Siang ini Meira melakukan photoshoot di area out door dengan memakai dress hitam berbagai model, ia sudah berganti sekitar tiga dress, kini Meira beristirahat di bawah meja berpayung seraya melihat model lain melakukan tugasnya di depan kamera milik Axel. Peppermint tea dingin terhidang di meja bersama sebuah box berisi alat make up, tas Meira dan ponselnya.
Metta tengah menyisir rambut Meira, ada sesuatu yang telah ia perhatikan sejak Mey datang ke lokasi pemotretan hingga detik ini, perbedaannya cukup terlihat di mata Metta. "Mey?"
"Hm." Meira menyeruput peppermint tea miliknya.
"Ada masalah?" Metta seperti bisa membaca isi pikiran Mey, atau mungkin menafsirkannya lewat ekspresi wajah? Apa Metta pernah belajar pada pakar ekspresi sebelum menjadi penata rias model?
"Nggak, masalah apa." Entah mengapa dengan siapa pun gadis itu diajak bicara setibanya di lokasi—pasti Mey selalu menjawab ogah-ogahan seolah ia malas membuka mulutnya untuk menimpali siapa pun.
"Ya, gue nggak tahu. Tapi, gue perhatiin sejak lo datang ke sini kok agak suram gitu, mendung-mendung kayak mau hujan itu muka," terka Metta.
Udah hujan dari tadi. Meira mendesah, "Nggak kok, biasa aja."
"Serius? Cowok lo nggak datang ke sini? Gue belum lihat dia, Mey. Kan waktu itu datang ke studio, siapa tahu sekarang datang lagi."
"Nggak datang, gue udah putus ama dia," aku Mey tanpa canggung, ia meraih ponsel dan membuka aplikasi whatsapp, konyol sekali ia berharap jika Riska akan menghubunginya. Mimpi apa Meira semalam? Ia harus secepatnya menyadarkan diri kalau Riska adalah sesuatu yang tidak mungkin, Riska adalah mustahil. "Lo punya pacar nggak?" Sekian lama Metta mendandani Meira, tapi baru kali ini ia mendengar Meira menanyakan hal seperti itu.
"Punya, sebentar lagi mau nikah malah." Metta tersenyum.
"Nikah, ya." Meira merasa sesak, ia menatap pantulan wajahnya lewat kamera ponsel, melihat jelas wajah cantik tersebut. Awalnya Mey memaksa senyum, tapi kamera juga memperlihatkan jika senyum yang dipaksa takkan bertahan lama, otot bisa kaku jika berkelanjutan. Untungnya meski suasana hati Meira sedang kelabu siang ini, ia masih bisa bekerja penuh totalitas, berpose sebaik mungkin di depan kamera tanpa meninggalkan kesan anggun nan menggoda dalam dirinya.
"Iya, nikah. Gue pasti undang elo kok biarpun acaranya bakal di kampung halaman, berbagi kebahagiaan itu wajib," ujar Metta, urusan menyisir rambut Meira telah selesai, ia meletakan sisir pada kotak make up yang terbuka dan beralih menyentuh japit rambut warna hitam dengan beberapa mutiara menempel di atasnya, ia sematkan di tepian kepala si model. "Semua orang dilahirkan memiliki pasangan, Mey. Jadi, sekarang buang jauh kesedihan lo, nanti pasti bakal ketemu orang yang tepat, mungkin bukan mantan lo, tapi siapa pun nanti pasti yang terbaik. Jadi, keep strong, Meira!"
Gue nggak ngerti, kenapa gue harus bilang cinta di saat semuanya harus berakhir, kenapa sih kebodohan gue nggak ada habisnya. Ketika gue belajar buat tahu diri, ada aja yang bikin gue merasa lemah.
***
"One, two, three!" seru Saka sebelum merayap di permukaan climbing wall alias tebing buatan yang tingginya sekitar sepuluh sampai dua belas meter, ia menapak beberapa bebatuan yang bisa dipijakinya, tangan serta kaki terus menyentuh batu dengan gerakan cepat dan enerjik. Tak sampai lima menit Saka berhasil turun setelah mencapai puncak, kernmantle rope yang membelit tubuhnya membawa Saka dengan cepat turun ke bawah. "Sekarang giliran elo, Ka," ucap Saka seraya melepas hardness dan kernmantle rope dari tubuhnya, ia dibantu pemandu tempat tersebut.
Sayangnya, suara Saka seperti tak didengar Riska, temannya itu hanya diam berkacak pinggang seraya melamunkan entah apa, yang jelas Riska tidak fokus saat ini. Saka menggeleng memperhatikan Riska, entah sudah berapa kali ia menegur sahabatnya hari ini, entah di kelas, ruang Mapala atau di mana pun itu Riska terlalu banyak melamun. Padahal, biasanya laki-laki itu selalu fokus di setiap kondisi.
"Riska, otak lo lagi digadein, ya? Ke siapa? Angga apa Tama?" terka Saka yang lagi-lagi suaranya tak dipedulikan, alat safety yang sempat terpasang ditubuhnya kini sudah terlepas semua, ia menepuk bahu Riska—menyadarkannya dari lamunan panjang. "Lo kenapa, sih, Ka? Mikirin apa?"
"Nggak ada." Jawaban sama yang selalu terlontar dari bibir Riska ketika teman-temannya bertanya mengapa ia terus saja melamun.
"Nggak ada terus lo jawabnya, gue yakin pasti ada. Lo jarang banget nggak konsentrasi kayak gini, Ka. Coba lo cerita, kalau nggak mau Tama, Tirta sama Angga dengar—lo bisa cerita ke gue aja." Saka berusaha bernegosiasi, ia merangkul bahu temannya seraya melihat tiga sahabat lain tengah bersenda gurau duduk di sofa tak jauh dari posisi keduanya berada, mereka tengah beristirahat setelah melakoni climbing wall lebih dulu.
"Nggak ada."
Saka berdecak, apa Riska tak memiliki kosa kata lain untuk diucapkan? Ia sudah sangat bosan mendengar jawaban yang sama. "Gue lama-lama jadi pengin nabok elo kalau jawabnya kayak gitu terus, Ka."
"Gue mau pulang." Tiba-tiba saja Riska berubah pikiran, ia bahkan belum menyentuh dinding tebing di depannya sejak datang, semua serba terbalik ketika pagi hari Riska sendiri yang merencanakan agenda siang ini dengan matang, tapi ketika waktunya tiba malah ogah-ogahan.
Why?
"Lho, kok pulang sih? Elo belum cobain, hey!" Suara Saka yang cukup keras membuat ketiga teman lain beranjak menghampiri mereka, Riska meluruhkan tangan Saka darinya dan meminta pemandu membantunya melepas perlengkapan safety, ia hanya tinggal memanjat, tapi malah menggugurkan semuanya dalam sekejap.
"Ada apa nih?" tanya Angga setibanya di depan Riska dan Saka.
"Nggak paham juga gue, tapi si Riska mau pulang katanya," sahut Saka seraya berkacak pinggang memperhatikan Riska yang sibuk melepas tali.
"Pulang? Kok pulang?" Tama terheran-heran.
"Ada urgent, Ka?" tanya Tirta.
"Nggak ada, gue cuma mau pulang. Sorry ya, kalian lanjutin aja," sahut Riska sebelum menepuk satu per satu pundak temannya sebagai salam perpisahan, ia menghampiri ranselnya yang tergeletak di sofa lebih dulu sebelum benar-benar pergi dari sana—meninggalkan banyak keganjilan untuk teman-temannya.
***
Ia menemukan beberapa tumpuk majalah tergeletak pada permukaan nakas di bawah televisi, ternyata setelah dilihat-lihat sebuah majalah dewasa dengan cover wajah Meira, ia meraih salah satunya dan kembali duduk di sofa. Kini dibukanya ransel sebelum mengeluarkan sebuah spidol hitam permanen, ditariknya penutup spidol menggunakan mulut hingga terlepas.
Tangannya mulai melukiskan sesuatu pada cover majalah tersebut, dalam tampilan cover memperlihatkan sosok Meira yang begitu seksi dengan ekspresi sensualnya, siapa pun akan tergoda melihat gambar tersebut. Meira mengenakan lingerie hitam yang membuat mata jahat siapa pun pasti tertuju padanya.
Tangan yang masih menggoreskan spidol rupanya membentuk sebuah pola pakaian, apalagi posisi Meira dalam cover tengah berdiri, jadi ia lebih mudah memosisikan gambar yang pas dari spidolnya. Kini tubuh Meira tak terlihat mengenakan lingeri—melainkan dress hitam dari warna spidol permanen tersebut.
Sang pelukis tersenyum miring, tapi begitu suara kenop pintu terdengar—kegugupannya menghampiri, ia refleks menjatuhkan majalah tersebut pada permadani di dekat meja. Ia tak sempat meraihnya sebab si pemilik rumah telanjur masuk dan melihat sosok manusia yang membuatnya mendelik kaget.
"Lo! Lo ngapain di sini?" Meira benar-benar kaget saat ia menemukan Riska sudah berada di apartemennya sore ini.
Riska menelan ludah, tapi dalam beberapa detik saja sikapnya kembali normal dan ia beranjak menghampiri Meira yang masih berdiri di dekat pintu. "Kenapa belum ganti juga kode masuknya? Kalau lo nggak ganti udah jelas gue bisa masuk ke sini," elaknya mengalihkan pembicaraan.
"Riska, gue udah bilang kalau lo nggak perlu repot-repot lagi, nanti lo capek sendiri ngurusin gue. Pintunya Luna bukan ini." Mey sampai menunjuk pintu di belakangnya. "Bukan tempat ini, jadi mending lo sekarang pergi, gue nggak mau ya dikira saudara paling jahat di dunia." Ia menyingkir dari hadapan Riska, tapi tangan laki-laki itu lebih cepat menariknya hingga Mey refleks mundur dan berakhir terduduk di pangkuan seseorang, Meira mendelik saat ia menoleh menemukan Riska memangkunya. Tatkala Mey hendak beranjak, Riska menahan dengan cara mendekapnya dari belakang—bahkan mengunci pergerakan tangannya di masing-masing sisi agar Meira tak bisa memberontak. "Riska! Lo ngapain!"
"Kita buat surat perjanjian."
"Buat apa! Lepasin gue, Riska!" Semakin Meira bergerak, semakin erat pelukan Riska, rupanya laki-laki itu bisa sangat menjengkelkan dan menguras emosi.
"Buat atau tetap begini," desak Riska memberi pilihan.
"Oke, iya kita buat surat perjanjian."
Riska tersenyum dan melepas pelukannya, ia biarkan Meira turun dari pangkuan—beralih ke permukaan sofa di sampingnya. Riska meraih ransel, ia merobek sebuah kertas dari buku dan mengeluarkan spidol permanen tadi serta sebuah cutter, entah untuk apa benda terakhir nan mengerikan itu. Riska mulai menuliskan sesuatu pada kertas polos di pangkuannya.
"Nama panjang lo siapa?" tanya Riska.
"Meira Aurora."
"Pinjem tangannya coba."
"Buat?"
"Lihat ke belakang selama sepuluh detik," pinta Riska, saat Meira mengikuti perintahnya ia meraih telempap kiri gadis itu dan menggoreskan ujung cutter pada ujung jari kelingking Mey yang refleks membuat gadis itu mengerang pedih akibat dilukai.
"Lo mau matiin gue?" Ia menarik tangannya, tapi Riska tak membiarkan, ia meneteskan darah Meira pada permukaan kertas tepat di bawah namanya. "Kok cuma darah gue aja? Kenapa punya lo enggak?"
"Nggak perlu, yang buat janji ini gue, pasti bakal ditepati, darah lo buat jadi saksinya aja." Riska memberikan kertas tersebut pada Meira dan membiarkannya membaca dalam hati.
"Kenapa gue harus percaya sama lo?" tanya Meira setelah membaca isi kertas tersebut, "gue nggak ngerti lo laki-laki yang gimana, Riska."
"Gue juga nggak ngerti lo perempuan yang gimana, tapi gue rasa untuk mengenal lo lebih jauh—mendengar omongan orang-orang bukan sesuatu yang benar, lo mengizinkan?"
"Buat?"
"Gue menjelajahi kehidupan lo."
***
—Surat Perjanjian—
Gue, Riska Prakasa. Secara sadar dan tanpa paksaan telah menulis surat ini, dan menyatakan bahwa gue akan pergi dari Jakarta dan meninggalkan Meira kalau dia enggak percaya lagi sama gue.
Disetujui oleh,
Riska Prakasa
Meira Aurora.
***