Dari ujung kaki hingga kepala, semua tiada luput dari bola mata laki-laki yang baru saja Meira lewati. Iya sih, Mey itu seksi, cantik dan bisa disebut mendekati sempurna—jika saja isi kepalanya sudah benar. Nyatanya, tak pernah ada manusia yang sempurna di mata Tuhan, yang ada hanya bentuk dibuat paling sempurna di antara makhluk-makhluk lainnya. Mungkin Mey sudah masuk golongan salah satu mahasiswi sempurna alias most wanted girl di Universitas Malaka, tubuh bak model yang tinggi nan ramping serta dandanan ala-ala outfit Korea selalu melekat dalam diri Mey.
Kulitnya halus bak porcelain serta putih meski bukan keturunan putri salju, belum lagi polesan rangkai make up di wajah yang semakin menegaskan seperti apa tipikal perempuan idaman mahasiswa mata keranjang di Universitas Malaka.
"Mey, gue bisa booking elo, nggak?"
"Nanti malam free, kan? Jalan yuk!"
"Gue ada agency pemotretan yang bikin lo bisa makin tenar, Mey!"
"Mey, i love you!"
Telinga Mey nyaris pecah jika setiap hari mendengarkan obrolan tak berguna dari orang-orang yang ia anggap sinting, bagaimana tidak—saat ia sama sekali tak menyahut ucapan mereka, tapi tetap saja terus berbicara seolah rem blong usai gaspol.
Mey masih memiliki segudang urusan lebih penting ketimbang mendengarkan mulut-mulut sampah tadi berbicara, salah satunya mengakhiri mata kuliah hari ini dengan pergi ke tempat kongko bersama teman-temannya. Ia mudah mendapatkan uang, salah satunya sebab Mey adalah seorang model bikini dengan jam terbang tinggi, wajah serta lekuk tubuhnya seringkali muncul di majalah.
Beberapa pria sampai dibuat ngiler. Bahkan begitu banyak berita simpang-siur tentang dirinya dengan kadar mature yang cukup melonjak.
"Terserah elo, sampah," ucap Mey tatkala ia menyempatkan waktu menggubris cibiran beberapa mahasiswi di kampus. Ia dikenal sombong dan selektif terhadap pertemanan, tapi beberapa orang sah saja melakukan hal serupa—sebab tak semua orang bisa dipercaya.
"Habis ini kita mau shopping ke mana, Mey?" tanya Tania—teman Mey yang memiliki dandanan paling nyentrik di antara dua teman lainnya, mereka berempat baru saja tiba di parkiran.
"Ke mana aja asal bajunya nggak norak," sahut Selly—teman Mey yang paling pendek.
"Betul." Kali ini Mey serta Mona menyahut bersamaan sebelum keduanya memasuki mobil Mey, tapi ia biarkan Mona mengemudi. Sedangkan Selly serta Tania berada di mobil Selly.
"Ayo, jalan, Mon. Gue udah bosan di tempat ini, kecantikan paripurna gue bisa merusak mata-mata orang melarat di sini," tutur Mey begitu pongah.
"Okey, Darl." Penuh semangat Mona melajukan mobil merah Mey meninggalkan area parkir, hanya saja baru beberapa meter mobil melaju tiba-tiba Mona menginjak rem mendadak—sebab hampir saja menabrak motor yang baru memasuki area kampus, motor tadi pun sudah terguling ke kiri bersama pemiliknya akibat panik tak menyadari kehadiran mobil merah yang akan keluar melewati gerbang.
"ASTAGA, MONA!!!" pekik Mey panik, "cepat lo lihat gimana orangnya, mati enggak?"
"Sabar, sabar." Mona tak kalah syok, untung saja jantungnya masih bertahan di sarangnya, ia bergegas turun diikuti Selly serta Tania di belakangnya sebelum melongok keadaan seseorang yang kini berusaha bangkit meski terlihat kesakitan.
Laki-laki itu membiarkan motornya tetap terkapar, ia terlihat menyentuh lengan kanan seraya menatap satu per satu gadis di depannya.
"Lo nggak apa-apa, kan?" tanya Mona skeptis, ia tatap motor serta pemiliknya bergantian. "Kalau sakit atau perlu dirawat bilang aja, ya? Yang punya mobil bakal ganti rugi kok, tenang aja."
"Siapa yang punya mobil." Suara bernada dingin itu akhirnya terdengar, ia bahkan belum melepas helm dari kepalanya.
Mona bergegas menghampiri Mey yang masih duduk santai di mobil seolah tak peduli dengan urusan korban di depan mobilnya kini, gadis itu justru asyik berchatting ria tanpa beban.
"Mey! Mey!" Mona mengetuk kaca berkali-kali sampai Mey membuka pintu seraya berdecak.
"Apa, sih? Enggak mati kan orangnya?" Sungguh enteng ia berbicara.
"Ya enggak." Mona menggigit bibir. "Dia mau ketemu sama elo."
"Emangnya dia sultan dari mana sampai mau ketemu sama gue? Dasar, nggak guna!" Sayangnya, Mey mengalah dan tetap menemui laki-laki yang kini berdiri membelakangi seraya melepaskan helmnya. "Ada apa mau ketemu gue? Minta ganti rugi berapa?" tanya Mey begitu pongah, ia bersidekap di belakang laki-laki yang kini memutar tubuh sebelum ekspresi angkuh Mey berubah, mereka saling bergeming selama beberapa detik.
"Gue nggak butuh duit lo, mending operasi mata biar bisa lihat baik-baik," sarkas si laki-laki sebelum bersusah payah membuat motornya berdiri dan mendorong benda itu menjauhi geng rempong Mey.
Meira, diam tanpa kata.