"Kenapa harus ada surat perjanjian kayak gini, nggak berguna buat gue, Riska," tutur Meira saat ia menatap lagi kertas berisi tulisan tangan Riska tadi, "nggak akan mengubah keadaan," sambungnya.
"Lo juga nggak bisa mendahului keputusan Tuhan, gue cuma melakukan apa yang mau gue lakukan."
"Apa yang mau lo lakukan selanjutnya emang? Jangan bagi teka-teki ke gue." Meira menantangnya, mereka masih duduk bersebelahan di sofa dalam jarak sejengkal, aneh sekali mengapa sikap Riska berubah drastis setelah Meira mengumandangkan perpisahan mereka, toh hanya hubungan tanpa kejelasan. Cinta sendiri selalu melelahkan, ada baiknya memang Meira melepaskan. Romansa mereka rupanya hanya sesingkat itu, atau mungkin bukanlah romansa, tapi permainan dari kekonyolan Meira. "Gue udah memberi jalan keluar buat lo, jangan mau terikat lagi sama gue, nanti lo malah makin nggak nyaman."
"Setiap orang yang mengambil tindakan besar pasti ada tujuannya," sanggah Riska, "gue nggak suka ada banyak pertanyaan, tinggal jalani aja apa susahnya sih!"
"Gue baru sadar kalau lo lebih menyebalkan dari yang gue duga," aku Meira, "harusnya lo senang kan udah bebas dari gue, ngapain malah datang terus buat surat perjanjian."
"Gue udah bilang kalau ada alasannya, dan elo nggak usah banyak tanya."
Meira memutar bola mata dan mengalihkan pandang dari Riska, saat ia menggerakan kaki—tak sengaja menyentuh sesuatu di bawah sana, Meira pun menunduk meraih majalah yang tergeletak di permadani, ia mengernyit melihat cover bergambar dirinya dengan kostum berbeda.
Riska lantas mengalihkan pandang ketika Meira menatapnya seraya menyipit curiga, gadis itu meletakan majalah di permukaan meja, lagipula siapa lagi yang akan melakukan hal semacam itu, Mey tak memiliki kreatifitas untuk sekadar mengganti lingerie menjadi sebuah dress, lalu Trias? Mana mungkin housekeeper itu melakukannya.
"Gue mau pulang, itu kode cepetan diganti, gue nggak bisa selalunya ada saat lo susah," ucap Riska seraya beranjak dan menggendong ranselnya, "kalau ada apa-apa langsung telepon, jangan simpan masalah buat diri sendiri, lo bisa depresi kalau simpan sendiri." Ia menatap Meira dengan mata teduhnya sebelum bergerak keluar dari tempat itu.
Meira bergeming, ia membiarkan Riska pergi dan lesap setelah pintu tertutup rapat, ada apa dengan Riska?
Mey menatap cover majalah itu lagi, ia tersenyum seraya mengusap gambar dirinya. "Siapa pun sosok yang merasuk ke tubuh lo, gue senang banget, Riska."
***
Meira baru saja menyelesaikan urusannya menggosok gigi di depan wastafel kamar mandi sebelum ia memutuskan tidur, sekarang jarum jam sudah menunjukan pukul sepuluh lebih lima belas menit, tadi ia sempat bergrilya sejenak pada laptopnya—sekadar mencari sesuatu yang membuat senyum Meira merekah usai ia menemukan tempat hiking paling bagus. Tiba-tiba saja Meira tertarik dengan kegiatan yang biasanya dilakukan anak Mapala, mungkin sebab kehadiran Riska yang membawa warna berbeda. Entahlah, perih sedikit terobati saat laki-laki itu datang dan meminta agar semua berlanjut—meski bukan dalam artian balikan, sebab tak ada kata penyatuan terlontar dari bibir keduanya.
Ia duduk di tepi ranjang dan menutup laptop yang masih tergeletak di sana, ada sebuah gambar gunung yang ingin Meira kunjungi suatu hari nanti, tapi tentu tidak seorang diri.
Notifikasi chat dari ponselnya berbunyi, Mey meraih ponsel yang tergeletak di permukaan bantal, ia menggigit bibir saat menemukan chat dari Riska.
(Gw ada di ruang tamu)
Meira beranjak keluar kamar, benar saja isi chat tadi jika Riska memang berada di ruang tamu, malam-malam begini. "Habis dari tempat Luna, ya?" tanya Mey yang kini memasuki dapur.
"Nggak, dari rumah."
"Tujuannya langsung ke sini?"
"Ya."
Meira manggut-manggut, ia membuatkan kopi untuk laki-laki itu tanpa lupa meletakan beberapa potong kue di permukaan piring ceper, kulkas Mey hanya diisi oleh segala sesuatu yang manis—termasuk sebuah apel yang kini digigitnya.
Diletakannya kopi serta piring berisi kue tadi di permukaan meja ruang tamu, ia duduk seraya mengunyah apelnya.
"Gue nggak ada minta kopi perasaan," ucap Riska.
"Gue bukan tuan rumah yang pelit, jadi kalau ada tamu ya dikasih minum. Selain Asep sih."
"Asep siapa? Pacar lo?" terka Riska, ia melepaskan jaketnya dan menyampirkan benda warna army tersebut di bahu sofa, kini mata kaki kanan Riska bertumpu di atas paha kiri, ia terlihat santai seperti berada di rumah sendiri.
"Asep itu teman SMA yang sekaligus jadi manager gue sekarang, dipanggilnya Lolita sih. Kemayu soalnya, gue mana pernah sih punya pacar."
"Teman kencan banyak, pilih aja salah satu." Ekspresi yang Riska perlihatkan seolah tidak suka, ia membuang muka saat Meira menatapnya lebih dekat.
Mey tersenyum menanggapi sikap Riska, terlihat cemburu, tapi tak mungkin mengakui. "Lo udah cinta sama gue?"
"Belum." Riska kembali menatapnya, kali ini ia mengganti posisi duduknya dengan sedikit menghadap pada Meira, tangan kiri terangkat menumpu pada bahu sofa yang tingginya hanya sebatas dada jika ia duduk, telempapnya menopang sisi wajah Riska.
"Terus kapan mau cinta sama gue?"
"Lusa," aku Riska.
"Oke, nanti lusa gue bakal tagih cinta lo ke gue." Harusnya pembahasan semacam itu diungkapkan dari hati ke hati, tapi mereka lebih seperti memiliki hutang yang harus ditagih, ada-ada saja.
"Gue mau tidur di sini."
"Lagi?" Meira mengernyit. "Kok betah banget tidur di apartemen gue?" Ia terheran-heran.
"Besok ganti kode biar gue enggak perlu nginep di sini lagi, gue juga nggak mau tinggalin rumah, banyak maling sekarang."
Meira manggut-manggut, ia juga yang salah, sejak kemarin Riska sudah memperingatkannya, tapi Mey seperti tak mengidahkan perintah Riska. Padahal semua demi keamanan Meira sendiri, tak mungkin kan Riska tidur di sofa ruang tamu Mey setiap malam? Mereka bukan sepasang suami istri yang tinggal seatap.
"Iya, maaf." Ia beranjak. "Gue ambilin selimut dulu, ya, sebentar." Meira memasuki kamar dan kembali membawa selimut seperti yang ia katakan, Mey meletakannya di permukaan sofa bekas tempat ia duduk tadi. "Gue sekarang mau tidur, maaf kalau bikin lo repot terus." Ia memutar tubuh dan hendak bergerak, tapi Riska lebih cepat beranjak dan menyentuh lengan gadis itu, Mey refleks menghadap Riska yang sudah berdiri di depannya.
"Jangan lupa berdoa, semoga mimpi indah," pesan Riska.
Meira tersenyum mendengar dialog sederhana tersebut, baginya berharga, selama ini tak pernah ada yang sampai memikirkan hal sekecil itu—bahkan Meira sendiri.
"Iya, lo juga jangan lupa," balas Meira, sentuhan tangan Riska di lengannya meluruh sebelum Mey benar-benar menghampiri kamarnya tanpa dicegah lagi. Meira sempat terhenti di ambang pintu dan menoleh pada Riska yang juga menatapnya, Mey hanya berpikir kalau sekarang ia pasti sedang bermimpi, apa benar laki-laki itu adalah Riska yang Meira kenal?
***
(Jangan pakai dress atau rok pendek, pakai celana panjang, gue tunggu di parkiran jam sembilan)
Chat tersebut menjadi alasan mengapa Trias turut serta membongkar isi lemari Meira sebelum ia bersih-bersih apartemen, padahal Mey tak pernah sampai melakukan hal seperti itu, jika ia membutuhkan pakaian baru—tinggal beli saja atau pesan di online shop langganannya, mungkin sebab Riska yang meminta mendadak—membuatnya jadi kalang kabut seperti sekarang.
Celana panjang sudah Meira temukan, tinggal atasan yang cocok sebagai pasangan, begitu banyak dress serta pakaian seksi Meira berserakan di permukaan ranjang sampai memenuhi tempat tersebut. Mereka membongkar lemari seperti membongkar isi toko pakaian saja.
"Mbak Mey sebenarnya mau atasan yang kayak gimana?" tanya Trias yang mulai pusing membantu Meira, padahal sudah banyak pakaian yang keluar dari lemari, tapi belum ada satu pun cocok di mata Meira, lebih tepatnya kurang modis jika dipadukan dengan celana panjang pilihannya tadi.
"Aduh, Mbak. Pokoknya gue mau yang lengan panjang," sahut Meira seraya mencocokan beberapa pakaian ke tubuhnya di depan cermin.
"Semuanya cocok dipakai sama Mbak Mey, kapan sih Mbak Mey pernah jelek," sanggah Trias yang semakin pening.
"Aduh, ini beda lagi."
"Kalau ini gimana?" Trias menemukan sebuah kemeja putih berlengan panjang bergaris di sela pakaian lain, Meira yang baru saja menoleh tersenyum sumringah melihat atasan tersebut.
"Mbak Trias emang paling top!" puji Mey, ia meraih atasan tersebut serta celana panjang yang sempat dipilihnya sebelum memasuki kamar mandi. Trias bisa bernapas lega kali ini, tapi pekerjaannya jadi bertambah saat ia memutar tubuh dan menemukan bertumpuk pakaian di ranjang. "Ya ampun, Mbak Mey."
Pagi ini kadar semangat dalam diri Meira meningkat drastis, Riska memiliki efek yang kuat untuk membuat Meira senang meski hanya hal-hal sederhana. Sebelum Riska banyak laki-laki datang silih berganti menjemput Mey di apartemen, entah sebab blind date atau mengantarnya pergi, tapi Riska mungkin satu yang paling istimewa, sebab ia berhasil membuat Mey kerepotan untuk mengikuti keinginannya.
Wajah ceria Mey tunjukan untuk semua orang yang berpapasan dengannya—termasuk petugas resepsionis di lobi, mereka sampai terheran-heran mengapa Mey sampai seramah itu, padahal biasanya tak acuh. Kali ini penampilan Mey benar-benar berbeda dari biasanya, ia lebih mirip wanita karir yang anggun ketimbang seorang model majalah dewasa.
"Pagi, Pak," sapa Mey pada dua penjaga keamanan di depan lobi.
"Pagi, Mbak Mey," sahut mereka bersamaan, keduanya kompak saling menatap dan menggeleng, mereka seringkali menggoda Mey meski selalu diabaikan, tapi pagi ini Mey menyapa begitu ramah. Apa langit akan runtuh setelah ini?
Perempuan itu melangkah lebih pelan dan hati-hati ketika jaraknya sudah tak jauh dari posisi Riska berada, lebih tepatnya ketika Riska bertengger di motor dan Meira melangkah di belakangnya. Tepat ketika Mey sampai di belakang Riska, tangan perempuan itu menutup mata Riska seraya tersenyum jahil.
"Elo, kan? Bau parfumnya udah kecium." Rupanya Riska sudah mengenali Meira, bahkan dari aroma parfumnya.
"Pagi," sapa Mey setelah menurunkan tangan, kini Riska menoleh dan tertegun beberapa saat begitu melihat penampilan Meira, dalam hitungan detik senyum simpul terbit di wajahnya.
***