Perlahan Petra bisa merasakan kesadarannya kembali.
Sekelilingnya begitu gelap dan pengap. Membuat hidung Petra kesulitan menghirup oksigen karena ruangan dimana ia berada terlalu sempit dan sepertinya banyak barang-barang. Juga kepalanya berdenyut sakit yang semakin ia tahan makin menjadi rasanya.
Dengan tangan kanan Petra mencoba meraba bagian kepalanya yang sakit dan mendapati jejak darahnya yang mengering, membuat rambut dibagian belakangnya lengket serta bau amis oleh darahnya sendiri.
Petra menghela napas perlahan, mencoba tetap tenang dan hanya bisa pasrah untuk kondisinya saat ini. Dalam sebuah ruangan gelap nan pengap dan entah ada dimana dirinya sekarang. Jika ada keajaiban saja yang mampu menolong Petra.
"Apa Veronica yang melakukan ini semua?" desah Petra lirih. Tenggorokannya terasa kering, memaksa Petra untuk berhenti berbicara sendiri.
Petra mencoba mencari ponsel disaku rok seragam sekolah. Setelah ketemu ia mencoba menyalakan ponsel dan nihil. Baterai ponsel miliknya habis. Satu-satunya alat yang Petra pikirkan bisa menolongnya terjebak ditempat gelap nan sempit pupuslah sudah.
Kali ini, Petra hanya berharap ada sebuah keberuntungan datang menghampirinya.
...
Entah berapa lama Petra terjebak ditempat itu.
Hingga pada akhirnya terdengar suara gesekan yang cukup keras berasal tidak jauh dari tempat Petra berada. Seperti bunyi besi yang saling bergesekan. Petra menduga kalau sebuah forklip sedang dioperasikan dari bunyi geruman dan gesekan dengan benda lainnya.
"Tolong, tolong aku." teriak Petra sekeras yang ia bisa.
Karena terlalu keras berteriak membuat tenggorokannya yang sakit semakin sakit yang sulit Petra tahan lebih lama.
"Tolong..." teriak Petra parau. Suaranya tidak bisa sekeras tadi.
Merasa teriakannya sia-sia, tidak ada harapan untuk siapapun bisa mendengar suaranya serta Petra mulai kesulitan bernapas karena ruangan itu semakin pengap. Bau berbagai macam kain yang baru digulung sangat menyesakkan dada.
Petra panik.
Petra merasa kalau inilah akhirnya. Hidup yang selama ini ia perjuangan ditengah kerasnya Metropol harus berakhir disini. Ditempat yang Petra sendiri tidak tahu dimana. Yang ia tahu kalau sekarang dirinya jauh berada dari pabrik kain di Dustena. Dan entah sampai berapa lama ia sanggup bertahan.
Pikiran Petra kini tertuju kepada paman Jon dan bibi Mia di Finelan yang sangat ia sayangi seperti orang tua sendiri. Ada banyak hal yang belum bisa Petra lakukan untuk mereka. Ada banyak cerita yang belum sempat Petra katakan kepada mereka. Ada rindu untuk mencubit pipi gembul Abel yang menggemaskan.
Dan, karena Petra sekarang terjebak ditempat sempit itu maka semua hal yang ada dalam pikirannya tidak mungkin bisa ia lakukan. Hanya akan menjadi sebuah angan-angan didalam mimpi. Hal itu pula yang membuat air mata mengalir dari kedua matanya.
"Maafkan aku, paman...bibi..." ucap Petra lirih hampir tanpa suara.
Kepanikkan dan pasrah sudah menguasai Petra sehingga dirinya tidak mampu lagi berpikir dengan jernih.
Disaat Petra mencoba mengikhlaskan diri, jika inilah saatnya untuk benar-benar menghilang dari dunia seperti yang Veronica ucapkan kepadanya tiba-tiba terdengar seseorang membuka paksa pintu besi.
Dentuman keras terdengar ketika pintu kontainer tempat dimana Petra berada terlontar sejauh tiga meter kedepan. Membuat Petra kaget karena cahaya matahari menyeruak masuk.
Seseorang, pria tinggi besar berdiri didepan pintu yang dibuka paksa tersebut. Karena cahaya matahari yang sangat menyilaukan Petra tidak dapat melihat wajah pria tersebut.
"Hai, namaku Sidco. Maafkan aku datang terlambat." Ucap pria tinggi besar itu memperkenalkan dirinya.
Kemudian, Sidco berjalan masuk kedalam kontainer menuju dimana Petra mendekap. Seulas senyum tipis tidak lupa mengembang diwajahnya yang kecokelatan seolah berkata kepada Petra kalau sekarang ia akan baik-baik saja karena ada aku disini.
Sejak pertama kali Petra tersadar dari pingsan akibat pukulan benda keras di Dustena, Petra tidak menyadari kalau kakinya terikat oleh seutas tali terbuat dari plastik yang mengikat kakinya cukup erat. Hingga Sidco melepaskan ikatan tali tersebut Petra sama sekali tidak menyadari hal itu.
"Siapa Anda?" decit Petra penuh tanda tanya sekaligus was was.
Petra tidak mau dirinya berada dalam situasi yang tidak menyenangkan seperti tadi, seperti sebuah pepatah mengatakan 'keluar dari lubang buaya, masuk ke mulut singa'. Sudah cukup untuk Petra mengalami hal aneh sejak dirinya berada di Metropol.
"Tenang nona. Aku akan membawamu ke rumah sakit untuk diobati. Jadi sekarang nona bisa bernafas lega dan bisa segera pulang ke rumah nona." jawab Sidco dengan tenang.
Setelah tali yang mengikat kaki Petra terlepas, Sidco langsung melemparkan tali itu keluar kontainer. Sidco lalu membopong Petra dan mendudukkannya disalah satu kursi kayu panjang disamping kontainer berwarna merah bata tersebut.
"Terima kasih." ucap Petra yang tidak tahu harus berkata apa lagi kepada pria bernama Sidco tersebut.
Pria tinggi besar berkulit cokelat itu tetap berdiri, memperhatikan Petra dengan tatapan lembut. Usia pria bernama Sidco itu tidak kurang dari tiga puluh tiga tahun. Dengan memakai seragam penjaga keamanan pelabuhan Damei kota Yamelai yang menghadap langsung ke Samudera Pasifik timur.
Tatapan mata yang lembut dari sepasang mata dengan warna tidak biasa, warna bola mata biru bersemu kuning pucat dibagian tengah mengingatkan Petra akan seseorang. Namun segera Petra tepis pemikiran mustahil kalau warna mata Sidco mirip dengan yang paman Jon.
"Nah, dari ucapanmu barusan seperti nona sudah tidak shock lagi dan kembali bisa bernapas normal. Asal nona tahu, saya sangat terkejut ketika seseorang yang lama sekali tidak pernah bertemu tiba-tiba meminta bantuanku untuk datang memeriksa salah satu kontainer diantara ratusan yang ada di pelabuhan ini. Dan hampir saja saya menganggapnya hanya lelucon salam sapa kawan lama. Ternyata keresahan yang terus menghantui tidak hilang hingga akhirnya saya berhasil menemukan nona. Beruntung nona masih hidup. Kalau dia tidak meminta tolong entah kapan nona akan diketemukan tidak bernyawa kehabisan oksigen. Apalagi tempat seperti itu dangan bau kain menyengat semacam itu, bahkan saya tidak akan tahan walau tiga detik." Ucap Sidco panjang lebar, lalu tertawa renyah seperti sedang bercanda dengan teman sendiri.
"Terima kasih atas pertolongannya tuan." Kata Petra lagi. Rasa syukur meliputi hati Petra dan ia menjadi sangat penasaran tentang siapa gerangan orang yang Sidco bicarakan sebagai kawan lama.
"Jangan sungkan. Dan panggil saya dengan Sidco. Panggilan tuan hanya membuatku seperti sangat tua loh." Balas Sidco tergelak sendiri.
"Kalau boleh tahu, apa kawan lama tuan Sidco mengenal saya atau sebaliknya?" tanya Petra penasaran.
Mendengar pertanyaan yang Petra ajukan membuat Sidco bungkam dalam beberapa menit. Petra hanya bisa menatap Sidco dengan penuh tanda tanya yang berlipat ganda karena respon yang Sidco berikan. Dan Petra semakin yakin kalau dirinya juga mengenal orang yang Sidco bicarakan tanpa sengaja itu.
-tbc-