Chereads / Keep The Marriage / Chapter 5 - Tidak Penting(?)

Chapter 5 - Tidak Penting(?)

Farel mengerjapkan kedua bola matanya kala cahaya matahari menerobos masuk ke celah jendela kamar yang otomatis menyapa indra penglihatannya secara tidak langsung itu. Ia memijat keningnya yang terasa sangat dan teramat sakit, mungkin efek dari minuman alkohol yang ia minum tadi malam.

Ia tidak ingat apapun selain dirinya pergi ke bar bersama dengan Rani, lalu dirinya terlalu larut terbawa suasana dan meneguk beberapa gelas minuman dengan kadar alkohol yang cukup tinggi. Setelah itu, ia sama sekali tidak mengingat apapun dan tiba-tiba sudah berakhir di kamar tidur.

Dengan meringis kecil, ia mulai menyibakkan selimut yang menyelimuti tubuhnya. Dengan mengangkat kedua tangannya ke udara guna merenggangkan otot tubuh yang terasa kebas, ia mengusap wajahnya dengan perlahan.

"Bangun mas, hari sudah semakin siang." suara lembut itu mulai masuk ke gendang telinganya dengan sangat sopan, astaga suaranya memang lembut sekali. Tapi, hal itu tidak membuat Farel menjadi terpana untuk menaruh hati pada wanita itu. Lagipula, ia hanya sedikit kagum dengan kurun waktu yang tidak ada 1 menit. Dan tentu saja tidak akan mengubah perasaannya untuk wanita itu.

Matanya menajam kala melihat Zulfa yang sudah merapihkan kamar, terbukti dari pengharum ruangan yang menyeruak wangi di setiap sudut ruangan. Ah, bahkan lebih dari kata rapih, sangat rapih. Namun tatapan matanya berubah melihat Zulfa yang tidak memberikan dirinya sebuah senyuman pagi, dan bahkan ucapan selamat pagi pun tidak wanita itu luncurkan pada dirinya.

Biasanya, tanpa di pinta ataupun ditunggu-tunggu, Zulfa dengan menaruh semangat 45 untuk melakukan hal tersebut. Hanya wajah datar dan tidak berselera untuk melayangkan beberapa kalimat manis yang biasa diucapkan olehnya. Tapi lagi-lagi, ia tidak ingin mau tahu dan tidak ingin peduli dengan apa yang sebenarnya terjadi sampai-sampai wanita itu bersikap jauh lebih berbeda dari pada biasanya.

Bukan urusan Farel. Begitulah kira-kira pemikiran yang selalu berada di kepalanya. Memangnya apa untungnya memikirkan apa yang sedang terjadi dengan wanita itu? Ah, sangat tidak berbobot. Lebih baik ia memikirkan bagaimana caranya menjadikan Rani sebagai pendamping hidupnya, bukan Zulfa. Apa yang tidak ingin ia miliki, ya pasti ia tidak akan berjuang untuk meraihnya. Bahkan, sekuat apapun wanita itu berusaha merebut perhatiannya, sekuat itu juga dirinya semakin bergerak menjauh dengan tatapan yang sangat dingin ke arah Zulfa.

Ia segera beranjak dari tidurnya tanpa menjawab ucapan Zulfa sedikitpun mengenai pagi yang sebentar lagi berganti menjadi siang hari, ia mulai beranjak dari tidurnya dan dengan langkah gontai ia mulai menuju kamar mandi meninggalkan wanita dengan sorot mata yang terus menerus menatap kearahnya itu segera beralih untuk merapihkan kasur tempat dirinya tertidur tadi.

Sebenarnya Zulfa sangat telaten dan baik, namun penampilannya sangat tidak fashionable seperti wanita lain, menurutnya. Lagipula setiap laki-laki memiliki sudut pandang yang berbeda, dan ini adalah sudut pandang yang dimiliki olehnya. Jadi, untuk apapun yang terjadi selanjutnya, tolong jangan salahkan dirinya. Karena sesuatu yang dipaksakan, tidak akan menghasilkan kebaikan. Dan sebaiknya, ia berjalan saja mengikuti alur takdir yang seolah-olah sedang mempermainkan dirinya. Pernikahan konyol yang hanya melibatkan satu hati saja, astaga.

Setelah berhasil mengunci pintu kamar mandi, Farel segera berjalan menuju wastafel yang di pasang cermin lemar di hadapannya. Dengan cepat, ia segera membasuh tubuhnya dengan air dingin yang segar menyapa setiap kulit tubuhnya.

Ia bertaruh jika ini sudah hampir pukul dua belas siang terbukti sudah tidak ada kicauan burung yang menyapa telinga, beruntung hari ini adalah hari libur membuat dirinya tidak perlu sibuk memaki Zulfa karena telat membangunkan dirinya. Kalau semisalnya ia telat dan baru bangun jam segini saat hari kerja, sudah dapat di pastikan jika dirinya akan murka.

Setelah selesai mandi, ia langsung memakai handuk di sekitar lingkaran pinggangnya dan mulai keluar kamar mandi. Tatapannya jatuh pada sepiring nasi goreng telur dan sosis beserta teh hangat di atas nakasnya, tidak lupa juga Zulfa sudah menyiapkan satu setelan baju untuknya yang diletakkan pada tepi kasur. Ia memutar bola matanya, pasti ini salah satu rencana Zulfa supaya dirinya jatuh cinta pada gadis itu. Tidak akan pernah terjadi! Apapun caranya kalau hati ini masih memiliki sang kekasih, apa boleh buat?

Dengan wajah datar, ia memakai pakaiannya lalu berlalu begitu saja keluar kamar. Seperti biasa, ia tidak pernah berniat untuk menyentuh apapun yang di hidangkan Zulfa untuknya, takut tidak enak. Ia sudah biasa memakan masakan mewah, namun gadis itu selalu saja menyajikan menu biasa. Tahu tempe bacem, ayam goreng krispi, telur dadar kecap atau pedas, berbagai macam tumis sayur, dan masih banyak lagi makanan yang sebelumnya tidak pernah ia cicipi sebelumnya. Rasa penasaran untuk mencicipinya pun tidak ada sama sekali, apalagi berniat untuk memakan makanan tersebut sampai turun tepat di sistem pencernaannya yang berada pada lambung.

"Saya mau pergi," ucapnya begitu melihat Zulfa yang sedang bersantai di depan televisi, ia menyusuri pandangannya, sepertinya gadis itu sudah melakukan semua pekerjaan rumahnya. Padahal, mereka memiliki ART untuk mengurus segala pekerjaan rumah tangga supaya wanita itu tidak terbebani. Tapi, katanya sih istri yang baik akan tetap melakukan kewajibannya, termasuk dalam mengambil alih pekerjaan rumah. Jadi, ya dirinya juga tidak akan pernah masalah dengan hal itu. Selagi nyaman, lakukan.

Zulfa menoleh saat mendengar suara bariton yang masuk ke dalam indra pendengarnya, lalu mengangguk saja tanpa mengucapkan sepatah kata apapun dan kembali menonton drama Korea kesukaannya yang kini sudah terpampang jelas di layar TV. Saat adegan sedih pun gadis itu tetap mempertahankan wajah datarnya, tidak seperti biasanya yang pastinya akan larut menangis sambil memeluk bantal sofa dengan air mata yang bercucuran keluar. Kali ini, suasananya berbeda.

Tunggu, ada apa dengan Zulfa? Apa hal ini ada hubungannya dengan Farel? Atau... Tidak lah, tidak mungkin wanita ini cemburu dengan Rani. Iya, pasti kekasihnya itu tadi malam datang kesini untuk mengembalikan dirinya.

Lagi-lagi ia menepis pikiran sialannya itu yang mulai bertanya-tanya ada hal apa yang terjadi dengan Zulfa. Karena apapun itu, bukanlah urusannya. Camkan.

Sekali lagi, ia tidak peduli. Ia sepertinya harus menanamkan dalam-dalam deretan kalimat ketidakpedulian terhadap Zulfa pada otaknya.

Perlu kalian ingat, Farel tidak akan pernah peduli pada Zulfa. Dan itu berlaku sampai hari selanjutnya, dan mungkin akan selamanya memang akan seperti itu.

"Saya mau cari makan." sambungnya kembali, karena masih belum puas ketika Zulfa mendiamkan dirinya. Tidak, bukan karena dia sudah mulai mencintainya, tapi rasanya ya berbeda saja jika wanita itu yang bernotabene bawel sekali berubah menjadi pendiam seperti ini.

Seperti ada yang kurang saja, tapi ia tidak ingin mengakui jika perubahan Zulfa hari ini sangat membuat dirinya mereka sepi. Karena setiap saat, pasti ada saja tingkah wanita ini yang seolah-olah bertindak untuk mencuri perhatiannya. Entah itu mengajak dirinya berbelanja di supermarket sampai mengajak dirinya menonton film bersama dan ditemani dengan popcorn. Tidak akan pernah ia menyetujui itu semua, sampai kapan pun.

Zulfa menoleh kembali. "Bukannya aku sudah membuatkan makanan?" tanyanya dengan satu alis yang terangkat, ia merasa heran dengan Farel. Sudah disediakan makanan dan hanya tinggal memakannya saja, kenapa harus ditelantarkan begitu saja?

Sangat tidak menghargai usaha seorang istri untuk terus menerus berbakti pada suaminya walau hari demi hari apa yang ia rasakan ini semakin menyesakkan.

"Saya tidak suka," jawab Farel dengan nada enteng. Ia bahkan sama sekali tidak peduli jika Zulfa merasa tersakiti dengan ucapannya ini.

Zulfa menghembuskan napasnya dengan perlahan, lalu mempertebal rasa sabarnya untuk yang kesekian kalinya. "Masakan aku memang tidak pernah pas di lidah mas, ya?" tanyanya dengan wajah yang kian terlihat sendu.

Farel menganggukkan kepalanya, wajah tanpa senyum miliknya seolah-olah mengatakan jika dirinya benar-benar berbicara jujur tanpa kebohongan sedetikpun. "Itu kamu tahu, harusnya sadar diri." jelasnya sambil menarik napasnya, dan membuangnya secara perlahan.

"Aku sadar mas, tapi itu kewajiban aku." ucap Zulfa dengan nada bicara yang mulai tercekat. Memangnya wanita mana yang kuat di perlakukan seperti ini? Tidak ada.

"Jangan membuang-buang bahan makanan lagi." ucap Farel berusaha keluar dari topik pembicaraan yang mungkin akan mengundang keributan.

Zulfa menyunggingkan senyum sambil menggelengkan kepalanya, merasa tidak paham dengan tingkah Farel yang terus menerus seperti ini. "Aku hanya ingin mas menghargai aku seperti layaknya seorang istri." ucapnya, volume suaranya semakin kecil.

Farel sangat membenci topik pembicaraan ini. Entahlah dirinya seperti sangat sensitif mengenai hal ini. "Diam, kamu tidak perlu protes tentang apapun." ucapnya dengan nada penuh tekanan, tak lupa juga geraman kesal yang keluar dari dalam mulutnya.

Dengan kesal, ia menyambar kunci mobil miliknya. Ia berpikiran akan pergi ke rumah Rani untuk melepas penatnya saat berada di rumah ini. Zulfa terlalu menuntut harinya untuk menerima kenyataan yang tidak pernah sama sekali diharapkannya. Hanya Rani yang dapat mengerti dirinya, hanya Rani.

"Jangan cari saya atau kamu akan menyesal." ucapnya dengan nada yang mengancam, ia masih saja melayangkan tatapan tajam. Dan dengan sedikit harapan jika Zulfa harus mencari kepergiannya.

Memang terkadang laki-laki se-egois itu, ingin di kejar dan di perjuangkan, tapi sama sekali tidak pernah bisa menghargai dan memberikan perhatian yang penuh.

"Jangan terlalu percaya diri, mas. Siapa juga yang ingin mencari kamu?" tanya Zulfa dengan hati yang sudah ia siapkan dengan matang untuk berbicara yang memutar fakta seperti ini. memangnya siapa yang tidak khawatir dan merasa sesak jika seorang suami berkata seperti itu?

Farel merasakan sesak di dadanya. Baru kali ini Zulfa menunjukkan sifat seperti ini padanya. Apa gadis itu sudah lelah? Berusaha tidak marah, ia mulai pergi dari rumah dan meninggalkan Zulfa yang ternyata sedang menahan kristal bening dari pelupuk matanya.

Hari ini, ia akan menghabiskan waktu bersama Rani, kekasihnya yang paling sempurna.

Apa? Sempurna? Iya, memang sangat sempurna karena mampu membuat dirinya merasakan ketenangan saat selesai beradu argumentasi bersama dengan Zulfa.

Hari yang sangat menyebalkan.

...

Next chapter