Chereads / Keep The Marriage / Chapter 6 - Berbohong Lagi

Chapter 6 - Berbohong Lagi

"Jangan terlalu percaya diri, mas. Siapa juga yang ingin mencari kamu?"

Zulfa merasakan sesak luar biasa mengingat perkataannya tadi yang dilontarkan untuk Farel. Ia meneteskan air matanya melihat kepergian Farel yang sama sekali tidak peduli dengan ucapannya. Selalu saja laki-laki itu seenaknya, namun ia tidak pernah bisa melawan. Bisa berdosa dirinya jika menantang ataupun melontarkan kalimat lainnya yang memicu ke durhakaan kepada sang suami.

Ia yakin seratus persen jika suaminya akan pergi ke rumah Rani untuk makan disana, tidak ada lagi alasan yang lebih masuk akal selain itu. Memangnya siapa lagi yang menjadi alasan untuk singgah selain gadis tersebut? Sebelumnya, ia tidak tahu siapa kekasih Farel, bahkan laki-laki itu tidak pernah memberitahunya. Yang ia lakukan hanyalah menunggu, selalu saja menunggu hal yang tidak pasti.

Padahal, menunggu adalah hal yang paling menyebalkan di dunia ini. Bahkan, ia tidak pernah memiliki rasa sabar yang cukup dalam menunggu. Tapi, demi seorang Farel ia rela berkali-kali untuk melakukan hal yang tidak disukainya menjadi hal yang akan mulai terbiasa dilakukan.

Entah sihir apa yang telah diberikan oleh Farel, yang jelas laki-laki itu selalu membuat dirinya tidak bisa berkutik sama sekali. Rasanya ia sangat tidak ingin berada di posisi yang sangat merugikan seperti ini. Hanya mendapatkan nafkah dalam segi materi yang setiap minggunya di transfer berjuta-juta ke dalam rekeningnya, tapi ia tidak mendapatkan kasih sayang sedikit pun dari sang suami. Kalau seperti ini, apa masih layak dirinya mempertahankan ketidak sehatan ini?

Ingin pergi pun ia tidak punya alasan yang jelas untuk menutupi masalah ini dari semua orang. Namun jika jujur, pasti Farel kasihan. Ah iya, bahkan hatinya masih menaruh rasa kasihan itu di dalam hatinya saat ini. Semuanya berada di tangannya, entah ingin bertahan atau meninggalkan. Ia adalah seseorang yang sangat buruk dalam mengambil keputusan. Bisa saja nanti menyesal, tapi bisa saja bahagia namun harus kesepian dan membuka halaman baru bersama seseorang yang baru juga.

Zulfa adalah pribadi yang cukup sulit untuk kembali mengambil alih keadaan baru yang masuk ke dalam hidupnya. Jadi, mungkin lebih baik --secara pribadi-- ia lebih memilih untuk bertahan di posisi seperti ini. Menelan kepahitan di dalam setiap kejadian dalam hidupnya.

Dengan sedikit menghela napas, ia menyeka air mata yang keluar dari sudut bibirnya. Ia memilih untuk mematikan televisi yang sedari tadi menemani kehampaan atmosfer di sekelilingnya, dan mulai bangkit dari duduknya. Hari ini merupakan jadwal untuk belanja bahan makanan dan berbagai peralatan rumah yang harus di ganti, jadi dirinya tidak boleh terlarut di dalam suasana yang menyedihkan seperti ini.

Karena sedih yang berkepanjangan sama sekali tidak bisa untuk menghilangkan dan mengobati goresan luka di hati. Tetesan air mata hanya mampu melegakan perasaan, bukan menghempas rasa sesak selamanya yang hinggap di dada.

"ZULFA!"

Zulfa terlonjak kaget mendengar pekikan yang sangat nyaring sampai memenuhi setiap sudut ruangan, ia menolehkan kepalanya ke sumber suara dan mendapati sahabatnya yang tidak tahu sopan santun sudah memasuki rumahnya sambil berteriak seperti di hutan. "Assalamualaikum dulu, Dea." tegurnya sambil tersenyum kecil. Ia tidak akan menyalahkan kehadiran gadis tersebut yang datang tiba-tiba tanpa salam sedikit pun. Justru, ia berharap kedatangan gadis itu akan membuat perasaan di dalam hatinya kini terasa lebih baik.

Namanya Diandra Yulia, gadis yang sangat aktif bergerak dan terlihat sangat menyebalkan, apalagi ketika sedang berbicara, jangan ditanya seberapa tingkat rasa sebal yang hadir akibatnya. Lihat, sekarang gadis itu sudah duduk di ruang tamunya sambil mengibas-ngibaskan kedua telapak tangannya. "Waalaikumsalam, aku haus, Fa. Buatin minum dong!" ucapnya berlagak seperti habis dari gurun yang membuat dinding tenggorokan mati rasa dan kekeringannya. Jangan lupakan ia juga mengusap buliran peluh yang hinggap di pelipisnya, seolah-olah mengatakan dengan tersirat jika dirinya benar-benar merasa kehausan yang sangat tinggi.

Toh memang benar, hari ini terasa panas. Entah kenapa, udara selalu berhasil membuat dinding tenggorokannya terasa kering dan seperti tercekat oleh sesuatu. Dan tentu saja hal itu membuat dirinya membutuhkan sebuah cairan yang bisa membangkitkan kembali tenaga yang berada di tubuhnya.

"Ngapain sih kamu disini?" tanya Zulfa dengan nada sedikit sebal, ia bahkan tidak merespon ucapan Dea yang meminta minum karena kehausan. Ia mendelik sebal, pasalnya setelah dirinya menikah dengan Farel gadis itu tidak pernah menghubungi dirinya dan tiba-tiba saja datang seenak jidatnya tanpa memberi pesan atau pun menelepon dirinya terlebih dahulu.

Sungguh menyebalkan, bukan? Ia tidak habis pikir dengan kinerja otak satu-satunya sahabat yang dimiliki olehnya itu.

Dea berdecak. "Mau main lah." ucapnya dengan santai sambil meraih toples makanan ringan yang selalu tersedia di atas meja tamu. Bahkan, tangannya sudah membuka tutup toples untuk mengambil satu cookies dan menggigitnya dengan nikmat. Ini adalah salah satu destinasi yang membuat dirinya suka berlama-lama di rumah para temannya, ya apalagi alasan lebih masuk akal jika bukan karena camilan?

Toh selain merasa kehausan, ia juga lapar mengingat kesini itu untuk memburu makanan. Katakan jika dirinya adalah sahabat yang tidak tahu diri, tapi kenyataannya memang seperti itu kok. Ia terlampau lapar dan tidak sempat membeli makanan. Lagipula, uangnya hari ini di peruntukkan menabung supaya bisa membeli barang lain yang lebih berguna. Nah maka dari itu, rumah Zulfa adalah solusinya.

Tidak ingin berlama-lama dengan sahabatnya yang satu ini, ia lebih memilih untuk pamit menuju kamarnya dan lagi-lagi mengacuhkan ucapan Dea yang sekarang sudah berteriak meminta segelas air. Biar saja manusia satu itu kehausan, toh bisa ambil sendiri di area dapur. Bahkan gadis itu tidak perlu manja untuk di bawakan segelas air untuk minum. Ingin air mineral, jus kemasan, ataupun sirup buah, semua sudah tersedia dingin di dalam kulkasnya. Tinggal ambil saja, dan minum untuk membasahi dinding tenggorokannya. Selesai dan tentu saja simpel karena tidak perlu merepotkan untuk di layani.

Dengan cepat, ia mengenakkan gamis panjang bewarna navy dengan hijab bewarna abu-abu. Ia mengambil sling bag yang berada di atas nakas dan mengecek apakah isinya sudah lengkap. Ponsel, dompet, dan beberapa alat make up sudah terdapat disana yang bertujuan untuk berjaga-jaga saja. Oke, jika merasa sudah lengkap semua, dirinya langsung saja keluar kamar.

Penampilan biasa yang justru menambah tingkat kecantikan seorang wanita seperti dirinya. Menutup aurat sampai tidak terlihat lekuk tubuhnya, bahkan bagian dada sudah tertutupi oleh hijab panjang secara sempurna. Sangat cocok seperti layaknya seorang istri idaman, tapi hal itu tidak pernah berlaku untuk seorang Farel yang terlalu menjunjung tinggi rasa sayang pada gadis lain yang memiliki penampilan 180 derajat daripada seorang Zulfa Naraya.

"Mau kemana? cantik banget kayak mau ke pengajian ibu-ibu." ucap Dea berkomentar tentang penampilan Zulfa saat ini, sekarang ia sudah mencicipi cookies yang memang sengaja sang pemilik rumahnya ini taruh di dalam toples dan di letakan di atas meja, berjaga-jaga jika ada tamu atau rekan kerja Farel datang, untuk teman mengopi atau meminum teh.

Zulfa menghembuskan napasnya. "Mau belanja, kamu ikut gak?" tanyanya. Walaupun ia terkadang sebal dengan perilaku Dea, tapi tak ayal jika dirinya mengajak gadis mereka itu sebagai teman berbelanja. Rasanya jika sendirian, ia menjadi pusat perhatian semua orang. Dan ia cukup risih akan hal tersebut. Seolah-olah dia adalah manusia tanpa pemilik teman yang dapat menemani dirinya berjalan-jalan ataupun sekedar keluar bersama.

Tidak perlu di deskripsikan bagaimana reaksi Dea, tanpa basa-basi gadis itu sudah berdiri tegak sambil memekik senang. "IKUT DONG! JAJANIN YA!" pekiknya dengan heboh. Ini adalah penantian yang paling ia tunggu-tunggu karena akan di traktir berbagai macam jenis makanan dan barang, tapi tentu saja dalam batas wajar yang memikirkan harga. Ini hanya perumpamaan saja kok, lagipula ia mempunyai satu kartu ATM yang berisi tabungan gaji selama dirinya bekerja. Ada sih walaupun cuma dikit untuk memenuhi kesehariannya saja.

"Minta traktir terus, gak modal banget." ucap Zulfa sambil terkekeh kecil, hanya candaan ringan...

Dea yang mendengar hal itu pun langsung menggaruk tengkuknya yang tidak gatal sambil ikut terkekeh kecil. "Ya maaf, Nyonya Brahmana."

Zulfa hanya menggeleng lalu mengambil kunci mobil yang memang di letakan di belakang lampu meja dekat beberapa guci mahal koleksi Farel. "Yuk, tutup dulu toplesnya jangan di bawa-bawa."

Dengan cengiran khasnya, Dea langsung saja menutup toples makanan ringan yang sedari tadi ia makan. "Udah, yuk, mau kemana?" tanyanya sambil menepuk-nepuk kedua tangan yang terdapat remahan cookies di sana.

"Belanja bulanan, nanya terus." jawab Zulfa.

Dea menaikkan sebelah alisnya, merasa bingung karena sahabatnya itu kan memiliki seorang suami. Kenapa tidak minta di temani?

"Mas Farel kemana? Kan aku belum pernah ketemu. Terus kenapa gak sama dia aja belanjanya?"

Zulfa tersenyum pahit. Bahkan untuk menemani Zulfa menonton televisi saja Farel selalu menolak, bagaimana di ajak pergi keluar? Bisa-bisa yang ia dapat adalah kalimat penolakan yang menyakitkan dan menghujam ulu hatinya. Sakit. Dengan sisah tenaga, sebuah senyuman yang sangat manis terukir jelas di wajahnya. "Mas Farel ada meeting mendadak, jadinya gak bisa menemani aku belanja." ucapnya dengan bumbu kebohongan.

Dea hanya mengangguk saja. "Enak ya jadi orang kaya, uang dimana-mana. Tapi gak enaknya ya gitu, gila kerja."

Zulfa hanya tersenyum, Dea tidak tahu apa-apa soal ini semua. Ia hanya tidak ingin membuat orang lain khawatir dengan kondisi rumah tangganya yang tidak pernah baik-baik saja. Dengan berat hati, ia berbohong tentang semua ini. Terlihat baik-baik saja adalah ide yang bagus, setidaknya untuk saat ini.

"Mau ngomong terus atau ikut belanja?" tanya Zulfa dengan tatapan yang sudah sangat malas. Toh kalau ingin ikut, ayuk jangan menunda-nunda waktu. Memang Dea daridulu tidak pernah mengubah tingkahnya, justru semakin menyebalkan.

Dea menganggukkan kepalanya dengan mantap, ia tidak mungkin menyia-nyiakan kesempatan ini. Iya kan?

"Tapi jangan lupa traktirannya ya?"

...

Next chapter