"Mbak, pokoknya inget pesan gue ya kalau jangan terima barang apa pun dari mama, kalau emang terpaksa diterima langsung buang aja," ucap Meira mengulang kalimat yang sama untuk kesekian kali, ia baru saja merapikan penampilannya di depan cermin sebelum melenggang keluar kamar, sedangkan Trias tengah menyapu kamar Meira.
Gadis itu terlihat ceria pagi ini, pasti ada alasan di balik semua saat tangannya memutar kenop pintu hingga benda persegi panjang di depannya terbuka seketika rona merah muda di wajah Meira hilang, wanita yang sedari tadi dibicarakan dengan Trias ternyata sudah berdiri di depan unit sang putri.
"Ada apa pagi-pagi ke sini, aku mau kuliah," ucap Meira seraya bersidekap, ia enggan menatap sang ibu dan lebih senang memperhatikan lorong yang kosong.
"Mama mau ketemu kamu, boleh mama antar kamu ke kampus?" Ashila mengatakannya dengan lembut, terselip harapan besar dalam benaknya dari setiap permintaan yang terlontar.
Meira berdecih, ia tersenyum miring. "Aku bukan anak SD yang bisa diantar ke sekolah, lagian waktu aku SD juga Mama enggak pernah antar aku, kan? Mama sibuk sama kerjaan Mama sampai lupa anak sendiri, terus kenapa sekarang malah mau antar ke kampus? Jangan munafik, Ma." Meira melewati ambang pintu dan menutupnya rapat, ia menyingkir dari hadapan Ashila yang belum putus asa untuk mendekati anaknya sendiri, Ashila benar-benar kehilangan Meira. Raga gadis tersebut berada di depan mata, tapi ia tak mampu menyentuhnya.
"Mey, nanti kita makan siang bareng, ya," bujuk Ashila seraya menyamai langkah Meira, mereka lebih terlihat seperti kakak dan adik ketimbang ibu serta putrinya. Bagaimana tidak, usia Ashila juga baru menginjak 43 tahun saat putrinya sekarang hampir berulang tahun ke 21 sekitar sebulan lagi. Dulu, Ashila menikah muda dengan Sehan ketika usianya baru 22 tahun, saat itu Ashila masih kuliah. Lantas, di usia 23 Ashila melahirkan Meira kecil yang begitu cantik, sayangnya di usia Ashila yang masih terbilang muda ia keukeuh untuk bekerja sebab ingin merasakan memiliki uang dari hasil keringat sendiri meski Sehan memberi segalanya serba berkecukupan.
Lambat laun Ashila melupakan kewajiban terhadap sang putri sebab sibuk dalam dunia pekerjaannya sampai ia mulai bertengkar dengan Sehan hingga hampir setiap hari tak luput dari pertengkaran, ternyata ketukan palu hakim di meja hijau menjadi akhir bagi tali kasih pernikahan mereka. Sebabnya Meira semakin marah saat Ashila memutuskan untuk menikah lagi, bahkan dengan pria berkebangsaan Jerman, jika Meira harus mengulang tragedi tentang perebutan hak asuh anak—maka Meira lebih memilih ikut Sehan saja.
"Nggak bisa, aku sibuk," tutur Meira seraya menatap lurus ke depan.
"Mey—"
"Jangan paksa aku, Ma." Meira menekan dialognya, sepasang alis bertaut di sana setibanya ia di depan lift dan menatap Ashila. "Apa pun yang mau Mama lakukan terserah, tapi tolong jangan libatkan aku di dalamnya, kita udah berbeda. Mama udah bahagia kan sama suami baru Mama, jadi jangan urusin aku lagi, karena aku udah bisa berdiri di atas kaki sendiri," tandasnya sebelum menekan tombol di sisi lift dan membuat pintu terbuka, ia masuk ke sana seraya menatap datar wajah melankolis sang ibu hingga pintu yang tertutup rapat mengakhiri temu mereka pagi ini.
***
"Hari ini Riska mau hiking, kayaknya gue mau ketemu dia sebentar," gumam Meira seraya mengemudikan mobilnya dengan kecepatan sedang, ia tersenyum membayangkan sesuatu. Diraihnya ponsel dari hand bag di jok kiri, ia mencoba menghubungi Riska kali ini. Begitu tersambung senyum Meira semakin mekar saja. "Hey, lo ada di mana?"
"Basecamp, satu jam lagi mau ke bandara."
Meira membulatkan mata. "Secepat itu? Ini masih pagi, gue aja belum sampai di kampus."
"Biar kalau udah sampai di tempat langsung siap-siap mendaki, ada apa emang?"
"Gue ke basecamp boleh, ya?" Meira menggigit ujung kuku telunjuk kirinya, ia ketar-ketir sebab Riska akan berangkat sebentar lagi, sedangkan Meira ingin sekali menemuinya. "Please, gue pengin ketemu lo sebentar aja."
"Ya udah, lo udah tahu kan tempatnya." Panggilan berakhir, senyum Meira kembali terukir. Kini niatnya datang ke kampus ia urungkan, semangat untuk menemui Riska rupanya lebih besar ketimbang melihat teman-temannya di kampus, ternyata sebuah rasa bisa memutarbalikan segalanya.
Meira memacu kendaraannya lebih kencang, ia masih ingat alamat basecamp yang pernah didatanginya suatu malam saat hujan deras tiba, jika mengingat malam itu Meira menjadi kesal sendiri, apalagi membayangkan keakraban Luna terhadap teman-teman Riska, Luna sudah masuk dalam circle pertemanan Riska.
Setibanya di halaman basecamp Meira bergegas turun penuh semangat, ia bahkan tersenyum menatap ke-lima laki-laki yang duduk berjejeran di depan basecamp seraya menatapnya.
"Kayaknya gue udah mulai halusinasi, padahal kita belum berangkat ke Merbabu, konyol banget mata gue," celetuk Angga tanpa kedip menatap Meira, jarak mereka sekitar tiga meter.
"Itu bukannya model majalah itu, kan? Yang sering dibahas anak-anak, ngapain dia di sini?" Kali ini Tama yang bersuara, ia merasa aneh bisa melihat kehadiran Meira.
"Rezeki nomplok bisa lihat cewek cantik sebelum berangkat, jangan-jangan habis ini gue bakal mati," cerocos Saka.
"Dia nyari siapa ya ke sini." Tirta turut serta, Riska sendiri hanya diam menanggapi kedatangan Meira. Ia tak seheboh teman-temannya menanggapi munculnya perempuan itu, Riska pun beranjak ketimbang membiarkan Meira yang menghampiri. "Itu si Riska nyamperin Mey? Beneran si Riska?" Tirta terlihat tak percaya.
"Mereka ada hubungan apa, ya. Bukannya Riska punya cewek yang namanya Luna itu, kan," imbuh Tama.
"Hush! Biarin, urusan dia. Kita nonton aja," tutur Saka.
"Nah ya, kapan lagi lihat cewek cantik bikin seger mata pagi-pagi." Suara Angga mengakhiri obrolan mereka yang kini berfokus pada interaksi antara Riska dan Meira di dekat mobil.
"Ada apa pengin ketemu gue?" tanya Riska, akhir-akhir ini sikap laki-laki itu tak seketus biasanya, ia terlihat lebih santai menanggapi kehadiran Meira, ia menoleh menatap ke-empat temannya yang masih memperhatikan mereka.
"Ya, gue pengin lihat lo aja sebelum pergi, siapa tahu besok nggak bisa ketemu lagi karena lo diumpetin sama jin yang ada di Merbabu," selorohnya begitu mudah.
"Lo gila? Ya enggaklah," elak Riska, "lagian dengar hal kayak gitu dari mana, jangan keseringan baca cerita horor, nanti lo kebanyakan halusinasi."
"Gue baru nonton semalem kok di laptop, tapi kalau kisah nyata emangnya bisa dianggap bohong? Emangnya selama lo hiking enggak pernah mengalami hal mistis?" Apa yang ingin Meira tanyakan terlontar juga.
"Nggak, selama lo punya Tuhan ya jangan takut hal begituan. Jangan lagi nonton, nggak baik."
"Iya, iya."
"Ya udah sana pulang, udah ketemu kan."
"Jaket sama beanie yang gue kasih dibawa enggak?" Jawaban Riska yang mengangguk membuat Meira tersenyum sumringah. "Lo di sana berapa lama?"
"Sekitar tiga harian."
"Oke, gue bisa pergi sekarang, tapi boleh minta satu hal nggak?"
"Apa?"
"Peluk lo." Meira mengutarakannya begitu saja, tanpa penghalang dan tanpa pikir panjang, apa yang ia inginkan harus segera direalisasikan. Riska tertegun mendengarnya, ia tak menolak atau menjawabnya. Ketika Meira mendekat lebih dulu tubuh Riska tetap berada di posisinya, tak bergerak sama sekali. Kini perempuan itu berhasil menggamit tubuh Riska sesuai keinginannya, ia mendekap erat dan menyandarkan kepala di dada bidang Riska.
Laki-laki yang dipeluknya seperti tak memiliki daya melawan serta bicara, hanya embusan napas serta gerakan mata yang memperjelas kehidupannya. Dekapan Meira semakin erat saat nyaman membuatnya ingin bertahan lebih lama, ia tak pernah berpikir untuk melakukannya di jauh-jauh hari.
Nyamannya nggak beda sama seperti pas gue peluk punggungnya dari belakang waktu itu, terus sekarang bau parfum Riska bikin gue nggak mau ke mana-mana. Apa ini benar? Meira belum berniat melepas pelukannya, ia semakin hanyut di sana saat si pemilik tubuh tiba-tiba membatu. Ke-empat teman Riska mulai menerka-nerka tentang sesuatu yang mungkin terjadi antara Meira dan Riska, pasalnya selama ini mereka hanya tahu kalau Luna adalah kekasih Riska.
Perlahan Meira melepas pelukan itu, ia mengangkat wajah menatap Riska yang seperti menghindari kontak mata dengannya. Mey tersenyum simpul seraya berkata, "Maaf ya, pasti lo nggak nyaman." Riska tak menyahut, ia hanya menatap Mey sekilas. "Ya udah gue mau pergi, lo hati-hati di jalan, jangan lupa pulang." Meira melambai tangan sebelum memasuki mobilnya dan berlanjut memacu kendaraan tersebut membawa Mey benar-benar lesap dari penglihatan Riska.
Tubuh Riska sempat tertahan di sana sampai akhirnya ia mampu bergerak, tadi itu apa? Mengapa bisa kaku seperti mayat yang diawetkan dengan formalin? Apa Riska mulai gila?
Ia meraup wajah, kini tubuhnya benar-benar berfungsi dengan normal, mengapa sentuhan Meira membuat sekujur tubuhnya menegang hebat. Riska menyingkir menghampiri teman-temannya yang sudah menunjukan tanda-tanda siap membedah segala hal antara Riska serta Meira, tapi belum sempat salah satu di antara mereka berempat memberi pertanyaan Riska lebih dulu mengangkat telempap kiri sebagai tanda agar mereka diam, ia masuk basecamp dengan benak yang tak keruan.
Magic apa yang Meira miliki hingga hebatnya membuat Riska membeku seperti tadi.
***