Chereads / Hello, Riska / Chapter 32 - Under the rain (2)

Chapter 32 - Under the rain (2)

"Makasih buat nasi bebeknya yang enak banget, saya pamit ya, Mbok." Terakhir kalinya Meira melambai tangan sebelum keluar dari warung tenda tersebut, tak terasa perutnya sudah terisi penuh oleh makanan favoritnya di masa kecil, ia pikir takkan kembali lagi makan di tempat tersebut, sebab tanpa kehadiran Sehan terasa aneh saja. Mungkin Riska akan menggantikannya meski bukan sebagai sosok seorang ayah, tapi sosok yang Meira cintai, seperti ia mencintai ayahnya setiap hari.

Hujan tak sederas tadi, payung yang sempat melindungi mereka dari derasnya hujan sekitar setengah jam lalu kini tak lagi direnggangkan, payung berhasil masuk ke ruang kaki di jok penumpang belakang, untung saja bagasi Meira menyimpan banyak sesuatu berguna yang selalu ia bawa ke mana-mana termasuk payung tersebut.

Mobil kembali melaju membelah jalanan ibukota yang masih ramai saja, air hujan masih turun meski dalam intensitas sedang. "Gue kepikiran sesuatu, ini pasti ada yang aneh," ucap Meira.

"Apa yang aneh?" Sepasang lampu sen mobil menyorot jelas pergerakan mobil-mobil lain di depan mereka, Riska yang terlalu fokus sampai tak menatap lawan bicara.

"Soal Reifan, lo bilang kalau dia yang udah buntutin gue di hotel waktu acara ulang tahun Selly, tapi ngapain dia di sana? Selly kan enggak kenal sama Reifan, dia bukan anak Kampus Malaka juga. Udah gitu gue tahu jelas kalau tamu yang berhak masuk itu harus punya e-mail undangan dari Selly." Sejak kejadian pagi tadi terkaan tentang Reifan terus mengusik pikirannya, hanya saja ia belum menemukan jawaban yang paling logis dari teka-teki yang dirangkainya. Sekarang biarkan Riska mendengarkan, siapa tahu ia bisa menyimpulkan keadaan sesungguhnya.

"Maksud lo nggak mungkin kalau cowok gagal move on itu datang ke acara teman lo? Ya bisa ajalah."

Meira mengernyit. "Gimana caranya? Selly enggak kenal sama Reifan, gue bisa jamin seribu persen."

"Lo nggak suka baca komik detektif ya, pantes nggak pintar," celetuk Riska membuat Meira memberengut kesal, lirikan dari ekor matanya membuat senyum jahil Riska muncul. "Kalau seseorang merencanakan semuanya dari awal bisa aja terjadi, siapa tahu memang ada yang nyuruh Reifan datang ke sana pakai undangan di e-mail dari salah satu anak Malaka."

"Siapa?"

"Ya nggak tahu, lagian itu cuma analisis aja, makanya banyak-banyak baca komik detektif, jangan cuma bukain majalah yang isinya sempak semua."

"Ah udahlah, lo yang menang sekarang. Gue males debat." Siku kiri Meira tampak menumpu pada permukaan di dekat jendela, telempapnya menopang sisi kepala, ia mulai memikirkan analisis Riska tadi.

Keterdiaman kembali hinggap, lambat laun kantuk menyerang Meira yang sudah berulang kali menguap, sialnya mereka terjebak macet cukup panjang, Riska berdecak seraya menginjak rem dan membiarkan mobil terhenti di belakang mobil-mobil lain yang juga baru berhenti di depan mereka. Kemacetan hanya berlangsung satu arah, mengular sampai entah seberapa jauhnya, yang jelas Riska benar-benar kesal sampai ia memukul kemudi.

Ketika Riska menoleh ke sisi kiri—ia menemukan gadis itu sudah terlelap, Riska semakin bergeming, sudah berapa lama Meira tertidur? Riska yang terlalu fokus mengemudi dalam diamnya sampai tak menyadari apa yang terjadi dengan gadis itu, Meira terlihat lelap dalam lelahnya. Posisi kepala Meira miring ke kiri hingga keningnya menyentuh sisi jendela, jika banyak polisi tidur yang mereka lewati bisa saja kepala Meira terbentur-bentur dan sakit.

Riska menarik napas, dengan hati-hati ia membenarkan posisi tidur Meira agar kepalanya bersandar pada jok saja, jaket Riska yang terbuka membuat pemiliknya menaikan resleting hingga jaket tertutup sempurna, jadi bagian atas tubuh Meira dipeluk jaket Riska.

Perlu kesabaran ekstra menghadapi kemacetan, tak sampai semeter mobil melaju, lantas berhenti lagi, dan Riska bisa mengulangnya tanpa harus ia protes. Meski berkali-kali berdecak dan mengumpat pun takkan mengubah keadaan, yang lebih menyedihkan ia menikmati macet sendiri setelah perempuan di sampingnya semakin lelap saja.

***

Sekitar satu jam mobil Meira terjebak macet sampai akhirnya lolos dan bisa mengebut sesuka hati, Riska memelankan laju mobilnya setelah ia memasuki sebuah cluster perumahan, ia tak langsung mengantarkan Meira ke apartemen, Riska hendak menjemput motornya di rumah Saka, mereka bisa pulang sendiri-sendiri nanti.

Setelah mobil benar-benar berhenti di depan gerbang sebuah rumah dua lantai bernomor 73, Riska melepaskan seat belt seraya menatap Meira yang belum juga membuka mata, sepertinya nyenyak sekali sampai tak memedulikan posisi tidurnya yang duduk.

Riska membantu melepaskan sabuk pengaman di tubuh Meira, ia mencondongkan tubuh di depan gadis itu, wajah mereka begitu dekat, mungkin sekitar lima centi saat Riska bisa merasakan embusan napas teratur milik Meira. Setelah sabuk pengaman terlepas Riska bertahan di posisinya, ia mengamati wajah terpejam di depannya dalam diam, tangan kanan Riska perlahan terulur menepikan rambut Meira yang mengusik wajahnya.

Suara hati serta perintah otak Riska tengah sinkron saat ini, ia tak tahu mengapa, tapi pada akhirnya sebuah kecupan lembut mendarat di kening perempuan itu. Meira refleks membuka mata, ia baru menyadari Riska berada tepat di depannya, di atas sana dan melakukan sesuatu yang membuat jantung Meira seketika berdegup lebih kencang. Mey tahu ia tak sedang melakukan marathon, tapi rasanya benar-benar ... sulit dijelaskan.

Saat Riska menjauhkan wajah Meira terpejam lagi, ia berpura-pura belum terbangun. "Mau gue bangunin, tapi kasihan, kayaknya capek banget," gumam Riska, "masa gue tinggalin dia sendirian di sini."

"Riska." Suara Meira membuat Riska menatapnya, ia baru menyadari jika gadis itu sudah terbangun, belum sempat membuka mulut untuk mengatakan sesuatu—Meira sudah lebih dulu menarik tengkuk Riska hingga bibir mereka saling bersentuhan, hanya sebuah kecupan lembut yang Meira bagi, tak lebih dari itu sampai terlepas sendiri.

Mereka sama-sama menjauhkan wajah, saling menatap dalam pemikiran masing-masing sampai intuisi dalam diri Riska melakukan sesuatu yang tak pernah ia duga—meraih leher Meira, menariknya hingga bibir mereka kembali bersentuhan dan kompak memejamkan mata tatkala Riska memulai gerakan lembutnya, memagut begitu pelan sampai setiap detik jarum jam yang bergerak seolah tak mampu menyaingi lambatnya kecupan Riska.

Sesuatu sama-sama menyambut mereka tanpa tahu cara menjabarkannya, sepasang tangan Meira perlahan terangkat menangkup wajah laki-laki itu, meski tak membuka mata Meira bisa merasakan di mana tangannya berada.

Saat perbuatan mereka yang melenakan terasa semakin panjang, sebuah bayang dari sesuatu yang pernah terekam jelas di mata Meira tiba-tiba hinggap dalam pikirnya dan membuat gadis itu refleks mendorong Riska hingga mereka terlepas. Mey seperti syok, tatapannya terus mengarah pada Riska yang tak kalah terkejutnya.

Meira ngos-ngosan, ia seperti baru terbangun dari tidurnya sebab mengalami mimpi buruk. Riska beralih dan membuka pintu, ia berbicara tanpa menatap Meira, mimik wajahnya berubah setelah Meira mendorong paksa, itu bukan sesuatu yang nyaman. "Gue mau ambil motor di rumah Saka, lo bisa pulang sendiri sekarang." Tanpa menunggu jawaban gadis itu Riska keluar dan tak lupa menutup pintu, ia mengitari kap mobil dan semakin menjauh tatkala melewati gerbang tinggi rumah Saka yang didorongnya sendiri.

Meira menelan ludah, ia menggeser posisi duduknya ke kanan, tangannya tampak bergetar seperti merasa takut, tapi ia tetap memberanikan diri untuk melajukan mobilnya meninggalkan tempat itu. Meira masih syok, ia melihat jelas bayangan tentang Luna dan Riska yang sempat bercumbu di ruang tamu unit Luna hari itu, seperti video yang pernah Meira simpan di ponselnya. Mengapa bayangan itu harus hinggap di saat yang tidak tepat?

"Apa sih Mey yang lo pikirin, kenapa gue nggak boleh? Apa yang salah? Apa karena Riska ada yang punya?" Meira mulai frustrasi, ia menyentuh bibir yang sempat dikulum lembut oleh Riska, sekarang Meira semakin tak tahu apa yang harus ia lakukan. Jika saja bayangan Luna tak muncul, mungkin sentuhan menghanyutkan tadi bisa berlangsung lebih lama.

Mey memukul kemudi beberapa kali. "Sialan! Sialan! Sialan lo Luna! Sialan!"

***

Ia menggedor pintu seseorang berkali-kali, padahal aturan di apartemen sudah jelas melarang orang lain melakukan sesuatu yang membuat penghuni lainnya merasa tidak nyaman, berisik misalnya. Tetap saja ia tak peduli, sebab keinginannya sudah sangat meradang.

Si pemilik unit membuka pintu, ia tersenyum merona menanggapi kehadiran saudara tirinya, waktu itu Mey memang pernah datang ke tempat Luna, tapi sekadar berbicara seadanya—sebab Mey juga hanya berbasa-basi. Lantas sekarang Meira datang sebagai status yang berbeda, saudaranya.

"Mey? Ayo masuk," ajak Luna.

Tanpa mengubah ekspresi datar di wajahnya Meira memutuskan masuk, tak disangka jika di dalam sana ada Fredy serta Ashila. Rupanya mereka bertiga tengah melalukan makan malam ala keluarga bahagia, tanpa Meira.

Bisa dipastikan relung Meira diisi kekecewaan, tapi ia menyingkirkan kekesalan tersebut untuk tujuan utamanya datang ke unit Luna—bahkan sebelum Meira pulang ke tempatnya sendiri.

"Mey? Kamu di sini?" Ashila menyambut dengan rona yang tak kalah dari Luna, ia baru keluar dari dapur dan menghampiri putrinya yang berdiri di dekat sofa, baru saja Ashila hendak memeluk Mey—tangan gadis itu terangkat memberi isyarat sebuah penolakan.

"Aku ke sini nggak ada basa-basi ya sama Mama, urusanku sama Luna," ucap Mey to the point.

"Kamu bilang aja, Mey." Luna duduk di sofa. "Sini duduk dulu di sebelah aku."

Meira menyugar rambut sebelum duduk di sebelah Luna, sedangkan Ashila duduk di sofa bersebrangan, Fredy baru keluar dari dapur dan menghampiri mereka, sekarang lengkap sudah anggota keluarga kecil tersebut.

"Jadi, Mey. Kamu mau bilang apa tadi?" tanya Luna.

"Gue mau menagih janji lo tempo hari, soal lo yang bilang mau menuruti segala keinginan gue asal gue mau menganggap lo saudara, benar?" Mey membukanya.

Luna mengangguk, ia menatap Ashila dan Fredy bergantian. "Aku punya janji sama Meira." Ia beralih pada suadaranya. "Jadi, apa yang kamu minta dari aku, Mey?"

"RISKA."

***