Chereads / Hello, Riska / Chapter 22 - When you come back.

Chapter 22 - When you come back.

"Mbak, saya izin pulang, ya. Udah beres semua," ucap Trias yang berdiri di ambang pintu kamar Meira, "Mbak Mey yakin enggak mau ke dokter atau dipanggilin dokter?" Untuk kesekian kali Trias menanyakan hal yang sama, ia memiliki rasa cemas untuk majikannya. Bagaimana tidak, sejak Trias datang hingga ia hendak pulang lagi Meira sama sekali tak beranjak dari ranjang, gadis itu membaringkan tubuh dengan posisi menghadap ke kiri seraya memeluk guling dan dipeluk selimutnya. Lantas, suara isak tangis Mey terdengar, sesekali sesenggukan hingga Trias mengecek kamar berkali-kali sebab terlalu khawatir. Saat ditanya Mey hanya diam tanpa bahasa.

"Nggak," sahut Mey dengan suara yang serak dan tercekat, ia sudah menangis semalaman, tapi sampai pagi ini belum juga reda, Mey juga tak bisa tidur sebab bayang-bayang sesuatu nan rumit di kemudian hari terus mengitari kepalanya. Bayangkan saja bagaimana rupa wajah gadis itu sekarang, pasti sangat mengerikan sebab tak tidur semalam dan hanya sibuk menangis seorang diri.

Sebenarnya sejak Mey memutuskan kembali ke apartemen setelah meluapkan rasa kecewanya di bistro—Ashila datang, ia mengetuk pintu utama berkali-kali dan tetap tak dibuka, ia tak tahu jika putrinya berada di bawah meja ruang makan seraya melanjutkan isak tangis. Mengapa ia harus mengulang kebiasaan itu lagi meski orangtuanya sudah lama berpisah?

Bahkan Mey melempar begitu saja ponselnya di area dapur saat Ashila terus saja menghubungi, tadi Trias yang menemukannya tergeletak di lantai dapur, ia meletakannya lagi di dekat lampu tidur kamar Meira.

Baru hari ini saya lihat Mbak Meira sedihnya sampai seperti itu, batin Trias merasa terenyuh. "Ya udah, Mbak. Kalau ada apa-apa Mbak Mey bisa telepon saya," pesan Trias sebelum menutup pintu kamar dan melenggang pergi.

Hari ini Mey memutuskan untuk tidak berangkat ke kampus, ia tak ingin menunjukan wajah melankolisnya pada orang-orang, terlebih jika nanti ketiga sahabatnya bertanya. Mey ingin sendiri, masalah yang dihadapinya memang berat, tapi Mey tak ingin berbagi dengan siapa pun, sejak kecil ia terbiasa menikmati luka sendirian.

Menarik mundur waktu ke belakang ketika Meira masih SD, ia juga tak memiliki teman di sekolah, bukan karena teman-temannya membenci, tapi lebih pada Meira yang menjauhkan diri dari mereka. Anggap saja ia menutup lingkup sosialnya dari orang-orang, jadi menikmati luka sendiri seperti sesuatu yang sudah biasa ia lakoni.

Ada hari di mana sekolah mengadakan pentas seni, saat itu juga diadakan lomba fashion show kostum daerah di Indonesia, kebetulan Meira turut ambil bagian sebagai peserta sebab ia memiliki postur tubuh yang tinggi dan langsing disertai wajah cantik. Meira begitu bersemangat karena sang ibu yang tak pernah mengantarnya ke sekolah berjanji akan datang untuk melihat Meira melangkah di catwalk, tapi hingga tiba giliran Mey naik ternyata Ashila tetap tidak datang, hal itu membuat Mey marah dan tak mau naik ke panggung—padahal orang-orang sudah menebak jika Mey yang akan memenangkan lomba tersebut.

Mey berteman baik dengan kecewa, bahkan pil pahit masih menempel di kerongkongannya hingga hari ini. Untung saja ia bukan seorang pelawak yang harus bersikap sok ceria dan menghibur di depan banyak orang meskipun di belakang merasa hancur berkeping-keping.

Dering ponsel Meira terdengar, tak cukup hanya sekali, bahkan notifikasi chat juga semakin mengusik indra pendengarannya.

Ia bangkit dan menyingkap selimut, kini Meira duduk seraya meraih ponsel yang tergeletak di sisi lampu tidur, ada banyak chat masuk dari teman-temannya, kebanyakan mereka bertanya mengapa Meira belum muncul di kampus, ada juga panggilan masuk dari Ashila.

Dering ponsel kembali berbunyi, nama Tania tertera di sana, Meira pun mengangkatnya. "Hallo, Tan." Suaranya kentara serak, ia hanya berharap semoga siapa pun di sana tak berpikiran macam-macam akan kondisi memprihatinkan Meira sekarang.

"Lho, kok serak, Mey? Lo habis nangis?" tanya Tania.

"Ah ini, kemarin gue salah minum sesuatu, akhirnya batuk-batuk terus serak gini, Tan," elak Meira, jika Tania ada di depannya jelas ia ketahuan berbohong, wajah sembap nan layu akan menjadi alasan, untung ia memiliki alibi.

"Oh gitu, jadi lo nggak ke kampus, Mey?"

"Enggak, Tan. Maaf ya, bilangin juga sama anak-anak, mungkin nanti gue mau ke dokter." Ia masih melanjutkan kebohongannya.

"Mau kita-kita jenguk nggak, Mey? Kelas pagi cuma dua jam, nanti balik langsung ke apartemen lo."

"Nggak perlu, besok gue pasti udah berangkat lagi kok."

"Oke, see you, Mey. Get well soon, ya."

"Makasih, Tan." Panggilan berakhir, ia merasa lega meski harus berbohong. Meira menyandarkan punggung seraya menatap lurus ke depan, wajah tanpa ekspresi itu terlalu menakutkan, kantung mata yang besar serta sembap.

***

Hanya satu cup peppermint tea yang Meira konsumsi hari ini, minuman tersebut baru dibelinya setelah mandi sekitar pukul lima sore, tapi Mey tak turun ke bawah, ia memesannya secara online. Kaki terasa berat untuk melangkah keluar dari pintu utama, ia tak ingin melihat Ashila atau siapa pun di luar sana yang membuat cahaya di matanya semakin redup.

Meira duduk di sofa seraya menatap televisi yang menyala, hanya sebuah sinetron yang sedang booming, biasanya Mey jarang sekali menonton televisi.

Tiba-tiba terdengar suara ketukan dari arah pintu utama, tapi Mey tetap diam dan hanya meliriknya sekilas. Ia tak berminat membuka pintu untuk siapa pun sekarang.

"Meira, Meira. Ini Luna." Suara di luar sana membuat Mey menelan saliva, apa Ashila menjadikan Luna senjata agar Mey bisa luluh? Meira tersenyum miring, tapi benar-benar mengerikan karena wajahnya yang pucat.

Mey beranjak dan membukakan pintu untuk Luna, hal pertama yang menyambut adalah senyum tulus di wajah saudara tirinya, tapi Mey membalas keramahan Luna dengan tatapan tak suka.

"Ada apa ke sini, gue lagi enggak menerima tamu, jadi mending lo pulang aja daripada menelan kecewa," ucap Mey terdengar kasar.

"Eum, tadi mama minta—"

"Stop!" Meira bersidekap seraya mendengkus, ia menatap Luna dari ujung kaki hingga kepala. "Mama ya, sekarang lo anak nyokap gue. Jadi, kita saudara?" Mey menggeleng, ia menunjukan senyum menyepelekan. "Nggak perlu, dia buat lo aja enggak apa-apa, gue udah mulai terbiasa sendirian kok. Lo pasti butuh mama, kan? Jadi, semua buat lo aja."

"Mey, kamu dengerin aku dulu. Ini nggak seperti yang kamu lihat, Mama Ashila sayang banget sama kamu, Mey. Aku juga senang banget bisa punya saudara perempuan, dan itu kamu."

"Sayangnya, fakta yang gue punya nggak akan buat lo bahagia. Jadi, daripada nanti lo sakit hati menghadapi gue, mending balik ke tempat lo, gue lagi pengin sendiri." Mey sudah menutup pintu, tapi ia membukanya lagi. "Bilangin sama Nyonya Ashila kalau gue—Meira enggak perlu repot-repot dipikirin lagi, nanti capek." Pintu telah menutup sempurna, Luna hanya bisa menarik napas yang justru membuat dadanya terasa sesak, saat ia menoleh ke sisi kiri ternyata sudah ada Riska berdiri di depan pintu unit Luna seraya memasukan sepasang tangannya ke saku jaket.

Luna menghampiri kekasihnya seraya tersenyum. "Kamu udah pulang? Kapan?"

"Tadi siang." Riska menatap tote bag di tangan kanan Luna.

"Oh, ini buat Meira, tapi kayaknya dia lagi enggak mau diganggu. Ada yang mau aku bicarain sama kamu, ke dalam ya," ajak Luna sebelum merangkai kode untuk memasuki unitnya—diikuti Riska yang sempat menatap ke arah pintu unit milik Meira.

***

Sekitar pukul sebelas malam saat seluruh lampu di unit Meira telah padam, hanya lampu tidur yang menyala di kamarnya, mungkin sebab ia lelah menangis sejak kemarin malam berhasil membuat Mey bisa tidur nyenyak malam ini. Namun, di luar sana pintu utama terbuka setelah seseorang merangkai kode yang didapatkannya, ia masuk begitu saja dan menutup pintu.

Sepasang kakinya melangkah perlahan menyusuri tempat tersebut tanpa menyalakan lampu dan hanya berbekal senter dari ponsel, langkahnya terhenti di depan pintu kamar, tangannya terulur menyentuh kenop hingga derit pintu yang khas terdengar, tak sampai terbuka lebar pun tubuhnya berhasil masuk ke kamar Meira.

Cahaya minim dari lampu tidur cukup menyorot keberadaan Meira yang begitu nyaman dalam tidurnya, tapi sosok tamu tak diundang terlihat mengeluarkan sesuatu dari saku celana, sebuah pisau lipat. Langkahnya semakin dekat hingga tiba persis di samping ranjang Meira, tangannya terangkat bersiap menghunuskan ujung lancip pisau tersebut ke tubuh Meira—sebelum orang lain menyalakan lampu kamar dan berlari menendang si tamu tak diundang hingga tubuhnya terjerembab ke ranjang, Meira yang terusik lantas membuka mata dan mendelik menemukan Riska tengah berkelahi dengan sosok bertopeng di dalam kamarnya.

"Bangsat!" umpat sosok bertopeng yang tak berhasil melukai Meira, kini perhatiannya beralih pada Riska yang membuat rencananya gagal. Laki-laki tersebut sama sekali tak melawan, justru ia berlari menghampiri pintu kamar Meira, tapi Riska menarik lengannya sampai ujung pisau lipat tersebut menggores lengan kanan Riska cukup panjang, darah menetes di selasar. Riska yang kaget berhasil didorong si pelaku hingga tersungkur di lantai dan membuatnya berhasil melarikan diri.

"RISKA!!!" Meira bergerak cepat turun dari ranjang menghambur menghampiri Riska yang kini bangkit, goresan pisau tadi berhasil merobek lengan jaketnya hingga menyentuh kulit dan berakhir menjadi luka. "Ya ampun, lo luka." Kentara kecemasan di wajah Meira. "Sini, duduk dulu." Ia mengajak Riska duduk di tepi ranjang, gadis itu membuka laci nakas dan mengeluarkan alkohol swab serta kapas.

Riska melepaskan jaketnya, panjang goresan tersebut sekitar sepuluh centi. Mey kini duduk di samping Riska dan mengusap pelan darah menggunakan kapas agar bersih sebelum tersentuh alkohol swab, Riska sendiri hanya diam menatap Mey yang begitu sibuk, tak ada ekspresi kesakitan terlihat.

"Hey," ucap Riska, Meira refleks mendongak. "Ganti kode masuk apartemen lo besok."

***