Chereads / Hello, Riska / Chapter 31 - Under the rain.

Chapter 31 - Under the rain.

***

Riska beranjak tatkala sesi photo shoot Meira berakhir, perempuan itu meraih kimono handuk yang sudah dipersiapkan dan melangkah menjauhi area pantai—menuju sebuah toilet untuk berganti pakaian, ia sudah sangat basah. Sejatinya bukan Meira yang kini Riska ikuti, tapi sosok di belakang Meira yang membuat sepasang alis Riska menyatu disertai tatapan tajam menghunjam.

Meira sudah memasuki area toilet, tapi Juna menyingkir ke tempat lain, Riska tetap bergeming memperhatikan semuanya dari sisi pohon kelapa nan menjulang tinggi, lagipula Riska tak mau ambil risiko jika ia sampai mengikuti Meira ke dalam toilet. Memangnya mau apa?

Setengah jam berlalu sampai Meira akhirnya keluar dengan pakaian rapi, tiada lagi bikini yang membuat Riska sakit mata, baru saja Riska hendak menghampirinya—Juna sudah lebih dulu muncul dan melangkah beriringan dengan Meira, entah apa yang tengah mereka bicarakan, yang jelas Riska tetap memutuskan menghampiri Meira dan menerobos posisi tengah.

"Udah selesai semua, kan? Bisa kita pulang sekarang?" Riska merangkul Meira begitu saja seraya menoleh pada Juna yang terlihat kesal.

"Lo dari mana? Kok tiba-tiba nongol," celetuk Mey seraya menyelipkan rambutnya yang basah.

"Gue bisa muncul dari mana aja sesuai situasi dan kondisi kok, kayak bunglon." Ia tersenyum menyepelekan Juna, pasti laki-laki itu kesal sekali, mengapa Juna tak sadar diri jika Meira datang bersama orang lain—yang sudah jelas siap berada di dekatnya kapan saja, jadi Juna tak perlu repot-repot menggantikan posisi Riska. "Kita cari makan, gue lapar dari pagi belum makan."

"Kenapa nggak bilang?" Setelahnya Riska menarik Meira menjauh dari Juna yang berakhir kecewa, lagipula Mey sudah hilang respect sejak hari itu, mungkin Juna tipikal laki-laki pantang mundur yang masih terus mengejar. Anggap saja mengejar layangan putus.

Sebelum meninggalkan pantai, Mey meraih beberapa barangnya di permukaan meja berpayung tempat Riska duduk tadi, ketika ponsel dicek—ia mengernyit menemukan beberapa panggilan dari nomor tak dikenal, Meira berdecak seraya memutar tubuh menatap Riska yang jatuh hati pada jingga sore ini.

"Ada banyak panggilan masuk nggak ada yang lo angkat satu pun? Ini kan waktunya pas gue lagi pemotretan," protes Meira.

Riska menoleh, rambutnya semakin berantakan ketika angin mengusapnya sesuka hati. "Privasi lo."

"Eum, ya." Meira tak perlu memperpanjang urusan kecil itu, apa yang dikatakan Riska sudah benar. Mey simpan ponselnya ke dalam tas sebelum menarik tangan Riska menjauh dari sana, tapi baru beberapa langkah mereka menjauhi bibir pantai—Lolita muncul seraya memperhatikan Riska tanpa kedip, dari ujung kaki hingga rambut, kanan dan kiri semuanya tak luput dari selidik bola mata. Ada apa?

"Asep, lo ngapain sih?" Mey mulai kebingungan.

Lolita manggut-manggut. "Kayaknya gue pernah lihat ini cowok di apartemen, di ...." Ia menerawang mengingat-ingat sesuatu, selang beberapa detik bola lampu menyala seakan muncul di atas kepalanya disertai ekspresi ceria. "Aha! Gue tahu lihat cowok ini di mana, deket sama tempat lo kan, Mey?"

"Heh, Asep! Udah nggak usah bahas macem-macem, mau dia dari planet sebelah juga kenapa? Lo urusannya cuma sama gue aja, kerjaan. Jangan pernah bahas ini lagi," cerocos Meira sebelum menarik Riska pergi dari hadapan Lolita.

"Apa yang salah? Kan gue cuma tebak-tebak aja, itu cowok yang sama cewek blasteran itu, kan? Kok bisa sama Mey." Lolita manggut-manggut meski ia tak tahu apa alasannya, toh bukan urusannya juga, selama ini ia melihat Meira kencan dengan banyak laki-laki, mungkin saja Riska menjadi salah satunya.

***

Sejam lebih mobil melaju di jalanan setelah meninggalkan area pantai, rupanya malam yang mulai beranjak tak hanya menampilkan gulita mengelilingi angkasa, tapi juga riuh rintik gerimis yang kini mulai jatuh menyentuh setapak bumi Jakarta. Sepasang manusia di bawah atap mobil tak banyak berbicara, Meira mungkin saja kelelahan, Riska sendiri memang tak banyak bicara—pada awalnya.

Meira sesekali sibuk membuat jemarinya menari pada layar keypad, entah dengan siapa ia menjelajah whatsapp, yang jelas Riska tak mengusiknya dan hanya sibuk mengemudi ekstra hati-hati, apalagi sekarang riuh rintik menaikkan intensitasnya menjadi hujan deras, sedangkan tak terlalu jauh dari posisi mereka—macet tengah melanda dari satu arah, mengular cukup panjang. Jika Riska membawa motor, mungkin saja ia bisa mencari jalan alternatif, tapi jika hujan juga datang seperti malam ini beda lagi ceritanya.

"Oh ya, bukannya tadi lo bilang mau cari makan? Belum makan dari pagi?" Meira angkat bicara, ia meletakan ponselnya di permukaan dashboard.

"Iya."

"Kenapa nggak ngomong lagi? Untung gue inget, mana belum makan dari pagi, kan? Udah sekarang cari tempat makan aja di sekitar sini," ujar Meira.

"Iya."

Gadis itu meluruhkan kaca mobil seraya memperhatikan area sekitar, banyak orang tampak berteduh dari guyuran hujan, warung kopi ramai pembeli yang mayoritas laki-laki, riuh tawa mereka sampai terdengar ke telinga pengendara yang lewat. Riska memelankan laju mobil saat mengamati Meira yang begitu intens menatap pemandangan di luar sana.

"Nasi bebek aja gimana? Gue udah lama banget nggak pernah makan di warung tenda, mungkin waktu masih kecil." Meira mengingat-ingat, dulu yang paling rajin mengajaknya makan di warung tenda biru adalah Sehan—sang papa yang kini entah di mana, kalau Ashila nyaris tak pernah, wanita itu hanya sibuk dengan dunianya sebagai wanita karir.

"Iya."

Meira berdecak. "Iya, iya aja lo. Kayak nggak punya dialog lain aja. Nurut banget kayak bebek."

"Ya kan mau makan nasi bebek."

Meira yang mendengarnya terkekeh sendiri. "Astaga, iya juga. Gue tahu kok tempat nasi bebek yang enak di mana, langganan waktu kecil sama papa."

"Sekarang, papa lo di mana?"

Tawa yang masih tersisa lenyap seketika, mungkin Riska tak sadar jika pertanyaannya mengundang luka lama yang masih bersemayam dalam benak Meira, ia takkan pernah lupa setelah palu hakim mengakhiri pernikahan orangtuanya—Sehan mengecup kening Meira untuk terakhir kalinya sebelum pergi dari rumah warisan milik orangtua Ashila untuk selamanya.

Mey tak menjawab, ia hanya diam menikmati luka lama yang berhasil menyelinap tanpa permisi, seperti biasa.

"Eum, jadi ini di mana?" Riska mengganti topik lain.

"Sebentar lagi sampai kok." Selang jarak sekitar lima belas meter akhirnya mereka tiba di warung tenda biru yang pernah menjadi langganannya, setelah orangtuanya bercerai ia tak pernah lagi datang ke sana. Entah si pemilik warung masih mengingatnya atau tidak sekarang, sudah bertahun-tahun lamanya.

Riska menepikan mobil, rupanya keadaan di dalam warung tampak ramai dan penuh oleh pengunjung, sudah sejak lama warung tersebut memang selalu ramai pengunjung. Apalagi malam ini hujan deras turun, hawa dingin yang merasuk seringkali membuat perut lapar, jadi menikmati sepiring nasi bebek lengkap dengan sambal serta lalapan menjadi alternatif yang cocok.

Sekarang Meira mengulangnya lagi, menunggu antre di depan warung seperti saat bersama Sehan, tapi malam ini sudah berbeda orang, ia bersama Riska. Berdiri di bawah atap payung yang digenggam laki-laki itu seraya menunggu di depan warung.

"Nggak apa-apa nunggu?" tanya Riska.

"Nggak apa-apa, dulu juga suka kayak gini, nanti pasti kebagian kok. Mumpung belum jam sembilan, suka udah tutup soalnya," jelas Meira.

"Mau pakai jaket gue?" Lama-lama ia risi melihat Meira yang lagi-lagi mengenakan dress tanpa lengan, apalagi perempuan itu bersidekap kedinginan, tapi Mey menggeleng menolak tawaran Riska. "Ya udah sini aja." Tanpa aba-aba Riska merapatkan tubuhnya dengan Mey dan merangkulnya dari tepi, mengizinkan Meira merasakan sedikit rasa hangat yang bisa Riska bagi seadanya.

Awalnya Mey tampak terkejut, aroma parfum Riska memenuhi indra penciumannya, terasa lembut dan berbeda dari parfum laki-laki kebanyakan. "Lo pakai parfum apa?"

"Yang murah meriah aja, roman wish." Riska memperhatikan sekitar—pada jalanan licin di depannya yang masih tersentuh air hujan.

"Tapi, kesannya jadi mahal kalau yang pakai ...." Meira tak melanjutkan, Riska juga diam saja. Gadis itu mengangkat wajah tepat saat Riska menunduk menatapnya, eboni mereka hanya berjarak beberapa centi saja, saling bertukar embusan napas pun terasa.

Gue tahu nggak ada yang benar-benar abadi di dunia ini, tapi gue berharap momen kayak gini akan selalu gue ingat sampai menua nanti, batin Mey seraya menarik sudut bibirnya hingga membentuk lengkung yang membuat Riska juga tersenyum.

Apa yang Meira katakan terjadi, tentang isi pengunjung di dalam warung tenda yang mulai menyusut setelah mereka menunggu di luar sekitar setengah jam, alhasil kini Mey serta Riska bisa masuk ke dalam sana dan berbaur dengan pengunjung lain.

Fokus orang-orang langsung tertuju pada Meira, apa ada bidadari turun ke bumi saat hujan deras malam hari? Apa ada bidadari mampir ke warung tenda untuk menikmati sepiring nasi bebek? Konyol sekali.

Riska yang menyadari Meira menjadi pusat perhatian sebab gaya busana serta rupa gadis itu membuatnya buru-buru melepaskan jaket dan menempelkannya di punggung Meira seraya berbisik lirih, "Pakai, banyak mata jahat. Nanti lo nggak nafsu makan lagi."

Meira mengangguk dan memakainya, ada sekitar tiga kursi kayu panjang di sana, masih ada ruang tersisa untuk Mey dan Riska. Ketika Mey hendak duduk di samping seorang pria—Riska menarik lengannya, meminta Mey duduk di posisi paling ujung agar ia saja yang duduk di samping pria tersebut, jadi Mey hanya duduk di sebelah Riska saja.

Seorang wanita berusia sekitar lima puluhan bertubuh pendek berisi dengan rambut dicepol sedikit beruban menghampiri Meira dan Riska, apron lusuh membalut bagian depan tubuhnya. Ia meletakan dua porsi nasi bebek lengkap dengan sambal serta lalapan.

"Mau minum apa, ya, Mbak sama Masnya?" tanya wanita tersebut, sejak kehadiran Meira ia sesekali memperhatikannya seraya berpikir.

"Teh tawar aja," sahut Mey, "Riska mau apa?"

"Sama."

"Oke, Mbok. Teh tawar aja, ya." Meira tersenyum hangat menatap wanita itu. "Mbok nggak ingat saya, ya?"

"Siapa, ya. Dari tadi saya coba ingat-ingat juga malah tambah nggak ingat, apa karena tambah tua ya." Wanita yang disebut Meira sebagai 'Mbok' tersebut terkekeh bersama Meira.

"Ini Mey, Mbok. Mey yang suka makan di sini waktu masih SD, ingat Pak Sehan nggak?"

"Pak Sehan?" Mbok Darti menerawang. "Iya saya masih ingat, jadi Mbak ini putrinya Pak Sehan, ya? Udah besar makin cantik." Mey hanya tersenyum menanggapi. "Pak Sehan-nya di mana, Mbak? Sekarang ke sini sama pacar."

"Teh tawarnya, ya," sela Riska begitu menyadari perubahan mimik wajah Meira yang awalnya ceria menjadi kelabu, seperti cuaca malam ini.

"Oh iya, sebentar ya." Mbok Darti meninggalkan mereka, jadi Meira tak perlu menjawab pertanyaan yang semakin membuat lukanya meradang.

"Udah dimakan, tadi yang minta ke sini, kan? Jangan sedih-sedih terus," tutur Riska.

"Iya." Meira melakukannya, mungkin ia juga yang bodoh telah membawa Riska ke tempat yang sering disinggahinya saat bersama Sehan, bukankah sama saja ia sendiri yang membuka luka lama? Konsekuensi jika orang lain bertanya perihal keberadaan pria tersebut, jangankan orang lain, Mey sendiri tak tahu di mana keberadaan sang papa, mereka lost contact bertahun-tahun lamanya.

Sesekali Riska menoleh memperhatikan cara makan Meira yang lagi-lagi begitu lahap seperti tak pernah makan saja, ia tersenyum kecil melihatnya, apalagi cara makan mereka memang diwajibkan memakai tangan kosong, bukan lagi sendok serta garpu.

"Kenapa?" tanya Mey menyadari Riska memperhatikannya.

"Gue suka lihat lo makan, yang banyak ya biar kuat hadapin dunia, biar jadi perempuan tangguh yang nggak cengeng."

***