***
Masih sama, rasanya tetap saja nyaman saat ia menggamit lagi tubuh seseorang dari belakang, menyandarkan kepala di punggungnya yang lebar. Kali ini ia melepas rasa canggung, terserah pada urusan si pengemudi yang merasa risi atau sebaliknya, yang penting Meira senang bisa memeluk Riska lagi dari belakang saat ia membonceng motornya. Bukankah boleh membahagiakan diri sendiri? Lagipula keinginan Meira tak pernah muluk-muluk, sebanyak apa materi yang ia miliki, setenar apa dirinya di mata publik tetap belum membuatnya merasa bahagia. Ia hanya hidup dengan nyaman, tapi tidak benar-benar senang.
Sepertinya Riska memang berniat menjemput Meira, buktinya ia membawa helm lain yang kini terpasang di kepala perempuan itu. Entah jam berapa Riska pulang, yang jelas saat Trias datang laki-laki itu sudah tak ada di sofa ruang tamu lagi, hanya tersisa selimut yang sudah tertata rapi, cangkir serta piring kosong di permukaan meja. Trias menjadi bertanya-tanya lagi, apa yang membuat majikannya lembur malam?
Jauh dari posisi keduanya, macet mulai melanda Jakarta pagi ini, untung saja Riska hafal jalan alternatif menuju kampus meski area sepi dengan hamparan kebun kosong di sisi kanan dan kiri, pagar kawat mengelilingi tempat tersebut dengan juntaian kabel kecil terpasang di atasnya, tertulis di sebuah papan yang tertancap di bagian depan kebun semacam Tanah Ini Milik Pemerintah.
"Gue nggak pernah tahu daerah ini," ucap Meira seraya menyandarkan dagu di bahu kiri Riska, ia memperhatikan sekitar.
"Ya kan karena lo emang nggak pernah lewat sini, lagian lumayan sempit kan kalau dilewati mobil," sahut Riska seraya fokus mengemudikan motornya.
"Iya juga sih."
"Kalau kata orang-orang daerah sini angker, banyak korban begal yang tewas di sini," tutur Riska.
"Terus, kenapa kita lewat sini? Lo nggak takut dibegal juga?"
"Hampir setiap hari gue lewat sini, pulang pergi dan nggak ada apa-apa." Riska mengedik bahu. "Gue lebih seram dari tukang begal mungkin."
Motor baru saja keluar dari area sepi tersebut, tak ada satu pun rumah berada di sana, mungkin hanya beberapa kendaraan bermotor yang lewat, itu pun bisa dihitung dengan jari. Kini mereka memasuki kawasan yang cukup rindang dengan sisi kanan kiri ditumbuhi pepohonan, kebanyakan diisi oleh pohon pinus, bahkan daunnya yang jatuh berserakan di jalan. Jadi, ketika kendaraan melaju kencang melewatinya otomatis daun-daun tersebut seperti ikut ditarik meski kembali terhempas lagi.
Maklum saja, tak ada tukang sapu jalanan berada di kawasan tersebut, apalagi posisinya jauh dari jalan besar, jadi orang akan berpikir lagi untuk bekerja di area yang sepi. Sekitar lima puluh meter lagi mereka akan tiba di kampus, tapi Meira tak pernah ingin berhenti di mana pun dan kapan saja, ia ingin tetap berada di sana—membonceng Riska seraya menggamit tubuhnya.
Beberapa waktu lalu suasana terlihat sunyi dan menghanyutkan, tapi kini suara deru tiga motor di belakang mereka membuat keheningan lesap, Meira mengangkat kepala dan menoleh setelah ia merasa kenyamanannya terganggu oleh suara mesin tersebut. "Itu mereka kenapa sih, di sini kan nggak ada balapan, ngapain naik motor pakai digeber-geber segala, jalan nenek moyangnya apa!" gerutu Mey begitu kesal.
"Diemin," sahut Riska, ia mengemudi dengan kecepatan yang stabil sebab Riska berpikir jika orang-orang di belakang mereka pasti akan menyalip, sayangnya apa yang ia perkirakan adalah sebuah kesalahan. Motor-motor tersebut tak menyalip kendaraan Riska—melainkan mengapit posisi motor Riska dari segala sisi.
"Lho, kok malah kayak gini, sih?" Meira bertambah kesal, ia menoleh pada ninja merah di sebelah kirinya, si pengemudi tampak menaikan kaca helm dan menyeringai padanya. Mey tertegun beberapa saat, dari sekian banyak wajah yang pernah terekam pada bola mata—ia menemukan satu wajah familier untuk sosok di sana. "Reifan."
"Siapa Reifan?"
"Udah, mending lo ngebut aja. Dia bawa temen, nanti malah kita yang celaka," sahut Mey merasa cemas.
"Reifan itu siapa?" Riska mengulang pertanyaannya, ia melirik wajah Reifan yang juga menatapnya.
"Pokoknya dia bukan orang baik."
"REIFAN ITU SIAPA!!!" Lagi-lagi Riska mengatakannya, kali ini dengan nada tinggi, cengkraman Riska pada gas motor menguat.
"Dia orang yang pernah blind date sama gue!"
Ciit!
Tanpa diduga Riska mengerem motornya hingga Meira yang tak siap terdorong ke depan cukup keras, bahkan bagian depan helmnya membentur bagian belakang helm yang dipakai Riska. Harusnya Riska tak perlu sampai sekasar itu.
"Aw! Ini sakit, Riska!" Mey membuka kaca helm, tangannya masuk ke sana dan mengusap kening yang terasa sakit. "Lo kenapa sih!"
"Turun." Suara Riska terdengar dingin, ada penekanan di dalamnya.
Tanpa melepas helmnya Meira turun diikuti Riska. Tiga motor yang tadi menghimpit posisi mereka pun berhenti, rupanya Reifan memang mengincar sesuatu. Reifan dan kedua temannya turun, Meira langsung berdiri di samping Riska, ia ketakutan.
"Gue nggak asing sama wajahnya," lirih Riska, ia terus menatap Reifan tanpa kedip.
"Siapa?" tanya Meira.
"Jaket merah." Sosok yang dimaksud Riska adalah Reifan. "Dia itu orang yang ngikutin lo waktu pingsan di Hotel Sakura malam itu."
"Maksud lo yang di acara ulang tahunnya si Selly, kan? Yang gue tidur di rumah lo. Jadi, pelakunya Reifan?" Meira menatap Reifan, ia terlihat marah, saat Mey hendak menghampiri bajingan itu—Riska menarik tangannya. "Kok ditarik? Gue mau gampar itu muka setan."
"Jangan, diem di sini. Jongkok, tutup mata sama telinga. Bisa?"
"Tapi—"
"Mau gue tinggal di sini sama mereka bertiga?" tawar Riska, tapi Meira menggeleng. "Ya udah, kalau kayak gitu dengerin omongan gue. Lakukan yang gue minta tadi."
Meira mengangguk, ia melepas helm dan meletakannya di permukaan jok belakang, Meira juga berjongkok di dekat motor Riska seraya memejamkan mata dan menutup telinga menggunakan sepasang tangan.
"Gue menepati keinginan lo untuk datang cari lo, benar, kan," ucap Reifan tersenyum sengit, ia berdiri di antara dua temannya, satu memakai jaket hitam, sisanya kaus navy.
Riska bergeming, ia masih ingat saat malam itu Meira jatuh dalam dekapannya tepat di depan lift, Riska menantang Reifan untuk mencarinya di Kampus Malaka jika memang ada dendam. Rupanya Reifan benar menyimpan dendam.
"Ya, laki-laki yang dipegang omongannya, kalau lo datang pasti gue sambut," sahut Riska setenang mungkin, diam-diam ia selalu mengamati pergerakan orang-orang di sekitar, sebab bahaya memang mengancam. Diliriknya Meira yang begitu patuh.
"Kasih Meira ke gue, dan lo bebas. Anggap aja gue lagi nagih hutang," usul Reifan bernegosiasi.
"Hutang? Kapan gue punya hutang sama lo? Apalagi urusan perempuan, dia bilang lo orang yang nggak baik." Riska menjawabnya lagi.
Reifan tertawa. "Ya mau gimana, ya. Gue suka banget sih sama Meira."
"Tapi, dianya enggak suka. Gimana?" Lama-lama perkataan Riska terdengar menjengkelkan, apalagi saat mimik wajah Reifan berubah.
Reifan menatap kedua temannya bergantian sebelum kembali pada Riska dan menunjuknya dengan gerakan dagu. "Habisin dia."
Si jaket hitam serta si kaus navy bergerak cepat menghampiri Riska yang kini memancing mereka ke tengah jalan, setelah posisi dirasa cukup luas untuk berkelahi Riska memasang kuda-kuda seraya mengamati gerak-gerik musuh dari kedua sisi.
Si jaket hitam mengawali, ia hendak menendang pinggang Riska, tapi musuhnya lebih cepat menyingkir dan tersenyum miring. Nyatanya, si jaket hitam dibuat kesal setelahnya, ia kembali menghampiri Riska dan mengarahkan kepalan tangannya menuju wajah sang musuh, tapi telempap kiri Riska mampu menahan serangan diikuti tangan kanan terkepal dan meninju perut berkali-kali. Si kaus navy enggan tinggal diam, ia menghampiri—hendak menyerang Riska, tapi musuhnya memelintir tangan si jaket hitam ke belakang dan membuat orang tersebut menjadi sasaran pemukulan temannya sendiri tepat di wajah.
Riska tersenyum menatap si kaus navy seraya mendorong si jaket hitam hingga terjerembab ke aspal, teman Reifan tersebut sudah tak sadarkan diri setelah mendapat pukulan bertubi-tubi di perut dari Riska dan hantaman keras di wajah dari temannya sendiri. Konyol, bukan?
"Lo jahat ya sama teman sendiri," cibir Riska, ia tersenyum menyepelekan lawannya.
"Bangsat lo!" Si kaus navy maju pun Riska yang tak mau berlama-lama di tempat itu, awalnya Riska lebih dulu mendapat pukulan di wajah. Hantaman itu membuat ekspresinya berubah, tatapannya persis seperti saat Riska menemukan Meira di kelas bersama Rayi tempo hari. Untung saja Meira tak melihat untuk kedua kalinya, gadis itu masih sibuk melaksanakan tugas dari Riska.
"HIDUP BANGSAT!!!" seru Riska sebelum menendang tulang kering si kaus navy, menarik lengannya dan memukul wajah yang belum tersenyuh kepalan tangan tersebut, tak sudi memberi jeda pada lawannya Riska menendang perut hingga si korban membungkuk meremas bagian tersebut, tapi Riska menarik dagunya dan membuat wajah si musuh kembali mendongak sebelum hantaman terakhir menyentuh wajah si musuh. Terakhir, Riska menendang pinggang dan membiarkan tubuh teman Reifan tersebut ikut ambruk ke aspal menemani si jaket hitam.
Kini tatapan Riska beralih pada sosok Reifan yang terlihat panik setelah dua temannya berakhir tak sadarkan diri, bukannya menghampiri Riska dan melawannya—justru ia menaiki motor dan tancap gas dari tempat itu.
Riska menghampiri motor, Meira masih berjongkok tanpa membuka mata serta telinga. Laki-laki itu menyentuh bahu Meira, membuatnya terkejut takut-takut orang lain yang melakukannya.
"Buruan naik, bentar lagi kelas pagi gue mulai," perintah Riska seraya memasang helmnya, terlihat sebuah lebam menghiasi kulit yang membalut tulang pipi sebelah kiri.
Meira beranjak, ia menatap sekitar dan baru menyadari jika semua sudah berakhir, dua orang terkapar di aspal dan Reifan tak lagi berada di sana.
"Reifan mana?" tanya Meira.
Riska mengernyit. "Lo cariin dia? Kenapa tadi nggak ikut pergi, jadi gue nggak perlu repot-repot ngurusin dua temennya." Kentara kekesalan dari nada bicara Riska, ia duduk di jok motor dan menyalakan mesin.
"Ya maaf, gue kayaknya salah ngomong."
"Buruan naik!"
Meira menelan ludah, ia memasang lagi helmnya dan duduk di belakang Riska, kali ini suasana hati Meira tak lagi tentram seperti sebelumnya, ia merasa jika Riska begitu marah dan mengubah suasana sekitar jadi mencekam.
***