit Meira. "Mey."
Riska menyusuri ruangan di dalam, mengedar pandang, pertama ia mencari Meira di dalam kamar sampai ke kamar mandi, tapi hasilnya nihil. Lantas Riska keluar lagi dan mendengar isak tangis Meira cukup jelas, meski ragu ia tetap menarik sepasang kakinya menghampiri dapur, membawanya pada isakan yang lebih kencang sebelum langkah tersebut terhenti di samping meja makan.
Riska memberanikan diri berlutut—mengecek kolong meja, dan benar saja—Meira berada di bawah meja makan seraya menangis tersedu-sedu menyembunyikan wajahnya di antara sepasang lutut tertekuk yang ia peluk.
"Mey," lirih Riska, "ngapain di sini? Ayo keluar."
Meira mengangkat kepalanya, ekspresi kali ini jauh lebih mengerikan dari sebelumnya, perempuan itu menggeleng saat Riska mengulurkan tangannya—meminta agar Meira keluar dari sana.
"Hey, gue di sini. Keluar, ya?"
Meira menggeleng, selama ini tak pernah ada yang mampu membujuknya keluar dari sana, ia sendiri selalu melakukannya jika sudah merasa lega, sedangkan saat ini Meira tengah berada di puncak rasa kecewa, baret luka yang baru menyayat cukup panjang.
Riska mendesah. "Mey, ayo keluar. Pegang tangan gue, ceritain semuanya, gue mau banget dengar, gue ada di sini sama lo." Telempapnya masih ia pertahankan untuk menengadah di depan Meira. "Ayo keluar, gue siap buat mengerti semua masalah lo karena ... gue sayang sama lo."
Meira bergeming menatap manik meneduhkan laki-laki itu, setelahnya tangan Meira mulai terulur menghampiri tangan Riska, menyatukan sela-sela jemarinya yang kosong sebagai celah agar Riska dapat merangkumnya. Laki-laki itu tersenyum tulus, ia menarik pelan hingga Meira dapat keluar dari sana.
Mereka berdiri, disekanya air mata menggunakan ibu jari, Riska mengangkat pinggang Meira dan mendudukan tubuh perempuan itu di sisi meja makan. Ia mendekap tubuh Meira yang kembali bergetar oleh air mata.
"Gue di sini, lo bisa lepasin semuanya ke gue, jangan takut," lirihnya seraya menyembunyikan wajah di caruk Meira.
Percayalah, perasaan Meira sedikit lebih tenang menerima hal semacam ini, Riska-lah orang pertama yang berhasil membujuk Meira keluar dari meja saat air matanya masih begitu deras, Riska menjadi magnet yang begitu kuat.
Setelah sekian lama Meira menemukan sosok yang bisa ia percaya, yang bisa ia bagi kisah pelik hidupnya, yang bisa terus-terusan menjaga tanpa peduli bahaya di depan sana. Sepasang tangan Meira membalas pelukan tersebut, ia menyukai aroma tubuh ini, pelukannya begitu nyaman serta suara-suara yang terlontar dari bibirnya.
"Ka ...." Suara Meira begitu lirih diiringi sesenggukan, ia masih mendekap erat tubuh kekasihnya. "Setelah mereka cerai ternyata mereka punya kehidupan baru, mama menikah lagi dan memperkenalkan Luna, terus papa juga menikah lagi dan membawa laki-laki yang namanya Rendra, mereka mencari kebahagiaan sendiri, terus gue ada di mana? Gue enggak ada di antara mereka karena mama sama papa udah punya anak masing-masing, gue nggak punya tempat, gue nggak punya rumah buat pulang."
***