Akhir-akhir ini Mey lebih kalem dari biasanya, ia juga seringkali menyingkir saat teman-temannya membahas sesuatu yang mulai membuat Mey jengah—terutama jika berbicara tentang kaum adam. Gadis itu duduk sendirian di balik kemudi saat mobilnya belum keluar dari area parkir kampus, ia keluarkan sebuah rokok elektrik dari dashboard sebelum menyesapnya tanpa ragu, jika berada di kelas atau sekitaran kampus dengan atmosfer keramaian tak mungkin Mey melakukannya. Ia hanya senang menyimpan yang satu itu untuk diri sendiri.
Bosan sedikit berkurang saat ia menyesap batang rokoknya seraya menatap lurus ke depan, tapi sebuah motor yang baru saja lewat di depan mobilnya dan terhenti di parkiran paling ujung membuat Mey refleks terbatuk. Ia menarik napas seraya menetralisir keterkejutannya. "Itu, kan." Senyum miring Mey mengembang, terlintas sesuatu yang membuat benaknya merasa senang.
Mey bergegas keluar dari mobil sebelum membuang asal rokok elektriknya tanpa peduli berapa lembar uang yang ia keluarkan untuk mendapatkan benda jenis itu. Kejahilan di kepala yang membuat Mey lupa akan sekitar, ia bersemangat saat menghampiri Riska yang kini melangkah berlawanan arah. Tanpa ragu, Mey merentangkan tangan sengaja menghalangi langkah Riska yang refleks terhenti di depannya.
Jika Riska memperlihatkan ekspresi yang tak bisa Mey terka, gadis itu justru mempertahankan senyum miringnya seolah menginginkan sesuatu.
"Hello, boy," sapa Mey berbasa-basi.
Riska tak menjawab, ia melangkah ke sisi kiri, tapi Mey ikut bergeser tanpa meluruhkan tangan. Saat Riska menuju sisi lain pun Mey tetap melakukan hal yang sama sengaja menekan keinginannya.
"Lo mau apa." Suaranya memang terdengar serak, mirip suara Raffi Ahmad.
"Nggak apa-apa sih, tapi ... main, yuk!" Mey mengatakannya tanpa ragu.
"Main? Main apa?" Alis Riska bertaut, ia memperhatikan gerak-gerik Mey yang baru saja meluruhkan tangan dan mengeluarkan ponsel dari saku roknya.
"Main apa aja, lo sukanya main apa? Di mana aja gue siap." Perkataan Mey terdengar ambigu, binar di mata menegaskan rasa senang yang menjalar perlahan.
"Sorry, gue nggak ada waktu buat main sama lo. Mending cari cowok lain aja." Kali ini Riska bisa menghindar saat tangan Mey tak lagi terbentang. Sayangnya, gadis itu memang suka usil saat mengejar Riska dan membetangkan tangan lagi di depan laki-laki yang kini dibuat semakin kesal. "Serius, gue nggak ada waktu buat main sama ayam kampus kayak lo, mending sama yang lain aja."
"Ayam kampus?" Mey terkekeh begitu saja. "Kayaknya nama gue emang populer banget ya di sini sampai semua orang selalu menegaskan julukan gue. Nggak apa-apa sih, nggak masalah. Terserah kalian semua."
"Karena lo udah paham, jadi minggir. Gue nggak mau ada masalah." Riska memaksa lewat, tapi Mey tetap tak mau mengalah. "Mau lo apa!" Pasti kadar kesabaran Riska semakin melemah menghadapi gadis cengengesan tak jelas di depannya. "Gue nggak mau terpaut sama cewek yang jenisnya bitch kayak lo." Tanpa sungkan ia melontarkannya.
"Whoa." Tawa Mey semakin lebar. "Kayaknya semua orang emang percaya sama kebobrokan gue, lo pasti juga, kan? Tapi, nggak ada bukti kalau lo nggak cobain, kan?"
"Lo gila!"
"Gila? Are you really? Lihat dong gue ini waras seratus persen. Emang ada yang salah ya kalau gue minta bukti buat omongan pedas lo tadi? Lo udah cobain emang?" Mey meluruhkan tangan sebelum mendekat dan berjinjit menatap wajah Riska tanpa sungkan.
"Nggak ada yang sudi cobain bekas orang lain." Riska tak bergerak meski posisi mereka sedekat itu, ia terus menghunjam netra Mey yang mulai sayu tanpa menyadari jika terjebak dalam labirin yang dibuatnya sendiri.
Mey menelan ludah membaui aroma udara yang keluar dari bibir Riska, ia tak lagi berjinjit dan mundur seraya menampik hal asing yang mengajaknya berkenalan. Tujuan Mey menghampiri Riska tak sekonyol itu.
"Lo kali yang bekas orang lain." Mey kembali berbicara setelah detak jantungnya netral.
"Gue? Bekas orang lain? Lo sinting!" Perkataan Riska selalu lebih pedas dan sarkas dari Mey, tapi bukan masalah saat Mey merasa setiap lontaran kata dari Riska bisa dibungkam lewat video yang kini diperlihatkannya.
"Ya emang elo nggak kelihatan, tapi itu elo, kan? Jangan nyangkal ya, karena cewek yang namanya Luna itu tetangga gue di apartemen. Pacar lo, ya?" Mey benar-benar memperlihatkan video saat Riska dan Luna melakukan french kiss di ruang tamu apartemen malam itu, esok paginya Mey sengaja bertamu dan mengajak Luna berkenalan sebagai basa-basi saja.
Riska masih mematung, ekspresinya tetap tak terbaca sebab hanya datar saja seolah tak terkejut dengan apa yang dilihatnya.
"Habis itu pasti lo turn on berat, kan? Terus ...." Mey tertawa lebar seraya memasukan ponselnya lagi ke saku rok, kentara sekali caranya mengejek Riska. "Lo kasih julukan gue ayam kampus, tapi lo juga ngelakuin hal yang sama. Terus, apa bedanya sama gue?"
"Nggak usah sok tahu urusan orang!"
"Serem." Tawa Mey masih mengudara. "Oh ya, gue bisa aja sebarin video tadi seantero kampus dan instagram gue yang kebetulan followersnya udah ratusan ribu, biarpun muka lo nggak kelihatan, tapi Luna dan klarifikasinya jelas, kan? Nama lo di kampus bisa hancur, gue dengar-dengar lo mahasiswa berprestasi di sini, kan?"
"Lo lagi ancam gue?" Alis Riska kembali bertaut.
"Jelas enggak dong, itu kan kalau gue emang beneran jahat sama elo." Mey kembali mendekat, tapi ia tak berjinjit saat tangannya tanpa ragu menarik tali hoodie Riska hingga laki-laki itu refleks membungkuk dengan wajah sejajar di depan Mey, mereka saling menatap seraya bertukar oksigen.
Mey merasa aneh, sepertinya ia kembali dihimpit hingga susah sekali bibirnya berbicara meski detak jantungnya justru berpacu lebih cepat. Untung Riska tak mendengar.
"Jangan bar-bar," ucap Riska, ia masih mempertahankan posisinya karena cengkraman Mey pada tali hoodie kian menguat. Riska merasa seperti seekor sapi yang siap ditarik pengembala ke mana saja.
"Tadi lo bilang gue ayam kampus, terus makhluk sejenis bitch. Nggak ada lagi yang lebih kasar?" Tatapan Mey berbeda, bukan sayu lagi seperti sebelumnya. Kali ini ia lebih tegas dan serius. "Coba lo buktiin omongan lo itu, gue nggak ingin menyangkal karena semua orang udah sangat yakin tentang siapa gue. Tapi, gue cuma mau elo buktiin, satu cowok di antara sekian banyaknya cuma elo yang gue minta buat buktiin. Apa lo berani? Kalau enggak, gue bisa jadi jahat juga."
Tiba-tiba Riska terkekeh, ia kembali berdiri tegak setelah Mey meloloskan tali hoodie. "Lo merasa permintaan lo ke gue itu spesial? Apa tadi, Satu di antara lainnya? Mimpi! Gue jijik sama lo," tandas Riska sebelum melenggang melewati Mey begitu saja, gadis itu pun diam tanpa menoleh dan membiarkan Riska melangkah semakin jauh. Sepertinya Mey harus mulai peduli pada hujatan orang di sekitarnya. Kenapa memang?
Sikap Riska sangat bertolak belakang seperti ketika ia khawatir terhadap Meira di ruang kesehatan tempo hari, sikap dinginnya saat ini lebih mirip seperti saat pertama mereka bertemu di dekat gerbang kampus. Meira memutar tubuh menatap berlalunya Riska yang ternyata sudah tak terlihat lagi.
"Kenapa gue pengin banget marah ya pas dia ngomong segala makian itu ke gue," gumam Mey, selama ini ia selalu tak peduli dengan perkataan orang lain, memangnya Riska itu siapa sampai Mey harus membuatnya terlihat istimewa? Gadis itu mencengkram ponselnya. "Kalau hari ini gagal nggak apa-apa, masih ada besok dan besoknya lagi, Riska. Selama gue tahu nama, muka dan fakultas lo di sini pasti semua yang gue ingin bakal cepat gue dapatkan. Meira itu nggak gampang menyerah, Riska."
Ia kembali masuk ke mobil dan melajukannya meninggalkan area kampus.
***
"Gimana blind date lo sama Juna?" tanya Axel yang baru saja menyamai langkah Meira setelah mereka serta beberapa pengunjung hotel lainnya keluar dari lift di lantai utama, sore ini Mey baru saja melangsungkan pemotretan di rooftop hotel.
"Biasa aja," sahut Mey seraya menatap ke arah lain.
"Dia bilang ke gue kalau senang banget bisa kencan sama lo, malah berharap lebih."
Mey mendengkus, ia terhenti setelah keluar dari lobi—membuat Axel juga refleks berhenti. "Gue nggak pernah mau lebih sama siapa pun, gue ngerasa makan aja itu udah cukup kok."
"Iya, gue tahu. Sama gue aja lo nggak pernah mau lebih, padahal gue tahu lo dari ujung kaki sampai kepala." Tatapan Axel penuh minat meneliti setiap jengkal bagian tubuh Meira.
Gadis itu mulai keberatan. "Axel, lo hanya tahu dari luar, lo nggak tahu dari dalam."
"Makanya kita coba."
"Lo sinting?" Ia melengos begitu saja seraya membawa rasa kesalnya menghampiri mobil di parkiran, semua orang paling senang jika merendahkan harga diri Mey, seperti tak dihargai sama sekali.
Axel terkekeh pelan menanggapi kekesalan Mey, ia terus menatap punggung yang kini berlalu di balik pintu mobil. "Meira, Meira. Lo masih aja jual mahal sama gue, padahal tinggal coba aja sekali, habis itu juga kelar kok."
Meira memacu kendaraannya cukup kencang hingga perlahan berhenti tatkala ia tiba di perempatan lampu merah, awalnya Mey tak peduli dengan atmosfer sekitar, tapi motor besar yang berhenti di sisi kanan mobilnya membuat Mey berfokus ke sana. Ia bahkan meluruhkan kaca mobil sekadar memastikan sepasang manusia yang berboncengan di motor, tangan si perempuan terus memeluk perut laki-laki di depannya, ia juga tak segan menyandarkan kepala pada punggung lebar tersebut.
Mereka tak menyadari kehadiran Mey, tapi saat si laki-laki menoleh ke kiri—semuanya terlihat jelas, netra mereka sama-sama menemukan tanpa ekspresi keterkejutan. Ketika lampu hijau menyala, motor lebih dulu melaju kencang, Mey tak ingin kalah dan memacu mobilnya lebih cepat, ia seperti kesetanan saat menyalip kendaraan di depannya. Untung saja masih searah, gadis itu bahkan membunyikan klakson berkali-kali saat mobilnya tepat melaju di belakang motor.
"Emang enak lo, untung enggak gue tabrak biar kalian mati semua."
***