Bagian tubuh dari dada hingga lutut sudah tertutup oleh pakaian yang lebih layak setelah Mey melakukan sesi pemotretan sebuah kostum renang di hotel, lekuk tubuhnya memang bagus dan proporsional, jadi tak salah jika beberapa agency menawarkannya untuk menjadikan Mey seorang model, hanya saja ia justru memilih menjadi model yang menurut orang-orang disebut terlalu panas sebab memamerkan setiap lekuk tubuhnya tanpa merasa risi di depan banyak orang, bahkan sering menjadi sampul majalah. Cukup Mey saja yang tahu alasannya.
Sebuah liontin perak menggantung di antara tulang selangkanya yang indah, ia masih menatap cermin di dalam ruang wardrobe seraya mengusapkan micellar water yang dituangkannya pada kapas untuk membersihkan lipstik merah di bibir, kali ini Mey ganti menggunakan pink floral saja.
Ia memutuskan mengikat rambutnya setelah sempat terurai bebas dan basah oleh air kolam renang tadi, untung saja sudah dikeringkan menggunakan hair dryer oleh penata rias Mey yang bernama Metta.
"Habis ini Mey mau ke mana?" tanya Metta yang berdiri di belakang Mey, perempuan berusia 24 tahun itu terlihat sibuk memasukan beberapa heels ke dalam kotak dan berakhir tertata rapi di koper.
"Blind date."
"Lagi ya, Mey." Metta tersenyum tipis. "Sama siapa?"
"Juna, temannya si Axel."
"Oh, yang pernah ke sini temenin si Axel itu ya, Mey. Good luck ya."
Mey bergeming menanggapinya, ia beranjak setelah urusan di depan meja rias telah usai, Mey memutuskan keluar dari ruang wardrobe setelah ponselnya memunculkan notifikasi chat dari teman Axel—sang fotografer dari agency model tempat Mey bernaung.
Perempuan itu meninggalkan hotel tanpa lupa meninggalkan kesan seksi di setiap derap langkahnya hingga mata beberapa pria terkesima, dalam benak ingin memuja gerangan entah siapa.
Mey menemui mobil hitam tak jauh dari lobi hotel, tanpa basa-basi ia langsung masuk dan duduk di samping Juna seolah ia terbiasa melakukannya, padahal baru malam ini mereka bertemu secara privat setelah begitu mudahnya Mey diajak blind date. Mungkin sebab Axel juga pernah melakukan kencan buta dengan Mey, lantas memperkenalkannya pada Juna yang kebetulan pernah datang ke tempat pemotretan dan langsung menyukai Mey tanpa harus mengutarakan alasan, lagipula setiap alasan yang dilontarkan laki-laki jika Mey bertanya mengapa mereka menyukainya pasti selalu sama, klasik dan membosankan.
"Kita mau ke mana, Mey?" tanya Axel tanpa basa-basi setelah mobil melaju menjauhi area hotel.
"Makan aja, gue belum makan dari siang." Sedangkan sekarang sudah menunjukan pukul delapan malam, memang melelahkan dan Mey takkan bohong, tapi hasil yang ia dapat dirasa sepadan.
"Makan? Oke, gue ada rekomendasi restoran yang bagus di dekat sini, kita ke sana aja, ya." Juna tak bisa berlama-lama menjauhkan tatapannya dari Mey, seraya fokus mengemudi sesekali ia melirik gadis yang lebih banyak diam ketimbang mengajaknya berbicara. "Oh ya, kata Axel lo di Jakarta sendirian, ya?"
"He'em." Mey terlihat sibuk dengan urusan ponsel.
"Emangnya orangtua lo di mana? Nggak di Jakarta?"
"Bukan urusan lo." Jawaban Mey membuat Juna langsung kicep, gadis itu paling tak suka jika diusik mengenai keluarganya.
"Sorry." Mobil melaju semakin jauh, membawa mereka kembali dalam keheningan yang membuat salah satunya frustrasi sebab merasa diabaikan, lagipula bukan Mey yang mengajak pergi, sebab jika Mey yang melakukannya—ia akan menjamin orang itu selalu nyaman berada di dekatnya sepanjang waktu. Hanya saja Mey belum pernah mengajak laki-laki pergi dan justru sebaliknya, jadi siapa yang bisa membuat gadis itu benar-benar merasa nyaman?
Mobil mulai memasuki pelataran resto yang Juna maksud. "Ayo, Mey. Kita udah sampai."
"Oke." Mey turun tanpa menunggu Juna membukakan pintu, laki-laki itu kurang gesit melakukannya hingga canggung mendera. "Lo yakin di sini?" Mey memperhatikan area sekitar, resto yang menjual masakan khas seafood terlihat sederhana dan jauh dari kesan mewah seperti perkiraan Mey.
"Iya, kata teman-teman gue di sini enak kok makanannya. Kita masuk aja, ya." Tanpa aba-aba ia merangkul Mey, mengajaknya masuk tanpa sebuah penolakan yang membuat senyum Juna mengembang.
Mereka duduk di sudut restoran, Juna memutuskan pamit ke toilet dan membiarkan Mey sendirian saat gadis itu memperhatikan sekitar. Kebanyakan pengunjung adalah kaum muda-mudi seperti dirinya, bahkan beberapa gadis tampak mengitari satu meja seraya melangsungkan challenge ala mukbang hingga terdengar tawa lebar mengudara yang membuat atmosfer di ruangan besar itu terkesan ramai.
Ketika tatapan Mey mengarah pada sudut lain, sebuah pemandangan bagus menyita perhatiannya. Mey memang tak mengenal laki-laki yang sudah membuat benaknya merasakan sesuatu asing dari setiap netra yang menghunjam, tapi entah mengapa interaksi yang bisa ditangkap indra penglihatannya membuat Mey tertarik.
Ada Riska—si laki-laki yang membuat Mey sempat pingsan saat di kampus tempo hari terlihat duduk di meja paling depan dekat jendela kaca tebal tak jauh dari pintu masuk bersama seorang perempuan sebaya. Mungkin pacarnya, terka Mey dalam hati. Ia tak ingin memperhatikan sudut lain lagi meski tawa beberapa gadis pelaku mukbang membuat beberapa pengunjung risi, netra Mey seolah dipaksa terus memperhatikan sosok Riska serta pasangannya di sana.
"Kok itu laki diam aja sih, kalau emang sayang dimakan dong, manja banget minta disuapin," gumam Mey tanpa sadar, beberapa kali ia berdecak menanggapi sikap kekasih Riska yang dianggapnya berlebihan. "Sialan."
"Kenapa sialan?" Suara Juna terdengar dari dekat, ia lantas duduk dan mengikuti arah pandang Mey. "Siapa, Mey?"
"Nggak tahu, nggak kenal. Lucu aja mereka kalau dilihat-lihat." Kali ini Mey baru bisa mengalihkan fokusnya meski beberapa kali tetap mencuri pandang pada sepasang manusia yang tak menemukannya.
"Lo suka pasta seafood nggak? Udah gue pesenin sih."
"Nggak apa-apa."
"Oh ya, udah berapa lama jadi model?"
"Tiga tahun."
"Wow, lama juga ya. Tapi, di agency tempatnya Axel juga? Jadi, model yang—"
"Nggak usah diperjelas." Mey mulai enggan menanggapi obrolan mereka, tak asyik sama sekali, ia lebih senang memperhatikan interaksi Riska dari kejauhan.
***
"Hati-hati, ya, Mey. Semoga kita bisa dinner lagi, gue pergi ya," pamit Juna sebelum melajukan mobilnya meninggalkan sisi jalan tempat ia menurunkan Mey seperti keinginan gadis itu, yang terpenting Juna sudah tahu apartemen tempat Mey tinggal sendirian.
Mey melangkah santai memasuki pelataran apartemen, beranda, lobi dan menghilang di balik lift. Ia baru tiba di apartemen pukul sepuluh setelah Juna membawanya mengitari Jakarta bersama segudang obrolan yang sama sekali tak meninggalkan kesan membekas dalam benak Mey, ia hanya menimpali sebisanya. Juna terlihat asyik dan tak kekurangan topik pembicaraan, tapi mungkin Mey yang tak pernah menginginkan obrolan panjang dan beragam dengan seseorang selain teman-teman dekatnya.
Mey sudah tiba di lantai 25 sebelum menyusuri lorong melewati beberapa unit lain, tapi saat ia melewati sebuah pintu yang tak tertutup rapat dan memperdengarkan suara khas perempuan seperti merayu pasangannya membuat langkah Mey refleks terhenti. Pintu tadi hanya berjarak sekitar dua pintu lagi sebelum menemukan unit milik Mey, hanya saja ia jarang sekali memperhatikan tetangga sekitar, bertegur sapa saja Mey tak pernah melakukannya meski sudah bertahun-tahun ia tinggal di sana.
Entah mengapa naluri Mey mengajaknya memutar tubuh dan mendekati pintu bercelah tadi, rupanya Mey menang banyak saat ia bisa melihat sejelas apa interaksi di ruang tamu milik tetangganya. Mey mengernyit saat menyadari perempuan yang duduk di pangkuan laki-laki dengan posisi membelakangi Mey adalah perempuan sama di restoran tadi. Dua hal mengejutkan Mey, jadi mereka bertetangga? Lantas, laki-laki di dalam sana juga Riska?
"Please, sekali aja," pinta perempuan yang belum diketahui namanya itu, ia duduk di samping Riska seraya menggelayut manja di bahu, kali ini tak segan duduk di pangkuan laki-laki yang membuat Mey mulai gemas sebab tak bisa melihat wajahnya lebih jelas.
Kayaknya ada mainan baru, batin Mey sebelum mengeluarkan ponselnya dari dompet, ia buka perekam video tanpa sungkan mengarahkannya pada sepasang manusia yang sibuk melakukan aktivitas bibir. Hanya saja perempuannya lebih agresif saat menyentuh setiap jengkal bagian tubuh Riska.
Mey mengakhiri rekaman video saat ia merasa sesuatu membuatnya kesal, perempuan itu menyimpan ponsel dan bergegas pergi. Apa urusan gue sama mereka.
Namun, baru beberapa jengkal ia melangkah, Meira kembali terhenti dan memutar tubuh. Ia ingin menghampiri tempat itu sekali lagi sekadar memastikan jika sosok laki-laki di dalam sana adalah Riska, sebab Mey berharap jika indra penglihatannya salah. Alhasil, ia kembali mendekati celah pintu yang terbuka, menatap sekali lagi apa pun yang berlangsung sekarang meski menggetarkan benaknya untuk satu hal tanpa Meira tahu bagaimana menjelaskannya.
Riska masih di sana, duduk di samping kekasihnya seraya melempar tawa, perempuan tersebut tak segan menyandarkan kepala pada dada bidang Riska seraya memeluknya. Mata Meira terasa mulai perih menatap mereka lebih lama, daripada ketahuan lebih baik Mey menghampiri unitnya dan beristirahat.
Mey duduk di sofa ruang tamu seraya mengatur napas yang terasa sesak, ia bukan penderita asma sebelumnya, tapi mengapa tiba-tiba dada seperti ditekan dari segala arah. Meira membungkuk melepaskan heels sebelum mengecek sesuatu dari ponsel, sekali lagi ia menatap video yang sempat direkamnya tadi. Terlihat jelas bagaimana perempuan tersebut serta Riska melakukannya dengan mudah.
"Apaan, sih, Mey! Lo sinting!" Meira mengumpati diri sendiri seraya melempar ponselnya begitu saja ke sofa. "Emang mereka siapa perlu lo pusingin sampai segitunya." Lucunya, gadis itu masih saja melawan arus saat ia beranjak menghampiri pintu, membukanya sedikit dan melongok keadaan di luar. "Mereka sekarang lagi ngapain, ya? Apa udah pindah posisi ke ranjang?" Meira refleks membanting pintu seraya berjingkrak heboh. "Nggak usah gila, Meira. Mereka bukan urusan lo, mending istirahat biar lo nggak capek karena besok masih banyak schedule pemotretan!"
***