"Riska!" Saka lari pontang-panting menyusuri lorong kampus hingga tiba di depan kelas tempat Riska serta ketiga temannya tengah bercengkrama—membahas agenda climbing wall untuk siang nanti. Saka terlihat terengah-engah setibanya berhenti di depan orang yang ia cari, berlari seperti mengejar maling memang melelahkan.
"Kenapa lo? Habis lihat Kunti?" terka Tirta asal.
"Lebih horor. Riska mana Riska."
"Ini Riska ya elah, udah di depan mata segede itu emang nggak kelihatan," celetuk Angga seraya mendorong Riska hingga berserobok dengan Saka, untung keduanya bisa menata keseimbangan dan tak berakhir jatuh.
"Ada apaan sih, kok Riska doang yang dicari." Kali ini Tama angkat bicara.
"Gawat, Ris! Sumpah gawat." Saka memulai prolog, tapi ia sudah sangat menggebu. "Tadi, gue lihat Meira ditarik sama Rayi, kayaknya dia dipaksa sama itu makhluk satu, soalnya Mey kelihatan pengin lepas aja."
"Di mana?" Riska akhirnya membuka suara.
"Ke gedung timur."
"Wah, di situ kan gedung baru semua yang udah selesai dibangun," seloroh Angga, "beneran gawat, si Rayi mau ngapain, Ka?"
Tanpa menunggu temannya berkomentar lebih banyak Riska berlari meninggalkan keempatnya, entah mengapa rasa takut langsung menyelinap tanpa permisi, tanpa pemilik raga tahu mengapa ia harus sepanik itu. Kini bukan lagi Saka yang berlari tunggang-langgang, tapi berganti Riska di pagi yang membuat suhu tubuhnya meningkat, harusnya ia melakukan hal semacam itu di jalan dan bukan di koridor kampus yang panjang.
Riska tiba di gedung timur, hampir semua kelas di sana masih baru dan belum beroperasi seperti kelas lain, bahkan belum dipasang cctv di dalamnya. Riska semakin ketar-ketir saat ia menatap sekitar dalam atmosfer yang sunyi nan panas—hanya baginya saja.
Riska mencoba berpikir tenang, ia melambatkan langkahnya seraya menajamkan telinga, hampir semua ruang kelas tertutup rapat.
"Come on, Meira. Ini gampang banget, gue cuma mau lihat semuanya. Lagian nggak mungkin kita main di sini, nanti ada yang lihat lagi." Mendengar suara itu membuat sepasang tangan Riska terkepal disertai alis yang bertaut, kini rasa cemas berganti amarah yang mulai merambat di sekujur tubuh.
Riska menghampiri asal suara berada, ia mengintip dulu lewat jendela kaca yang berjejer di depan kelas sebelum mendelik menemukan Meira tengah menunduk sesenggukan seraya mengangkat pakaiannya di depan Rayi.
"STOP!!!" suara Riska lantang terdengar, ia membuka pintu, tapi rupanya Rayi menahan dari dalam. Tetap saja amarah yang semakin menguasai Riska membuatnya lebih kuat dari Rayi di dalam sana, ia mendobrak sekuat tenaga hingga Rayi yang sempat menahan pintu dari dalam lantas terdorong ke belakang dan berakhir terjerembab ke lantai. Meira yang melihat semuanya langsung mundur—apalagi saat menemukan Riska yang memasuki ruang kelas dengan wajah merah padam, terlihat mengerikan.
Riska menatap tajam ke arah Rayi yang kini berdiri, ia berganti menatap Meira yang berlari ke sudut kelas di antara meja dan kursi sebelum bersembunyi di sana.
"Sejak kapan lo bisa ikut campur urusan orang, hm? Urusan kita cuma di lapangan basket aja," celetuk Rayi setelah ia berdiri, "gue sama Mey ada urusan, bukan hak lo juga ikut campur. Lagian dia udah setuju kok, jadi mending lo pergi dan jangan ikut campur urusan gue, Ka. Meira mau naked di depan mata gue." Rayi menyeringai penuh kelicikan. "Ayam kampus Universitas Malaka bakal membuktikan statusnya sebagai ... bitch!"
"Bangsat!" Seketika Riska menyerang, memukul wajah Rayi sebelum menarik kerah jaketnya dan berlanjut meninju bagian perut bertubi-tubi tanpa peduli rasa sakit yang tercipta, ia tak memberikan jeda bagi Rayi untuk menyerangnya. Ketika melihat wajah Rayi yang tak berdaya, Riska mengakhirinya dengan memukul lagi wajah Rayi serta menendang pinggang laki-laki itu hingga tersungkur ke lantai dan tak sadarkan diri.
Napas Riska tampak terengah setelah melakukan dua olahraga sekaligus pagi ini, marathon serta bela diri. Ia menatap Rayi sejenak sebelum menghampiri Meira, gadis itu berlutut di sudut ruangan—di belakang kursi kosong seraya melanjutkan tangisan.
"Hey." Riska mendekati Meira, ia berlutut di depan gadis itu sebelum mendapat dekapan erat diiringi rasa takut yang tersalur. "Nggak apa-apa." Suara Riska terdengar lirih, tangannya perlahan turut membalas pelukan Meira, ia mengusap pelan punggung perempuan itu.
"Gue takut banget, gue takut ...," lirih Meira seraya mengeratkan pelukannya, "Rayi, Rayi, dia punya video gue ganti baju di hapenya, Riska. Gue takut ...."
"Sst, udah ya jangan nangis lagi." Riska masih mengusap lembut punggung Meira sampai ia merasakan sesuatu yang aneh, cengkraman gadis itu sudah mengendur hingga tanggannya meluruh dengan cepat, saat Riska mengendurkan pelukannya dan menarik pelan Meira dari dekapan—ia mendapati gadis itu sudah tak sadarkan diri lagi. "Hey, bangun. Hey!" Sayangnya, tak ada pergerakan apa-apa, Riska menyandarkan tubuh Meira dengan hati-hati pada tembok di sana sebelum beranjak menghampiri Rayi lagi, ia rogoh semua saku celana dan menemukan ponsel laki-laki itu. Tanpa membuka video Riska langsung mengganti pengaturan ponsel Rayi dengan reset to factory agar semua data lenyap dan isi ponsel kembali seperti baru pertama dibeli alias kosong tanpa data apa pun, jadi Rayi tak bisa lagi mengakses video Meira.
Riska simpan lagi ponsel Rayi ke saku pemiliknya, ia beranjak dan memungut tas Meira yang tergeletak di lantai sebelum menghampiri pemiliknya. Riska memapah Meira ala bridal style keluar dari sana, sekarang tujuannya hanya ruang kesehatan.
***
"Dia nggak apa-apa, kan, Dok?" tanya Riska pada Dokter Friska yang baru saja mengecek kondisi Meira, laki-laki itu tetap berada di ruang kesehatan—bahkan begitu memperhatikan saat Dokter Friska melakukan tugasnya, cemas masih mengelilingi Riska saat ini.
Dokter Friska menggeleng. "Nggak apa-apa kok, cuma syok aja, sebentar lagi dia sadar. Saya permisi keluar, ya." Jawaban Riska mengangguk, dokter tersebut keluar dari sana dan membiarkan Riska berdua lagi dengan Meira. Jika diingat-ingat ia pernah melakukan hal yang sama—dulu saat awal-awal ia mengenal Meira.
Riska menarik kursi di dekat pintu ke sisi brankar tempat terbaringnya Meira, tampak ragu ia menyentuh puncak kepala perempuan itu dan turun ke kening. Gue nggak tahu lo perempuan yang gimana, semua masih abu-abu, apa semua yang diomongin orang-orang itu benar?
Riska menarik tangannya, ia duduk di kursi seraya mengeluarkan ponsel dari saku jaket.
(Di ruang kesehatan)
Ia baru saja membalas chat dari Saka yang menanyakan keberadaannya, saat Riska mengalihkan pandang dari layar ponsel—ia melihat Meira sudah menatapnya dalam diam, Mey sudah sadar sekarang.
"Tadi dokter bilang kalau lo cuma syok aja," tutur Riska seraya beranjak, Meira turut beranjak menggeser duduknya ke tepian brankar, kini mereka berhadapan—saling menatap dalam pemikiran masing-masing.
Tangan kanan Meira terangkat menyentuh ragu pipi kiri Riska sebelum benar-benar bertahan di sana, pemiliknya hanya diam membiarkan. "Makasih buat semua pertolongan yang lo kasih ke gue, mungkin lo ngelakuin ini karena gue ini pacar—yang sebenarnya nggak ada kejelasan, nggak ada rasa cinta atau sesuatu paling benar antara kita. Mungkin lo juga tahu siapa gue, saudara tiri Luna, dia pasti udah cerita sama lo, kan? Mungkin cara lo menjaga gue sama seperti cara lo menjaga saudara Luna, bukan cara menjaga pacar lo." Mata Meira tampak berkaca. "Being around you makes me feel like i have a hero. It's fun. But will it last long? I'm afraid with temporary status, i want more than this." Kali ini benar-benar meluruh dari sudut matanya, ia menurunkan tangan, turun dari brankar dan meraih tasnya yang tergeletak di permukaan laci kecil sisi brankar. Mey berdiri di belakang Riska, mereka saling memunggungi. "Menyakitkan saat gue menyadari fakta kalau Luna adalah saudara tiri gue, dan mengerikan saat gue harus memaksa semua ini pergi. Karena gue ... gue, gue mencintai pacar saudara tiri gue." Mey menggenggam erat sling tasnya sebelum melenggang keluar dari ruang kesehatan seraya menyeka air mata yang tumpah di wajah.
Meira berpapasan dengan teman-teman Riska di koridor, mereka bertanya-tanya mengapa wajah Meira tampak sesedih itu. Apa Riska melakukan sesuatu terhadapnya?
Riska sendiri duduk di tepi brankar seraya membungkuk meremas rambutnya, ia merasa gemas, entah dengan perempuan tadi atau kondisi yang dihadapinya.
"Woy, Bro! Lo ngapain si Mey, kok mukanya sedih gitu, kayak habis nangis," celetuk Tama yang pertama memasuki ruangan disusul teman-temannya seperti barisan bebek.
"Bahaya banget si Riska." Angga turut menyindir, senyum jahil menghiasi wajahnya.
"Tadi si Rayi gimana, Ka?" Saka bertanya, ia ikut duduk di samping Riska.
"Pasti udah terbang ke kayangan," seloroh Tirta yang menarik kursi di dekat brankar dan menghempas pantat di sana, sedangkan sisanya bersandar di tembok.
Riska mengangkat wajah menatap satu per satu temannya. "Dia ke mana?"
"Ya mana gue tahu," sahut keempatnya kompak, lalu terkekeh bersama, Riska berdecak tak mendapat kepastian. Ia beranjak keluar meninggalkan teman-temannya dalam kerumitan yang dipelihara sendiri.
***
"Lo di mana?" Berkali-kali Riska menghubungi nomor Meira, tapi baru sekarang gadis itu mengangkatnya, tadi Riska sempat berkeliling hampir di seluruh fakultas sekadar mencari keberadaan Meira, tapi ia tak menemukannya. Lantas ia menghampiri parkiran, dan mobil Meira sudah tak berada di sana.
"Jalan." Suaranya terdengar datar, seperti malas berbicara.
"Jalan mana? Gue mau ketemu sebentar."
"Nanti gue share location tempat gue berhenti." Meira yang mengakhiri panggilan itu, sepertinya dia benar-benar menghadapi sesuatu yang berbeda.
Riska mendapatkan chat berisi lokasi Meira berada, ia yang kebetulan masih berada di parkiran lanjut tancap gas menemui Meira.
Ada permainan tarik ulur yang kini berlangsung.
Meira menepikan mobilnya di sisi trotoar, ia bertahan duduk di sana seraya menunggu kehadiran Riska yang entah menginginkan apalagi. Mungkin Riska butuh kejelasan, bakal gue perjelas semuanya.
Sekitar lima belas menit Meira menunggu sampai laki-laki itu akhirnya tiba, memarkir motor di depan kap mobil Meira. Gadis itu turun dan duduk di kap mobil seraya bersidekap, Riska baru saja melepas helm sebelum menghampiri Meira.
"Nggak semua hal lo tahu," seloroh Riska dengan alis bertaut.
Mey tersenyum sengit. "Ya iyalah, kan gue bukan Tuhan."
"Kenapa bilang kayak tadi?" Laki-laki itu terdengar memprotes.
Meira beranjak dan berdiri di depan Riska, jarak mereka begitu dekat sampai desah napas saling membalas sebab Meira sedikit mendongak. "Karena gue melihat apa yang ada, gue merangkai semua alasannya. Lo itu sebel banget kan karena gue ancam lo soal video bareng Luna. Lo benci kan sama gue? Gue cuma menyimpulkan kalau tanggung jawab lo selama ini bukan karena cinta, lebih tepatnya itu nggak mungkin. Apalagi sekarang lo tahu kalau gue saudara tiri Luna, pasti makin merasa nggak enak, kan?"
"Nggak semua hal lo tahu!" Riska menekan lagi kalimat yang sempat ia ucap. "Lo nggak bisa menilai semua berdasarkan dari apa yang lo lihat."
"Terus harus dari sisi mana gue menilainya, Riska! Harus dari mana?" Mereka malah terlibat pertengkaran. "Masa gue mikir lo peduli sama gue karena lo cinta, gue masih waras buat mikir sejauh itu."
"Jadi, menurut lo—gue salah?" Riska merendahkan suaranya, tak sekeras tadi. "Apa yang gue lakukan semuanya salah?"
Meira menggeleng. "Enggak, lo orang baik. Malah terlalu baik, dan gue terlalu merepotkan. Jadi, gue perjelas aja sekarang, lo bisa pergi ke mana pun lo mau, gue nggak akan ngekang, lo mau make out sama siapa pun terserah. Jangan takut lagi sama ancaman gue, karena gue udah nggak pegang video itu, udah gue hapus—karena setiap kali gue buka galeri dan lihat video itu—gue sakit hati." Meira menunjuk dadanya, ia menggeleng. "Lo bukan lagi orang yang akan gue paksa, dan lo nggak punya kewajiban apa-apa. Paling krusial dari semuanya adalah kita putus, gue nggak mungkin menjalin hubungan sama pacar saudara tiri gue. Udah cukup orang-orang menilai gue bobrok, nanti apa lagi yang mereka tuduhkan kalau tahu gue tikung saudara tiri sendiri—meskipun gue memang mencintai lo—dari alam bawah sadar gue. Sekarang lo cuma halusinasi, bye." Meira mengakhirinya, ia memutar tubuh menghampiri mobil dan duduk di balik kemudi, dilihatnya sekali lagi laki-laki yang masih bertahan di posisinya tanpa mengatakan apa-apa.
Kini Meira melajukan mobilnya pergi dari sana seraya bernapas lega, harusnya memang seperti itu, tapi mengapa terasa cukup berat. Apa sebab Mey mengatakan cinta? Ia mengatakan cinta di akhir hubungannya.
***