"Mbak, gue mau tanya sesuatu sama lo." Meira baru keluar kamar, ia begitu rapi dengan setelan blouse serta rok hitam selutut, rambutnya dibiarkan tergerai indah.
Tadinya Trias sibuk mengepel lantai di depan kamar Meira, begitu majikannya bertanya ia menghentikan sejenak aktivitas tersebut. "Tanya apa, Mbak?"
"Ada dua orang yang tahu kode masuk tempat ini, yaitu lo dan satu lagi teman gue. Lo ada ngasih tahu kode apartemen gue ke orang lain nggak?" Mey sudah memikirkannya sejak ia berbenah di kamar, selain Riska hanyalah Trias yang tahu cara memasuki apartemennya kapan saja.
Trias bergeming, ia menerawang sejenak sebelum mengangguk. "Iya, Mbak. Kemarin waktu saya turun, saya ketemu sama orang di bawah, dia ngakunya saudara Mbak Mey dan pengin ketemu, katanya mau kasih surprise karena Mbak Mey ulang tahun."
"Ulang tahun?" Meira mengernyit. "Ulang tahun gue kan masih sebulan lagi, terus orangnya bilang apa lagi?"
"Ya saya kasih kode buat akses masuknya, Mbak. Kan biar surprise."
Seketika Meira berdecak seraya meraup wajah mendengar pengakuan Trias. "Tahu nggak Mbak apa yang sebenarnya terjadi tadi malam? Gue hampir mati ditusuk sama orang, untung aja teman gue yang tahu kode akses sini cepat datang dan selamatin gue, kalau enggak—gue semalam udah jadi mayat."
"ASTAGA!!!" Trias refleks melepaskan alat pel hingga jatuh ke lantai, ia terkejut bukan main. "Itu Mbak Mey nggak bohong, kan? Siapa yang mau bunuh Mbak Meira memangnya?"
Meira menggeleng. "Wajahnya ditutupin topeng, dan dia berhasil lolos setelah melukai teman gue. Ngomong-ngomong lo hafal muka orang yang ngaku-ngaku saudara gue apa enggak? Cewek atau cowok?"
"Cewek, Mbak. Kalau diingat-ingat lagi dia misterius juga, pakai baju serba hitam, kacamata, masker sama kerudung. Kayak orang mau ngelayat, saya percaya aja kalau dia saudara Mbak Mey, saya benar-benar minta maaf, Mbak." Kini Trias merasa sangat menyesal telah memberi sesuatu yang penting pada sembarang orang.
Meira mengangguk. "Lain kali jangan diulang ya, kalau ada sesuatu yang mencurigakan lagi langsung aja bilang ke gue. Pokoknya sekarang harus lebih hati-hati. Gue mau kuliah dulu."
"Hati-hati, Mbak Mey." Arah pandang Trias mengikuti ke mana Meira melangkah sebelum lenyap di balik pintu utama, sedangkan tepat setelah Meira menutup pintu—ia dikejutkan dengan kehadiran Luna yang sudah berdiri di sebelahnya seraya tersenyum tulus, Mey menelan ludah mendapati perempuan itu.
"Morning, Meira," sapa Luna riang gembira.
Namun, bukannya membalas sapaan Luna—justru Mey melewatinya dengan angkuh saat ia sengaja mengangkat dagu, tapi Luna sama sekali tak mundur. Ia justru mengekor di belakang Mey dan menyamai langkahnya, bahkan Luna ikut masuk ke dalam lift saat Meira lebih dulu masuk meskipun selama berada di dalam sana Meira sama sekali enggan meliriknya, ia bersidekap menatap lurus ke depan. Luna benar-benar terlihat seperti seorang anak yang mengikuti ibunya ke mana pun.
Setelah pintu lift terbuka otomatis di lantai utama, Luna kembali mengekori Mey menuju basement tempat mobilnya diparkir, lagi-lagi Meira tak acuh seakan ia melangkah sendirian. Ketika langkahnya terhenti di dekat pintu sisi kanan Meira menyerah dan memutar tubuh menatap Luna yang memperlihatkan sederet giginya seperti anak kecil, tampak lucu.
"Lo ada apa ngikutin gue terus dari tadi." Wajah Meira datar, bahkan tampak bosan.
"Aku pengin bicara sama kamu, Mey."
Meira menatap arloji di pergelangan tangan kirinya. "Gue kasih waktu lima menit, mulai dari sekarang."
"Eum, ya, aku." Luna tergugu, ia menarik napas panjang lebih dulu guna mempersiapkan mental untuk berbicara dengan Meira. "Mau gimana pun kita ini saudara, Mey. Seperti yang aku bilang semalam kalau aku senang punya kamu sebagai saudara, jadi aku harap hubungan kita bisa lebih akrab." Terselip asa yang besar dalam benak Luna.
"Akrab?" Meira berdecih, senyum menyepelekannya terbit. "Sayangnya gue enggak mau dekat sama orang yang nggak gue inginkan, jangan masuk ke circle kehidupan gue, Luna. Nanti lo nggak sanggup."
"Tapi, kenapa, Mey? Mama Ashila bilang kalau kamu sebenarnya baik—"
"Maksud lo gue kelihatan jahat gitu?" Mey mendelik tajam, Luna sontak menggeleng, rupanya ia salah menata dialognya.
"Gini aja, Mey. Apa pun yang kamu minta bakal aku kasih, asalkan kamu mau akrab sama aku, asal mau jadi saudara aku, Mey."
"Apa pun?" Mey menerawang, senyum kecilnya terbit. "Ini lo yang bilang sendiri, ya. Bukan gue yang minta, apa aja, kan?"
"Iya, Mey. Apa pun, aku janji."
"Oke, nanti gue bakal kasih tahu apa yang gue minta. Sekarang lo minggir dulu, gue mau berangkat kuliah." Meira membuka pintu sisi kanan dan duduk di balik kemudi, ia meluruhkan kaca seraya menyeringai pada Luna yang sudah menyingkir dari sisi mobil, saudara tirinya itu melambai saat kendaraan Meira melaju meninggalkan basement. "Apa tadi? Apa pun? Untung gue nggak bakal minta seluruh dunia, tapi gue jamin lo akan menyesal karena kasih gue permintaan itu, Luna," gumam Meira seraya menatap spion yang memperlihatkan posisi Luna tak jauh di belakangnya.
***
"Meira!" Baru saja perempuan itu memasuki area kampus bagian dalam—ia disambut dengan suara teriakan seseorang, Mey yang melangkah sendirian di antara loker-loker mahasiswa lantas menoleh, ia menemukan Rayi yang berlari menghampirinya dari arah pintu masuk.
"Apa."
"Ikut gue, yuk!" Tanpa izin Rayi menarik tangan Meira begitu saja, melangkah cukup cepat menyusuri koridor kampus sampai-sampai Meira kelimpungan mengimbangi langkah cepat Rayi, orang-orang tampak mencibir ketika keduanya lewat, tapi tetap saja Meira tak peduli.
"Ini mau ke mana sih main tarik aja!" kesal Meira, ia berusaha melepaskan genggam tangan Rayi dari pergelangannya, sebab mulai terasa sakit. Sayangnya, Rayi enggan memberi penjelasan dan tak mau melepaskan Meira sebelum sampai di tempat tujuan.
Entah apa itu, Rayi terus menarik Meira menuju fakultas lain, fakultas yang jaraknya cukup jauh dari kelas Meira pagi ini. Meira benar-benar ingin marah sebab ia menjadi tontonan orang-orang dengan praduga jika ia hendak melakukan sesuatu dengan Rayi di tempat sepi, pasalnya Rayi terkenal playboy seantero kampus. Meira jadi ingin meludah jika orang-orang terus menganggap ia memiliki hubungan dengan Rayi.
Mereka tiba di ruang kelas kosong, Rayi sengaja menutup pintu rapat dan bersandar di sana agar Meira tak mencoba pergi.
"Kenapa gue dibawa ke sini? Mau lo apa!" Mey bersidekap memperlihatkan kekesalan.
"Ada sesuatu yang mau gue tunjukan, Mey." Rayi tersenyum miring, ia mengeluarkan ponsel dari saku celana dan menunjukan sesuatu di depan mata Meira, yakni sebuah video berdurasi sekitar dua puluh detik yang memperlihatkan Meira tengah berganti pakaian di sebuah ruangan meski hanya separuh tubuh antara pusar hingga kepala. "Ini lo, kan?"
Meira mendelik tak percaya, siapa yang memasang kamera saat ia berganti pakaian? Jika dilihat-lihat area sekitar seperti berada di ruang wardrobe studio foto, padahal Meira sering berganti pakaian di tempat itu, ia ingat benar tak mungkin ada kamera di ruang ganti.
"Kasihin ke gue!" Meira hendak merebut ponsel Rayi, tapi laki-laki itu lebih cepat menghindar dan menyimpan ponselnya ke saku celana. "Lo sinting! Itu namanya pelecehan!"
"Pelecehan?" Rayi tertawa angkuh. "Pelecehan di sebelah mana sih, Meira? Bahkan tanpa ada video ini juga lo udah sering pamer badan lo di sampul majalah, dari ujung kaki sampai kepala semua hampir terbuka, kecuali dua bagian, nah gue dapat bagian yang atas." Ia bahkan bersiul seraya menatap penuh minat keseluruhan tubuh perempuan di depannya. "Jangan munafik, udah berapa banyak cowok yang main sama lo? Pasti mereka turn on berat, kan? Kayak gue setelah lihat video tadi."
Sepasang tangan Meira mengepal sempurna, ia menatap lekat manik Rayi, amarah mulai membakarnya perlahan. "Hapus video itu, atau lo bakalan terima akibatnya, gue bisa laporin lo ke polisi sekarang juga karena lo melakukan tindakan yang enggak menyenangkan. Lo mengusik privasi orang lain."
"Gue bisa hapus video itu sekarang, lagian belum gue sebar juga kok, tapi ada syaratnya Meira."
"Bajingan."
Rayi tertawa spontan mendengar umpatan Meira. "Gampang banget kok syaratnya, buka semua baju lo di depan gue, now." Rayi menekan kosa kata terakhirnya, ia menyeringai menatap amarah di wajah Meira.
"Jangan keterlaluan, ya!"
"Why? Gue nggak puas kalau cuma lihat di video, gue mau lihat bukti nyata terpampang di depan mata." Seringaian Rayi semakin mengerikan saja.
Meira yang semakin marah mendekat dan mengangkat telempap kanan bersiap menampar wajah orang gila di depannya, tapi tangan Rayi lebih cepat menahan. "No, no, no. Big no, gue kan kasih lo kesempatan. Nggak akan gue rekam, cuma gue aja yang bakal lihat, atau lo mau pilih gue sebar video itu, Meira?" Sederet alisnya terangkat, ia tersenyum menyepelekan. Kini diloloskannya tangan Meira sebelum perempuan itu menepis kasar dan mundur beberapa langkah, kedua pilihan yang Rayi bagi menjadi dilema bagi Meira, semuanya tetap membuatnya merugi. "Come on, Meira. Ini gampang banget, gue cuma mau lihat semuanya. Lagian nggak mungkin kita main di sini, nanti ada yang lihat lagi."
Andai Meira adalah bom, ia akan meledak sekarang juga dan menyeret Rayi ke dalamnya, biar saja laki-laki itu mati dan berdarah-darah bersamanya asalkan Meira puas.
Meira menelan ludah, entah ia harus bagaimana lagi sekarang. Ingin berteriak, tapi Rayi memegang kartu AS miliknya, Meira menunduk merasakan sesak di rongga dada. Kenapa semua orang senang sekali menyepelekannya? Pernahkah mereka semua berpikir tentang akibat yang ditimbulkan dari tekanan dan bullying?
Meira menjatuhkan tasnya ke lantai, ia tetap menunduk saat sepasang tangannya menyilang dan menyentuh bagian bawah blouse yang masuk ke roknya, perlahan dan pasti ia menarik blouse tersebut ke atas tanpa ingin menatap Rayi yang kini tersenyum sumringah, laki-laki itu merasa merdeka.
Bagian blouse yang semakin ditarik ke atas mulai memperlihatkan pusar Meira, tubuh polosnya membuat senyum penuh nafsu di wajah Rayi semakin lebar. Tanpa sadar perempuan itu menunduk sesenggukan, air matanya jatuh menyentuh selasar, ia ingin sekali menghilang dari keadaan gila di sana.
"STOP!!!"
***