Chereads / Hello, Riska / Chapter 2 - Hero.

Chapter 2 - Hero.

Sepasang kaki berbalutkan mules warna perak begitu cocok diselaraskan dengan dress yang Mey pakai pagi ini, lagipula perempuan itu jarang sekali mengenakan celana—terlebih saat melakukan photoshoot di hari yang sama usai jam kuliahnya berakhir. Mey baru saja turun dari mobil laki-laki yang sempat melakukan blind date dengannya semalam, hanya melakoni dinner romantis—menurut si laki-laki tentunya. Namun, beberapa orang yang melihat Mey selalu berprasangka buruk, mereka seringnya menerka jika Mey bisa sampai pada tahap heaving sex di hotel.

Ah ya, terserah.

Mey akan tetap jadi primadona kampus meski seribu cibiran bertubi-tubi menusuk indra pendengarannya. Perempuan itu memaksa senyum seraya melambai tangan pada mobil yang baru saja meninggalkannya di depan gerbang kampus. Ekspresi berbeda Mey perlihatkan usai mobil semakin menjauh, ia mengeluarkan hand sanitizer dari crossbody bag sebelum menyemprotkannya pada telempap.

"Sehari, dua hari, selamat tinggal," ucap Mey sebelum menyimpan cairan pembersih tangan miliknya, ia melangkah melewati gerbang kampus yang terbuka lebar, sekarang jarum pendek masih mematung di angka sembilan pagi, terlihat area parkir mulai penuh oleh kendaraan penghuninya. Mobil Mey tak bisa turut serta absen di antara mobil-mobil lain setelah diantar teman kencan yang datangnya tanpa diminta, terpaksa Mey mengalah dan mengikuti keinginan laki-laki yang telanjur baper oleh sikap sok manisnya semalam.

"Iya, nanti gue datang on time. Lo nggak usah olok-olok gue terus dong! Ini masih pagi!" Siapa yang tak kesal jika manager tiba-tiba menelepon dan memberi wejangan sepanjang jalan kenangan, Mey masih ingin menikmati udara pagi yang segar meski kadar polusi di Jakarta kian meningkat setiap harinya. "Gue nggak ada kencan buta hari ini, jadi lo santai aja. Oke?" Ia terus melangkah menyusuri koridor utama menuju gedung selatan—di mana kelas untuk mata kuliahnya pagi ini berada tanpa memedulikan euforia teriakan mahasiswi di tepi lapangan basket tak jauh dari posisi Mey berada.

"Rayi! Rayi! Rayi! Rayi!"

"Riska! Riska! Riska! Riska!"

Saat langkah Mey semakin mendekati area hiruk-pikuk tengah berlangsung seraya mengumpati manager yang notabene teman SMAnya dulu—ia menoleh menatap orang-orang yang baginya aneh, mengganggu sekali suara-suara kehebohan itu. "Bye!" Mey menekan kata terakhir sebelum mengakhiri panggilannya begitu saja, ia terhenti sejenak sebab terusik oleh kehebohan mahasiswi di sana, pasalnya dua postur tubuh perempuan yang berdiri membelakangi tak jauh dari posisinya berhasil mengalihkan fokus Mey. "Selly sama Tania ngapain di sana? Udah ketularan alay juga?"

"Tan, lo dukung siapa?" tanya Selly, mereka berada di antara barisan mahasiswi lain yang mendukung masing-masing tim, tapi lebih pada siapa sosok paling keren di sana.

"Gue Riska aja, Sel. Kesannya emang ketus gitu, tapi dia keren kok," sahut Tania di sela kehebohan sekitar.

"Ya udah, gue Rayi aja biar kita seimbang. Kalau tim Riska kalah, lo wajib traktir gue, ya?"

"Siapa takut!" Tania menerima tantangan Selly, mereka memiliki keyakinan yang kuat jika tim kebanggaannya pasti menang. Saat itu Mey bersusah payah menghampiri dua temannya, jika bukan karena mereka—mana sudi Mey berbaur dengan orang-orang yang selalu memandang rendah dirinya, padahal mencari uang harus sekuat tenaga serta totalitas.

"Kalian ngapain di sini?" Tiba-tiba Mey sudah berdiri di depan dua temannya seraya berkacak pinggang, lagi-lagi ia menjadi pusat perhatian di sana saat ekspresi tak suka diperlihatkan mahasiswi lain, sedangkan mata berbunga-bunga diperlihatkan mahasiswa yang sibuk menguasai bola basket sampai tak menyadari jika benda itu direbut oleh lawan.

"Kita lagi lihat Riska sama Rayi, Mey. Lo nggak mau lihat juga," tutur Selly begitu polosnya seolah sudah melupakan bagaimana sifat Mey. Tania justru kicep menyadari kehadiran Mey di tengah-tengah mereka, tangan yang semula terangkat sekadar melakukan yel-yel penyemangat kini ia sembunyikan di balik pinggang.

"Emangnya mereka sepenting apa buat lo?" Mey bersidekap saat menatap Selly. "Penting gue atau mereka?"

"Penting—MEY!!!" Gadis di depannya ambruk tak sadarkan diri setelah bola basket menyentuh bagian belakang kepala Mey, keadaan lantas berubah saat para pemain basket berbondong-bondong menghampiri Mey. Lagipula siapa yang tak ingin mencuri kesempatan dalam kesempitan menanggapi pingsannya seorang Meira Aurora?

"Lo aja yang bopong dia, kan tadi lo yang lempar," tutur Tania seraya menatap laki-laki yang berdiri di dekat Rayi saat temannya itu bersiap membopong Mey tanpa sudi memberi kesempatan orang lain menyentuh tubuh gadis itu.

"Lho, gue aja yang angkat si Mey," protes Rayi, ia sudah berjongkok dan siap menyentuh Mey, tapi Tania menepis tangan laki-laki itu.

"Hush! Biar dia aja, kan dia yang lempar, tadi gue yang lihat."

"Gue yang lempar, tapi gue nggak sengaja. Sorry." Sang pelaku utama mengalah dan mengakui kesalahannya sebelum mengambil alih tugas yang seharusnya menjadi milik Rayi, ia membopong tubuh Mey sebelum membawanya keluar dari kerumunan orang-orang, meski gadis itu tak sadarkan diri, tapi mahasiswi lain tetap mengoloknya seakan Mey baru saja mencari perhatian pada orang-orang. Seolah napas Mey saja salah di mata mereka semua.

Tubuh tak berdaya Mey kini terbaring di brankar ruang kesehatan, beberapa orang yang sempat mengekori Mey mulai berkurang satu per satu setelah Tania menutup pintu dan mengolok para mahasiswi haters Meira.

"Dia udah di sini, gue bisa keluar, kan?" Riska—mahasiswa yang telah membawa Mey ke ruang kesehatan bersiap pergi, tapi Tania menahannya. "Apa?"

"Lo tunggu sampai Mey sadar dan minta maaf, masa nggak gentle amat jadi laki-laki," tutur Tania, ia melepas cekalannya pada Riska.

"Benar banget, Mey paling nggak suka sama cowok yang nggak bertanggung jawab, itu ngingetin dia sama—SAKIT TANIA!!!" Nada bicara Selly naik dua oktaf begitu ujung heels Tania menyentuh sepatunya, ia sampai menunduk mengusapi bekas pijakan Tania.

"Oke, gue tunggu dia sampai sadar dan minta maaf." Riska menyetujui tanpa perlu bertanya alasannya.

"Bagus banget, kalau gitu gue sama Selly mau keluar dulu ya cari dokternya. Bisa temenin Mey bentar seperti janji lo tadi, kan?" Tania mengerlingkan mata sebelum menarik Selly keluar begitu saja meski sempat menorehkan luka fisik di kaki temannya itu, dan Riska enggan memusingkan apa pun saat ia memutuskan duduk pada kursi di sudut ruangan itu seraya menatap Mey yang belum sadarkan diri.

Namun, baru beberapa menit Riska menempelkan pantatnya pada permukaan kursi, sosok di brankar mengerjapkan mata sebelum memaksa beranjak duduk seraya menyentuh bagian belakang kepala yang terasa sakit. Riska kembali berdiri dan menghampirinya.

"Sakit banget? Perlu ke rumah sakit?" Sebagai sosok pelaku utama nan merasa bersalah—siapa pun akan melakukan hal yang sama, ia tampak khawatir menanggapi kondisi Mey sekarang.

"Apa?" Mey menoleh—menemukan tatapan itu lagi setelah seminggu berlalu sejak kejadian mobilnya yang dikemudikan Mona hampir menabrak mahasiswa pengendara motor di dekat gerbang kampus. "Lo kan yang—"

"Sakit banget? Mau dibawa ke rumah sakit?" Riska mengulang pertanyaannya.

"Nggak." Ia menggeleng pelan.

"Sorry, gue nggak sengaja lempar bola dan kena elo tadi." Ia mengulurkan tangan, membuat Mey beberapa kali menatap wajah serta tangan Riska bergantian, ada ragu yang sempat merayu sebelum akhirnya setuju berjabat tangan. "Kalau emang nggak apa-apa, gue mau keluar sekarang. Sebentar lagi ada kelas." Ia melenggang meninggalkan Mey begitu saja setelah tautan tangan mereka terlepas, ekspresi Mey tetap sama—seperti hari di mana mereka bertemu.

Mey menatap pintu yang baru saja tertutup seolah kehilangan sesuatu. Ia menyentuh bagian belakang kepala seraya merasakan sedikit sakit di sana. Tak berapa lama Selly serta Tania membawa dokter yang selalu bertugas di kampus, tapi Mey sudah lebih dulu turun sebelum ia sempat diperiksa.

"Lho, lo mau ke mana, Mey? Ini dokternya udah datang, nanti kalau gegar otak gimana?" celetuk Selly begitu mudahnya, Tania sampai menoyor kepala gadis itu karena asal bicara.

"Nggak perlu, gue mau langsung ke kelas aja," sahut Meira tanpa memedulikan kekhawatiran teman-temannya, ia tetap bergerak keluar dari ruang kesehatan tanpa ingin disentuh oleh dokter, jika Mey sudah berkeinginan maka akan tetap ia lakukan bagaimana pun caranya meski Mey takkan bohong jika bagian belakang kepalanya terasa sakit.

Tania tersenyum canggung menatap Donter Friska. "Maaf, ya, Dok. Mey emang suka kayak gitu, nanti kalau dia emang butuh pasti cariin Dokter kok, saya sama Selly mau kejar dia, ya. Takutnya tumbang di jalan."

"Nggak apa-apa." Dokter wanita berusia tiga puluh tahun tersebut juga tak ingin ambil pusing atas sikap Meira. "Saya juga mau ke ruangan saya." Ia melenggang lebih dulu sebelum Selly serta Tania ikut berlalu dari sana setelahnya.

Meira melangkah menyusuri koridor seraya memperhatikan sekitar, satu tangannya terus saja menyentuh rasa sakit di bagian yang sama. Beberapa mahasiswi tiba-tiba menghadang Mey, kebetulan dari tiga di antaranya Mey mengenali salah satunya sebagai teman kelas semasa SMA.

"Gue tahu perangai elo, ya, Mey. Pasti tadi lo sengaja pura-pura pingsan biar anak satu lapangan merhatiin elo, kan? Cih, lagu lama." Alexa baru saja berbicara. "Yuk, guys. Kita nggak perlu berlama-lama bicara sama ayam kampus kayak dia, nanti ketularan." Ia serta kedua temannya kembali melanjutkan langkah.

Mey sendiri hanya diam tanpa ingin memusingkan perkataan Alexa, ada hal lebih penting yang kini ia cari, tapi sejauh mata memandang Meira tak menemukannya di mana pun.

Selly dan Tania berlari tergopoh-gopoh menghampiri Mey yang masih berdiri di koridor sebelum memutar tubuh dan memperlihatkan raut kesalnya sebab kehadiran Tania serta Selly. "Ngapain lo berdua ke sini?"

"Ya cariin elo, Mey. Kok malah marah, sih?" Selly bertanya-tanya.

"Mending lo berdua introspeksi diri aja, kalau bukan karena lo berdua ada di lapangan sambil teriak-teriak kayak orang gila tadi, gue nggak mungkin nyamperin kalian dan kena lemparan bola sampai pingsan." Mey berkacak pinggang.

"Tapikan, Mey. Gue sama Tania itu suka banget lihat—mmph!" Selly tak bisa melanjutkan bicaranya setelah ia dibekap oleh Tania.

"Iya, Mey. Kita berdua emang salah, kita berdua bakal intospeksi kok, sorry ya." Tania memasang senyumnya sebelum menarik Selly menjauh dari hadapan Meira.

***