Lyon bersikeras mengesampingkan apa yang baru dirinya sadari lewat dua matanya. Mengabaikan hati yang bergemuruh hebat entah karena alasan apa. Lyon berusaha bersikap tenang dan dingin seperti yang biasa ia lakukan.
Lyon berjalan keatas podium ketika namanya dipanggil oleh pemandu acara untuk menerima piala juara pertama lomba pacuan kuda tempo hari. Lyon terus berjalan dengan kaki panjangnya tanpa menoleh kearah pojok kanan dimana Steven sedang bersama Petra duduk bersampingan. Namun, godaan untuk menggerakkan lehernya kearah tersebut begitu besar membuat Lyon berkeringat dingin karena menahan keinginan tersebut.
Lyon berdiri tegang setelah menerima piala, pemandu acara meminta dirinya untuk sedikit memberikan pidato atas kemenangannya. Lyon frustasi karena tidak ada seorang pun yang memberitahukan kepada dirinya untuk berpidato setelah menerima piala. Tahun-tahun yang lalu tidak seperti ini.
"Terima kasih atas pialanya. Terus terang aku tidak menyiapkan diri untuk berbicara didepan panggung selama lima menit seperti ini. Sepertinya pemandu acara sangat ingin berdiri disampingku malam ini..." kata Lyon membuka pembicaraan dan mengundang tawa sebagian besar tamu.
Lyon melirik kearah wanita usia tiga puluhan yang memandu acara lalu tersenyum manis. Sekedar basa basi untuk berterim kasih alih-alih mengutukinya dalam hati. Dari tempatnya berdiri Lyon bisa melihat dengan jelas dimana Steven duduk yang sibuk berbicara dan tertawa dengan para gadis daripada mendengarkan pidatonya. Dada Lyon semakin panas.
"Piala ini aku persembahkan untuk ibu dan ayah yang sekarang berada di Estonia karena ada sesuatu yang mendesak. Banyak terima kasih tidak lupa aku ucapkan kepada pelatih serta orang-orang yang sudah mendukungku selama ini. Aku tidak berarti apa-apa tanpa kalian. Satu hal lagi, aku ingin menampik anggapan tidak sedap tentang bagaimana diriku bisa menjadi juara pertama selama tiga tahun berturut-turut. Semua itu lebih karena usaha dan kerja keras semata serta tidak ada hubungan dan pengaruh keluarga besar Levi, meskipun ada nama Levi dibelakang namaku. Di dunia ini ada tiga faktor yang mempengaruhi seseorang dalam kesuksesan yaitu banyak usaha keras, sedikit keberuntungan dan lebih sedikit faktor bakat seseorang itu sendiri. Terima kasih." ucap Lyon, lalu segera turun dari podium menuju kursinya sendiri.
Tepuk tangan meriah mengiringi perjalanan Lyon menuju tempat duduknya. Ada Lisa dan Chia yang menyambutnya dengan pelukan hangat dan senyum puas. Lyon pun membalas dengan senyum tipis kepada Lisa dan sedikit tawa kepada Chia. Lalu Lyon mengangkat Chia tinggi lalu meletakkan gadis kecilnya diatas pangkuan.
"Good job Lyn. Good job." Puji Lisa setelah memastikan tidak ada lagi orang yang bertepuk tangan kepada mereka.
Tidak lama berselang pemandu acara kembali melanjutkan serangkaian acara pemberian piala kepada para juara lainnya.
Lyon terlalu bosan untuk mendengarkan ocehan orang yang silih berganti berbicara diatas podium saat menerima piala mereka. Hingga sebuah suara tidak asing terdengar hingga telinganya. Steven.
"Wah...tahun ini adalah tahun terakhirku sekolah di SMA Metropol serta tahun terakhir mengikuti turnamen golf sebagai murid SMA. Pasti aku akan sangat merindukan moment moment dimana aku...maaf kalau aku jadi melantur. Pokoknya, terima kasih banyak kepada orang-orang yang selama ini mendukungku dalam turnamen. Juga kepada mereka yang ada di klub golf, teman-teman sekolah, adik kelas yang sangat aku sayangi dan terutama pelatihku tercinta. Piala ini untukmu. Aku mencintaimu. Terima kasih." tutur Steven seraya mengacungkan piala yang dipegang tangan kanannya kearah mejanya sendiri.
Ada pelatih golf Steven disana. Lelaki setengah abad yang duduk tidak jauh dari Petra, dengan setelan jas berwarna abu tua dan rambutnya yang mulai memutih berdiri tegak mengacungkan jempol tangan kepada Steven.
Tepuk tangan meriah menggema diseluruh penjuru aula. Orang-orang yang hadir pada malam hari itu tahu betul siapa yang Steven maksud sebagai pelatihnya. Ian Severus Hartson merupakan orang yang berpengaruh dalam dunia pergolfan yang juga merupakan ayah Steven.
Saat Steven berjalan kembali menuju mejanya dan disambut dengan pelukan hangat oleh ayahnya tanpa disadari Lyon mencebik cukup keras hingga membuat Lisa menatapnya dengan tatapan penuh tanda tanya.
"Kamu iri kan, Lyn?" tebak Lisa dan mendapat respon berupa cebikan yang lebih keras dari Lyon.
Lisa hanya bisa tertawa lirih melihat tingkah laku adiknya yang lebih mirip anak kecil yang hilang ditengah keramaian. Karena Lisa tahu betul apa itu. Baik dia sendiri maupun Lyon sangat jarang berkumpul bersama orang tuanya diacara resmi seperti ini. Selalu saja ada urusan lain yang membuat mereka tidak bisa datang bersama.
Mungkin tiga ratus enam puluh lima hari bagi orang tua Lisa dan Lyon masih tidak cukup untuk mereka mengurus perusahaan keluarga Levi. Ada terlalu banyak pekerjaan ketimbang waktu yang bisa mereka habiskan untuk bekerja.
Jika ada, andai saja ada kesempatan di dunia ini untuk membeli waktu luang orang lain dengan uang bisa dipastikan orang tua Lyon dan Lisa akan melakukannya untuk diri mereka sendiri. Waktu dua puluh empat jam sehari tidak cukup bagi mereka untuk dibagi-bagi ke banyak pekerjaan yang seolah tidak ada habisnya.
Karena itulah, kenapa ayah Lyon sangat menginginkan puteranya dapat meneruskan estafet kepeminpinannya kelak. Harapan yang begitu tinggi yang membuat Lyon frustasi dan memilih lari, melampiaskan perasaan itu kepada game. Dunia permainan yang fana, sedikit banyak menghibur hati Lyon yang terluka karena didikan keras ayahnya sejak kecil.
"Tidak ada gunanya iri kepada orang seperti dia, Lisa. Kami tidak dalam level yang sama. Lagi pula memiliki perasaan semacam itu kepada teman ayah hanya akan membuang-buang energi dengan percuma." jawab Lyon memalingkan wajah kearah lain.
"Walaupun kamu tahu hal tersebut tapi kenapa wajahmu jelek begitu?" celetuk Lisa dan langsung direspon dengan tatapan tajam Lyon.
"Entahlah. Suasana hatiku seharian ini sedang tidak karuan. Jangan kamu tambah lagi, Lisa. Aku sedang tidak tertarik." jawab Lyon ketus.
Sebagai gantinya Lyon mengeluarkan ponsel dari saku celana lalu memainkannya asal. Konsenterasi Lyon sedang tidak stabil. Seperti semua hal yang ia lakukan salah dimatanya sendiri. Dan Lyon tidak tahu harus berbuat apa untuk meredamnya.
"Jadi begitu rupanya. Sekarang aku jadi sedikit paham dengan apa yang kamu rasakan saat ini. Dan aku hanya ingin memastikan saja loh, kamu sewot seperti gadis yang baru diputus pacar begini bukan karena profokasi yang dilakukan Steven kan? Atau karena Petra yang lebih memilih datang bersama Steven daripada menerima ajakan darimu kan?" cecar Lisa yang tidak bisa menahan senyum dari wajah putih mulusnya.
"Aku...sama sekali tidak berminat mengajak gadis mata duitan itu ke acara ini Lisa. Ingat itu baik-baik!" tegas Lyon.
Karena merasa marah, Lyon mengambil gelas berisi air putih diatas meja dan buru-buru meminumnya sampai habis. Dan itu membuat Lyon tersedak didetik berikutnya.
Menyaksikan tingkah konyol adik laki-lakinya yang aneh itu membuat Lisa tidak bisa menahan tawa lebih lama lagi.
-tbc-