Libur tiga hari sama sekali tidak serta merta membuat sekolah sedikit terasa santai. Malahan sebaliknya, ada banyak tugas bertumpuk menanti mereka. Salah satunya ialah kunjungan lokawisata ke kota tetangga Metropol.
Kota yang tidak asing di telinga murid SMA Metropol karena terlalu sering disebut dan juga karena letak sekolah mereka cukup dekat dengan kota industri tersebut, Dustena. Kota yang terlalu banyak asap, sebab banyak pabrik berdiri di kota tersebut selain itu hanya Dustena satu-satunya kota di Mestonia yang tanahnya boleh didirikan pabrik serta industri lainnya.
Jantung industri Negara Kedaulatan Mestonia ada di Dustena.
Kunjungan lokawisata kali ini hanya diperuntukan bagi mereka murid kelas Sosial tingkatan pertama. Dan Petra boleh bernapas lega, tidak akan ada pengganggu bernama Steven atau yang namanya tidak ingin ia sebut hari ini.
Bagaimana tidak, setelah semalam mereka tidak pulang begitu pula pada pagi harinya. Akibat kealpaan Lisa dan Lyon di rumah mereka sendiri membuat Petra harus menghabiskan pagi harinya sendirian jika dua pelayan rumah tidak termasuk dalam kategori. Belum lagi tuan rumah yang pulang tiba-tiba setelah perjalanan dinas yang melelahkan. Ruben Devaro, suami Lisa.
"Jadi kamu yang bernama Petra?" tanya Ben saat mereka berada di meja makan.
"Benar." kata Petra menjawab pertanyaan Ben yang lebih terdengar seperti sebuah interogasi polisi.
Selebihnya, Petra tidak tahu lagi harus berkata apa kepada kepala keluarga Devaro. Pria itu terlihat sedang tidak senang, hanya dari wajahnya saja sudah jelas. Maka dari itu Petra lebih memilih diam dan berbicara hanya jika menjawab pertanyaan dari Ben.
"Ku harap Lyn tidak membuatmu kerepotan. Kalau mau kamu bisa terus tinggal disini setidaknya sebagai teman Chia. Lisa sering cerita tentang betapa akrabnya kalian berdua." ucap Ben kemudian.
Walau tangan Ben memegang sendok dan mulutnya menguyah makanan tetapi sepertinya jiwa Ben sedang tidak bersama raganya. Tatapan mata Ben melayang entah kemana. Seolah ada hal pelik yang mengganggu pikiran Ben. Dan Petra hanya bisa menyaksiakan pemandangan itu dalam diam sembari mencoba menghabiskan isi piring yang dengan susah payah coba Petra telan.
"Terima kasih atas tawarannya. Akan saya pikirkan." jawab Petra setelah jeda yang cukup lama, sekitar lima menit.
Petra tidak mungkin langsung menolak tawaran tersebut saat itu juga. Sebagai seorang tamu setidaknya Petra ingin menghormati tuan rumah yang terlihat sangat kelelahan namun tetap memaksakan diri untuk makan pagi bersama Petra.
Walaupun dari luar Ben terlihat sangat dingin dan tampak tidak ramah namun Petra yakin kalau Ben adalah pria yang baik dan hangat. Ben seperti yang selalu Chia ceritakan adalah ayah yang sangat menyayangi putrinya dan setiap ada kesempatan pasti akan selalu pulang ke rumah kemudian mengajak Chia pergi jalan-jalan ke taman hiburan berdua.
Mendengar ucapan Petra, Ben hanya mendeham tanda mengerti dan melanjutkan makan dalam diam. Tidak ada pembicaraan lagi setelah itu.
Rumah yang begitu besar terasa mencekam Petra rasakan hanya dengan berada satu meja makan dengan Ruben Devaro yang pikirannya entah sedang berada dimana.
Kemudian Petra bertanya-tanya dalam hati, bagaimana bisa seorang Lisa tahan akan sikap Ben yang super dingin melebihi seseorang super menyebalkan yang ia kenal betul. Siapa lagi kalau bukan Lyonardo Levi.
...
Bus sekolah perlahan melaju membawa murid kelas Sosial pergi meninggalkan halaman depan SMA Metropol. Dengan kecepatan sedang tiga bus tersebut melintas di jalan yang terlihat lenggang karena waktu sudah menunjukkan pukul sembilan lebih tiga puluh menit dimana pekerja kantoran yang biasa membuat jalanan macet sudah berada di tempat kerja mereka masing-masing.
Hari yang terlihat cerah mengiringi perjalanan lokawisata kali ini. Banyak dari murid laki-laki bersiul demi memecah kebosanan karena sebagian besar murid yang ada didalam bus memilih tidur. Jelas kalau mayoritas murid kelas satu tersebut masih mengantuk dan terpaksa datang ke sekolah hanya karena sebuah kewajiban atau paksaan orang tua mereka.
Begitu pun dengan Petra yang mencoba tidur setidaknya untuk lima belas menit kedepan. Rasa kantuk tiba-tiba saja datang. Apalagi setelah semalam Petra tidak bisa tidur nyenyak.
Kedua mata Petra baru saja terpejam selama tidak lebih dari tiga menit saat Hime yang duduk disebelahnya menepuk bahu Petra. Dari sikap Hime yang sepertinya tidak ingin mengganggu tidur Petra namun terpaksa membangunkannya pasti ada hal penting yang ingin gadis itu bicarakan dengan dirinya.
"Katakan saja, aku mendengarkan." ucap Petra tanpa membuka mata.
"Sebenarnya agak canggung membicarakan ini denganmu, Petra. Tapi...sepertinya, setidaknya dalam hatiku yang paling dalam, sangat ingin mendiskusikan hal ini." ucap Hime terbata-bata.
"Lalu...apa ini masih berhubungan dengan Steven? Seperti dia mengajakmu pergi kencan atau ingin menjadi pacarmu? Atau ada hal lain lagi yang tidak aku ketahui?" kata Petra asal.
Tidak ada jawaban atau respon suara dari Hime untuk beberapa lama. Sampai bus yang membawa mereka melewati tikungan lalu melaju lebih pelan menuju tempat pengisian bahan bakar terdekat. Hingga bus yang mereka tumpangi benar-benar berhenti baru Hime membuka mulut.
"Iya...bisa dibilang seperti itu. Kemarin malam Steven menelepon dan mengajakku berkencan. Bagaimana menurutmu?" decit Hime menurunkan suara lebih pelan.
"Kenapa harus bertanya padaku? Jika kamu memang ingin pergi maka pergilah. Seperti yang kamu ketahui kalau tidak ada hubungan apa-apa antara aku dengan Steven kan?" kata Petra tertawa lirih.
Petra membuka kedua matanya lalu menatap Hime yang sejak tadi menatapnya. Dari pancaran mata Hime jelas menunjukan kalau gadis itu sedang dilanda kebingungan yang tidak biasa.
Hime, salah satu murid penerima beasiswa dari kota Lilibel seperti Petra tentu tidak sembarang bisa berbuat seenaknya. Apalagi untuk berpacaran. Fokus utama mereka di SMA Metropol adalah belajar, belajar dan belajar.
Jika pun keadaan yang memaksa mereka mempunyai pacar seperti yang Petra alami, tentu ada konsekuensi tersendiri atas tindakan yang mereka ambil. Dan mereka harus bisa mempertahankan prestasi sekolah jika tidak ingin beasiswanya dicabut oleh yayasan.
"Lalu bagaimana dengan sekolah? Bagaimana caramu membagi waktu antara belajar dengan Lyon?" desak Hime terpancing.
"Tidak ada trik. Belajar tetap belajar. Bahkan jika Lyon hanya akan menganggu maka tidak akan aku ladeni. Semudah itu. Jadi apa lagi yang membuatmu galau seperti ini?" ujar Petra tidak mengerti.
Dalam hubungan antara mereka, Petra dan Lyon, pada dasarnya memang tidak ada rasa suka satu sama lain. Dan itu cukup membuat Petra sedikit bersyukur karena dirinya tidak harus menghadapi dilema seperti yang sedang Hime rasakan.
Entah dimasa depan atau esok hari, Petra tidak ingin merisaukan hal itu sekarang. Ada banyak tugas sekolah yang menanti dari pada sekedar menuruti perasaan yang sama sekali tidak ia rasakan kepada pemuda arogan tersebut.
-tbc-