"Wow, Mey! Penampilan lo hari ini out of the box banget ya," ucap Selly begitu melihat sahabatnya yang baru datang dan memasuki area kantin kampus—berkumpul dengan teman-teman seperti biasa.
"Biasa aja," sahut Meira terdengar judes, mimik perempuan itu berubah sejak Riska meninggalkannya begitu saja di parkiran, saat Meira ingin mengejarnya malah ia dipaksa berhenti oleh panggilan dari nomor Lolita, alhasil Mey terpaksa membiarkan Riska tetap pergi sebelum ia meminta penjelasan. Sebab sejak perkelahian yang berlangsung di jalan tadi, Riska tak mengatakan apa-apa, selama di motor ia tetap membisu meski Meira mengatakan banyak hal.
"Iya, Mey. Siapa yang nyuruh lo pakai baju kayak gini? Udah kayak orang kantoran aja," cibir Mona.
"Bisa diem nggak!" Meira yang baru duduk tak sampai lima menit kembali beranjak, ia tampak marah menatap Mona. "Mau gue pakai baju apa kek, itu semua urusan gue. Jangan banyak komentar!" Sungguh, Meira bisa semarah itu, tanpa menunggu lebih lama ia meninggalkan teman-temannya.
"Meira kenapa, sih? Kok dia bisa sampai semarah itu sama gue?" Mona tampak syok dibentak oleh Meira, ia menatap Tania yang duduk di sebelahnya serta Selly di sebrangnya.
"Iya, gue juga kaget kenapa Mey bisa kayak tadi, masalahnya apa coba? Kan cuma komentarin pakaian dia, nggak ngerti gue." Tania juga kebingungan.
"Kayak bukan Meira juga sih, kayaknya dia lagi ada masalah sampai refleks nyemprot Mona," ujar Selly, "gue telepon dia coba, mana tahu dia emang lagi ada masalah yang bikin emosinya nggak stabil." Selly menempelkan ponselnya ke telinga kanan, tapi tak ada jawaban dari Meira, Selly mengedik bahu seraya meletakan ponselnya ke meja. "Zonk, Meira nggak angkat telepon gue. Fix dia lagi ada masalah."
"Maklumin aja, Mon. Mungkin omongan Selly ada benernya," tutur Tania seraya merangkul bahu Mona, "sabarin aja, nanti pasti dia balik lagi dan minta maaf ke elo."
"Gue sih enggak masalah juga, cuma harusnya Mey enggak sekasar itu. Kenapa dia nggak cerita masalahnya ke kita coba?" Tania serta Selly sama-sama mengedik bahu menanggapi perkataan Mona.
Meira sendiri tengah tergesa menyusuri koridor yang cukup panjang, biasanya orang-orang akan menatapnya seraya mencibir—khususnya kaum hawa—oleh gaya pakaian Mey yang terbuka, tapi kali ini mereka lebih banyak diam ketika Meira mengenakan pakaian panjang seperti keinginan Riska. Nyatanya, beberapa orang tetap saja mencibir sebab merasa perubahan dalam diri Meira pasti takkan berlangsung lama, mungkin saja hanya sebuah gimmick untuk memperbaiki image negatif tentang Meira di mata banyak orang.
Langkah Meira terhenti setelah ia tiba di fakultas tempat Riska bernaung, setelah diingat-ingat Meira tak tahu di mana kelas Riska berada, selama ini beberapa kali mereka bertemu hanya di depan ruang perkumpulan anak-anak Mapala.
Meira mendesah, ia perlu ekstra tenaga dan pikiran lagi agar menemukan keberadaan laki-laki itu. Namun, pucuk dicinta, ulam pun tiba. Pertanyaan sederhana, mengapa Haikal selalu datang di waktu yang tepat?
Senyum Meira merekah sempurna menemukan Haikal yang melangkah sendirian di koridor, Mey melangkah penuh semangat menghampiri Haikal yang refleks tertegun menyadari datangnya Meira, anggap saja cahaya terang mengelilingi tubuh Meira seperti sosok malaikat yang tersenyum ke arahnya dan terjadi sekarang. Haikal sampai menggeleng tak percaya, halusinasinya terlalu jauh.
"Astaga, Tuhan," gumam Haikal berbunga-bunga.
"Hai, Kal," sapa Meira setibanya di depan mahasiswa tersebut, "apa kabar? Udah berapa hari ya kita enggak ketemu." Meira tampak ramah, sikapnya kontradiksi saat bertemu teman-temannya di kantin tadi. Kalau yang satu ini barulah gimmick.
"Ha-hai, Meira. Gue baik-baik aja kok, sehat banget malah. Lo sendiri gimana?" Haikal penuh semangat menanggapi perkataan Meira.
"Gue lagi enggak baik-baik aja sih hari ini, gue bisa minta tolong enggak?" Wajahnya berubah memelas, puppy eyes terpampang jelas, siapa pun akan iba melihat Meira yang seperti itu.
"Bisa kok, Mey! Bisa banget, minta bantuan apa emang? Gue bakal lakukan semampunya."
"Gue cuma mau tanya aja kok, kelasnya Riska yang mana, ya?" Meira menyentuh lengan kanan Haikal disertai rupa penuh harap.
"Kel-kelas, Riska, ya? Ad-ada di sebelah sana, Mey. Ada dosennya di dalam, baru mulai kayaknya." Haikal menunjuk ke arah koridor.
"Yang sebelah mana?"
"Di sebelah loker, sebelah kirinya."
"Oke, makasih ya udah kasih tahu gue, lo emang baik banget. Gemes deh." Lagi-lagi Meira mencubit pelan pipi Haikal, ia juga pernah melakukannya tempo hari, setidaknya hal sederhana tersebut sudah cukup membuat Haikal senang sampai ingin terbang. Meira pun menyingkir dari hadapan Haikal, kini benak gadis itu terasa lebih tenang sebab tak perlu membuang tenaga dan waktu untuk mencari kelas Riska.
Meira mengikuti petunjuk Haikal, kelas di sisi kiri lorong memang tertutup rapat, alhasil Meira mengalah dan memutuskan duduk pada kursi besi panjang bercat putih di depan kelas tersebut, sendirian.
Sejam lebih ia duduk di sana tanpa memedulikan orang-orang yang melewatinya, pasti mereka semua heran mengapa Meira sampai berada di fakultas tersebut, padahal posisi fakultasnya dengan fakultas Riska cukup jauh.
Meira sibuk dengan urusan ponsel, ia tengah menscroll beberapa gambar model kemeja panjang dari toko online langganannya. Tiba-tiba saja Meira ingin membeli semua, ia sampai tak menyadari jika pintu di sebelah kirinya sudah terbuka oleh dosen yang kini menyingkir jauh—diikuti beberapa mahasiswa keluar dari kelas tersebut.
"Wah, ada Meira di sini." Suara tersebut membuyarkan fokus Meira dari layar ponsel, ia baru menyadari jika kelas Riska sudah berakhir. Meira lantas beranjak menatap Saka dan beberapa teman Riska yang tak asing lagi baginya. "Cari Riska, ya?"
"Iya, Riska mana?" Meira menatap sekitar. "Kok nggak sama kalian?"
"Masih di dalam, tadi lagi ngobrol sama Nadira," tutur Tama.
Meira mengernyit. "Ngobrol sama cewek lain? Berdua aja di kelas gitu?" Awan kelabu kembali menyelimuti wajah Meira, ia menerobos keempat teman Riska begitu saja dan masuk kelas asing yang baru pertama kali dipijakinya.
"Wah, pasti seru nih. Ada jambak-jambakan nggak, ya?" Angga angkat bicara.
"Mari kita lihat ke TKP," sahut Tirta, tapi mereka tak masuk ke kelas—melainkan menatap keadaan di dalam lewat jendela kaca.
"Gue nungguin elo satu jam lebih di depan, terus yang gue dapatkan pemandangan kayak gini, Riska?" Meira meradang, ia berdiri di dekat meja dosen seraya bersidekap. "Sia-sia dong gue buang waktu." Meira yang kesal meraih penghapus whiteboard dari permukaan meja dosen dan melemparkannya begitu saja hingga menyentuh lengan Nadira yang duduk di meja—tengah berbicara dengan Riska, posisi Riska berada di kursi—sisi kiri Nadira berada.
"Aduh!" pekik Nadira merasakan sentuhan penghapus white board tadi, ia menatap ke arah Meira yang justru tersenyum miring seolah puas dengan hasil kerjanya. Nadira beranjak menghampiri gadis itu. "Maksud lo apa lempar-lempar gue kayak tadi! Lo ngapain sampai ada di kelas ini, nggak cocok buat cewek kayak lo. Atau lagi cari mangsa?" cecar Nadira bertubi-tubi.
"Emang gue cewek yang kayak gimana?" Meira enggan mengalah, ia mengangkat dagu menegaskan kepongahannya pada Nadira.
"Satu kampus juga tahu siapa elo, perlu gue tempel cover majalah yang ada foto lo pakai lingerie itu di mading, hah?"
Meira berdecih, ia menyugar rambutnya ke belakang. "Ya ampun, nanti anak kampus yang nggak tahu gue malah jadi tahu dong, tenar nanti gue. Viral terus dipanggil jadi model Victoria Secret, gimana? Lo kan yang bakal rugi." Pintar juga ia menyanggah perkataan Nadira, ia menatap Nadira dari ujung kaki hingga kepala. "Bangga banget lo kayak gini ke gue?"
"Nadira, udah." Riska angkat bicara, ia sudah memasukan semua bukunya ke ransel yang kini digendongnya, Riska menghampiri mereka.
"Tapi, Ka. Dia itu udah keterlaluan banget, masa dia ngece gue seenaknya," adu Nadira begitu manja, Meira yang mendengarnya memperlihatkan ekspresi dan gerakan hendak muntah, teman-teman Riska di luar kelas terkekeh melihat sikap Meira.
"Lo keluar aja, dia ada urusan sama gue," tutur Riska, Nadira yang mendengarnya pun mengalah untuk keluar seraya menatap Meira penuh dendam. Kini Riska sudah berdiri tepat di depan Meira. "Gue nggak nyuruh lo ke sini, jadi ngapain di sini? Ngapain nunggu?" Suaranya terdengar dingin.
"Gue cuma mau tahu kenapa lo marah ke gue, apa karena gue tanya soal Reifan tadi? Kan gue udah minta maaf berkali-kali, masa enggak dimaafin," protes Meira, wajahnya kembali muram.
"Yang lain."
"Yang lain? Ada kesalahan gue yang lain? Kalau gitu kasih tahu biar gue ngerti, biar gue nggak perlu lagi samperin elo sampai ke sini, nggak nyaman kan lo."
Riska mendengkus, ia menatap intens eboni Meira. "Jangan sampai gue berantem sama orang-orang kayak tadi cuma karena lo dikejar-kejar cowok yang gagal move on, jadi jangan kencan-kencanan lagi sama siapa pun."
"Kencan? Iya, gue udah enggak ada blind date lagi kok sejak ...." Meira menggigit bibirnya.
"Sejak?"
"Sejak ada lo, everything is colorfull."
"Ada lagi."
"Lagi?" Meira mendesah, memang sebanyak apa kesalahannya pada Riska pagi ini?
"Jangan suka marah-marah sama orang lain, apalagi sampai lempar penghapus kayak tadi. Nanti imbasnya kena lo juga, senang ya dibenci banyak orang?"
Meira menggeleng, tiba-tiba ia menyilangkan sepasang tangannya di dada dan menyentuh masing-masing telinga, ia juga mengangkat salah satu kaki seperti anak sekolah yang dihukum oleh gurunya di depan kelas. Ekspresi Meira tampak berbeda, sayu kala menatap Riska yang justru tertegun menanggapi tingkah makhluk tersebut.
"Maafin gue, ya. Jangan marah lagi kayak tadi, gue nggak suka ditinggalin gitu aja, gue orangnya nekat kalau udah menginginkan sesuatu. Riska mau kan maafin gue?"
***