Biasanya, Riska yang sering menemani Meira bekerja, tapi Minggu pagi Meira yang menemani Riska melakukan agenda rutin climbing wall bersama teman-temannya di sudut sebuah mall area Jakarta Pusat, gadis itu duduk di sofa seraya membagi fokus antara ponsel serta laki-laki yang kini menapak dengan cepat—bahkan terkesan berlari pada satu per satu batu yang menempel di dinding buatan setinggi lima meter tersebut.
Meira mulai terbiasa menyikapi schedule Riska sebagai anak Mapala, terlebih menjadi ketua organisasi tersebut, mumpung hari Minggunya libur tanpa agenda—sekaligus ia memiliki pacar, jadi Minggu dimanfaatkan sebaik mungkin. Jika tak ada Riska pasti Meira masih terlelap nyaman di ranjang besarnya.
Kebanyakan pengunjung climbing wall didominasi laki-laki meski Meira melihat sekitar tiga orang perempuan berada di sana dan melakukan kegiatan tersebut. Kenyataannya tak mampu membuat Meira tertarik untuk mencoba, ia lebih senang memperhatikan Riska seraya sesekali mengarahkan kamera ponsel untuk menangkap foto candid kekasihnya. Meira kan tak memiliki foto bersama Riska, sedih juga kalau diingat-ingat.
Riska meluncur ke bawah dengan mulus setelah kernmantle rope berputar mudah membawa beban tubuhnya menyentuh firefall, Riska melepaskan hardenss yang membelit tubuhnya dibantu oleh pemandu tempat tersebut. Ia tersenyum simpul saat menghampiri Meira, wajah gadis itu tak kalah sumringah.
"Belum bosan?" tanya Riska yang kini duduk di samping Meira, keringat tampak memenuhi kepala, wajah dan menyentuh lehernya. Ia meraih sebotol air mineral yang baru diulurkan Meira.
"Bosan sih, tapi ya nikmatin aja. Kan kegiatan lo, daripada gue tidur sampai sore di apartemen kan."
"Nggak mau cobain emang?" Riska membuka tutup botol yang masih tersegel, meneguknya tanpa mengalihkan pandang dari Meira.
"Nggak ah. Takut." Tangan Meira terulur menyugar rambut Riska yang basah, ia tak merasa jijik sama sekali, sayangnya yang tercium dari keringat Riska bukan aroma tak sedap, tapi wangi body mist yang maskulin.
"Oh ya, gue mau tanya. Lo nggak ada niat ketemu sama bokap lo?" Sejak beberapa hari lalu Riska ingin sekali menanyakan hal ini, hanya saja ia menunggu suasana hati Meira membaik.
"Nggak usah, percuma kan. Jadi, biarin aja jalan kehidupan gue mengalir kayak gini, enggak kaget lagi." Meira tersenyum getir, ia sudah mengakrabi terbiasa yang mengarah pada hal menyakitkan, meski sempat terkejut saat terbiasa mengajaknya berkenalan lewat Ashila yang tiba-tiba memperkenalkan Luna sebagai putri tirinya, lantas jika Sehan juga memperkenalkan Rendra, bukankah sudah kali kedua?
Meira tak ingin lagi terkejut, mungkin keadaannya memang harus seperti ini, terkatung-katung tanpa kejelasan seperti anak kecil yang ingin menyebrang jalan, tapi ia tak tahu caranya dan hanya bisa menoleh ke kanan kiri saja.
"Mey, sebenarnya waktu itu gue sempat ketemu sama Om Sehan, sama kakak tiri lo juga." Riska memang belum mengatakannya, sekali lagi ia menunggu suasana hati Meira membaik.
"Buat apa?"
"Ya, gue bilang kalau lo belum bisa ketemu mereka. Abang tiri lo bilang katanya nyokap dia pengin ketemu lo, nggak tahu kenapa."
"Nyokap tiri gue dong berarti." Meira menunduk dan terkekeh hambar, sungguh tak enak didengar, ia menegaskan rasa sedihnya seperti ini, tapi membuat Riska menyadari jika gadis itu memang terampil bersikap tegar dan kuat. Meira seperti karang, setiap hari diterjang ombak, tapi masih bertahan dengan segala lubang menganga yang makin disentuh perihnya air garam. "Coba deh lo bayangin, Ka. Gue punya dua ibu, dua bapak dan dua saudara tiri. Ini keluarga besar apa gimana ya?" Lagi-lagi ia terkekeh memalsukan kesedihannya, padahal jelas kisah seperti itu tak ada bagus-bagusnya.
"Mey—"
"Ini gue bingung, lho. Nanti gue bakal masuk KK punya siapa ya, Ka. Astaga, geli sendiri bayanginnya."
"Udah, Mey. Gue ngerti." Ia menangkup wajah kekasihnya agar berhenti tertawa, Riska tak ingin mendengar tawa menipu itu lagi. "Jadi, gimana? Lo temuin mereka ya, siapa tahu ada yang penting buat dibahas, nanti gue temenin lo kok. Jangan takut." Tangan kanannya terangkat menyentuh sisi kepala Meira, menyelipkan rambut panjang kekasihnya di antara jemari nan rumpang.
Gadis itu terdiam, sungguh ia tak ingin ragu jika Riska sudah memerintahkannya seperti ini, Meira merasa damai dan aman seolah banyaknya penghalang di luar sana akan sanggup ia lewati jika Riska terus bersamanya.
Meira menyanyangi perasaan ini, ia ingin terus merawatnya hingga tumbuh subur setiap hari. Gadis itu mengangguk setelah keraguannya lenyap oleh tatapan meyakinkan Riska.
"Oke, gue mau ketemu keluarga baru papa sama lo."
Laki-laki itu tersenyum. "Kalau gitu gue ganti baju dulu, lo di sini aja, jangan ke mana-mana." Ia beranjak seraya mengusap puncak kepala Meira, meraih ransel yang tergeletak di sudut sofa dan melenggang menghampiri ruang ganti.
Meira turut tersenyum menatap berlalunya punggung laki-laki yang terbiasa menjadi sandaran nyaman kepalanya, ia merasa perputaran kehidupannya sedang seimbang. Berbeda seperti dulu saat ia menjalaninya datar-datar saja, sekalipun banyak laki-laki mendekat—mereka semua tak mendapatkan hati Meira. Hidupnnya seimbang seperti ia yang berdiri di tengah-tengah papan jungkat-jungkit, di sisi kiri ada Riska, sedangkan sisi kanan ada segudang pelik yang dihadapi Meira.
"Kalau udah kayak gini, gue malah jadi takut, Ka. Gue takut suatu hari lo pergi."
***
Motor sudah menjauh dari area mall, tadi Riska sempat menghubungi Sehan lebih dulu saat berganti pakaian, pria itu mengatakan jika ia tengah berada di rumah sakit tanpa menjelaskan alasannya berada di sana. "Mey, kita ke rumah sakit, ya."
"Elo sakit? Nggak enak badan?" Meira menatap pantulan wajah kekasihnya lewat spion.
"Enggak, tadi Om Sehan bilang kalau dia lagi di rumah sakit. Nggak tahu juga siapanya."
Meira bergeming, jika diingat-ingat sang ayah tak memiliki riwayat sakit apa pun, tapi entahlah setelah perpisahan mereka bertahun-tahun yang lalu.
"Ka, sebentar lagi gue ulang tahun." Ia mengganti topik pembahasan.
"Oh, ya? Kapan?"
"Minggu depan, gue boleh minta lo ajak gue ke suatu tempat enggak?"
"Boleh, ke mana?"
"Bromo."
Riska manggut-manggut, gunung yang baru Meira sebutkan memang salah satu destinasi wisata yang paling digandrungi baik oleh wisatawan lokal maupun asing, Riska pernah ke sana beberapa kali. "Oke, nanti gue beliin tiketnya. Kenapa tertarik ke Bromo?"
"Gue waktu itu lihat di laptop, Ka. Bagus banget kan viewsnya, ya sekali-kali cewek kayak gue main ke gunung, nggak akan takut jatuh kok, kan ada Riska." Ia menyandarkan kepala di punggung Riska, hal seperti ini akan selalu menjadi favoritnya.
Motor terus melaju menghampiri rumah sakit tempat Sehan berada yang kebetulan jaraknya berdekatan dengan mall tempat Riska melakukan climbing wall, waktu tempuhnya tak sampai lima belas menit, apalagi jalanan lenggang membuat semuanya semakin dipersingkat saat Riska mengemudikan motornya lebih kencang. Gadis di belakangnya tak takut sama sekali, mati bersama Riska sepertinya tidak apa-apa.
Kini motor berbelok memasuki pelataran luas rumah sakit setelah mengambil tiket parkir lebih dulu, mereka lantas turun, hari ini aura yang Meira perlihatkan tampak positf, sepertinya memang tak ada keraguan untuk menjejaki rumah sakit dan menghampiri Sehan di dalam sana. Atau karena ada Riska di sebelahnya?
Terserah, apa pun itu Riska senang menanggapinya.
"Lo tahu ruang rawatnya di mana?" tanya Meira saat mereka bergandengan menghampiri lobi.
"Tahu kok, tadi Om Sehan sempat kasih tahu di mana posisinya. Di lantai lima."
Lantas, langkah mereka berlanjut menyusuri koridor utama yang cukup panjang tersebut, menghampiri lift dan masuk ke dalam sana seraya menunggu tiba di lantai lima.
Pintu lift terbuka, mereka keluar dan kembali menyusuri lorong lantai lima, keadaan jauh lebih sepi dari koridor utama, entahlah aura di bagian ini tampak berbeda, seperti lebih sendu saja atau mungkin perasaan masing-masing yang datang.
Riska terus menarik Meira menghampiri ruangan Sehan yang kebetulan berada di posisi paling ujung, saat jarak mereka semakin dekat tak disangka genggaman Meira di tangan Riska lebih erat diiringi langkah yang memelan karena melihat Rendra duduk sendirian pada kursi panjang di depan ruang VVIP tempat kemungkinan ayahnya berada.
"Kalian? Ke sini?" Wajah Rendra tampak sumringah menanggapi kehadiran Riska serta adik tirinya.
"Iya, tadi sempat telpon Om Sehan dulu," sahut Riska, aneh saat ia yang justru lebih akrab dengan Rendra dan bukan Meira. Laki-laki itu melirik kekasihnya yang tampak membuang muka saat Rendra tersenyum ke arahnya. Riska mendesah, Mey masih merasa kayak gini aja.
"Oh gitu, kalau mau langsung masuk juga enggak apa-apa kok. Papa sama mama di dalam." Ia membukakan pintu agar kedua tamunya masuk. Riska yang pertama masuk diikuti Meira, sebelum diakhiri oleh Rendra.
Miera terpaku saat menemukan seorang wanita terbaring pucat di ranjang rumah sakit, ternyata bukan Sehan, tapi istri barunya. Jika dilihat-lihat sepertinya usia wanita tersebut lebih tua dari Ashila.
Meira terus saja meremat tangan Riska, ia merasakan kegugupan luar biasa di ruangan ini, semuanya tampak asing meski salah satunya memiliki ikatan darah.
Sehan yang sempat duduk di sofa beranjak menghampiri putrinya seraya tersenyum, saat ini Meira menguatkan diri untuk tidak mundur meski rasanya canggung sekali, sebab rindu yang pernah ia simpan bertahun-tahun lamanya langsung lesap digantikan rasa kecewa.
"Mey." Suara Sehan terdengar, ia hendak meraih tangan Meira, tapi gadis itu menyembunyikannya di belakang pinggang, Riska mendesah menanggapi sikap apatis Meira. Seharusnya tak sampai seperti ini. "Oke, papa paham."
Sedari tadi atensi Meira tertuju pada wanita yang tersenyum menatapnya, seperti ada aura bahagia saat melihat gadis itu datang. Sesuatu yang asing dan mengajak Meira bercengkrama.
"Kenapa?" tanya Meira terdengar kikuk seraya menatap Sehan saat telunjuknya mengarah pada wanita itu.
"Dia Nirmala, ibunya Rendra," sahut Sehan.
"Mama saya sakit kanker usus besar, sebenanrnya udah operasi, tapi dokter menyarankan supaya mama melakukan kemoterapi buat membersihkan sel-sel kanker. Tapi, penyakit mama ada di tahap stadium empat, dan mama punya penyakit lain yang bikin kondisi mama makin drop. Dia pasti senang bertemu kamu, Mey," tutur Rendra menatap adik tirinya.
***