Saat supir mendengar nama tempat yang Petra bisikkan, arah laju mobil langsung berubah haluan. Putar balik.
"Nanti saya akan terkena masalah nona. Apa sebaiknya kita kembali menuju sekolah?" ucap supir pelan, berusaha merubah gagasan gila Petra. Membolos sekolah dan pergi ke tempat lain.
"Percuma. Nanti saya yang akan bertanggung jawab. Bapak tidak perli khawatir soal apapun. Akan saya pastikan bapak tidak akan dipecat." ujar Petra berusaha menyakinkan supir tersebut.
Sementara mobil yang Petra naiki melaju menjauh dari jalan menuju sekolah. Tidak berapa lama mereka sudah berada di perbatasan antara kota Metropol dengan kota Dustena, distrik sentra industri Mestonia. Melewati bangunan beton bercat putih dan abu-abu.
Semalam, dalam mimpi Petra bertemu lagi dengan Ken. Mimpi tentang mereka bermain dulu sewaktu kecil. Ken berpura-pura menjadi kakak tiri Petra yang baik hati, sedangkan Petra adalah anak pungut ayahnya yang tidak lama berselang menikah dengan seorang wanita berstatus janda beranak satu yaitu Ken. Mereka bersandiwara memerankan tokoh dalam buku favorit Petra, berjudul 'Kakak Tiri yang Baik Hati'.
Mimpi tersebut seolah kenangan Petra yang terpedam kemudian kembali muncul tiba-tiba. Mimpi yang membuat Petra merasa dipenuhi kasih sayang. Mimpi dimana Petra bermimpi bertemu dengan ayah dan ibu kandungnya yang sudah tiada bertahun-tahun lalu. Ayah dan ibu Petra yang tidak bisa ia ingat wajahnya. Apalagi tentang kasih sayang mereka pun Petra tidak bisa ingat pernah merasakan. Hanya satu kenangan Petra tentang masa kecilnya, kobaran api yang melahap rumah seisinya. Juga yang melenyapkan kedua orang tua Petra.
"Nona, kita sudah sampai di Taman Nasional Arca Mestonia. Seperti perintah nona." tegur sang supir membuyarkan lamunan Petra selama perjalanan dari Metropol menuju Upenina.
"Baik. Tolong tunggu disini. Ada sesuatu benda milikku yang kemarin tertinggal. Akan saya ambil." kata Petra pamit, lalu Petra melangkah keluar dari mobil menuju pintu masuk taman nasional tersebut.
Tanpa kendala Petra dengan mudah memasuki taman dan menuju arena arca kuda perang. Tempat terakhir Petra bertemu Ken. Dan, karena mimpi semalam serta ada beberapa hal yang harus Petra yakinkan dengan mata kepala sendiri tentang Ken. Tentang cerita Steven tempo hari.
Petra berjalan menyusuri selasar, tempat dimana ia tidak sadarkan diri. Petra berusaha mencari keberadaan Ken dengan berjalan dari sisi ujung menuju sisi ujung lain. Nihil. Merasa tidak menemukan apa yang ia cari, Petra menjadi frustasi. Pada akhirnya Petra duduk disebuah kursi kayu diujung lorong penghubung antara bangunan berukutnya.
"Apa yang hendak kamu cari, Petra." tanya sebuah suara, berasal dari salah satu dingin lorong tidak jauh dari tempat Petra duduk.
Suara familiar bagi Petra.
Suara yang tidak asing di telinga Petra.
Suaranya Ken. Yang Petra coba cari-cari keberadaanya bermenit-menit yang lalu.
"Kak Ken." tegas Petra tanpa ragu. Namun suara Petra bergetar, campuran antara terkejut, lega dan frustasi serta perasaan yang tidak karuan.
Dan Petra melihat itu. Saat suara Ken yang muncul tiba-tiba dari arah tembok namun tidak ada satu orang pun berada disana. Lalu, saat Ken dengan ajaibnya keluar dari dalam tembok seperti ilusi tembus pandang seorang tukang sulap atau mungkin penyihir dalam sebuah film fantasi yang tidak begitu Petra sukai. Ken tersenyum getir sesaat setelah mengucapkan kalimat tersebut.
Reflek kedua mata Petra berkedip-kedip, untuk memastikan kalau apa yang baru saja ia lihat itu benar-benar nyata atau sekedar mimpi disiang bolong. Hingga pada akhirnya Petra mencubit salah satu pipi dengan tangan kanannya keras-keras, Petra masih belum bisa percaya. Petra belum bisa menerima kenyataan dihadapannya. Sebuah fenomena supranatural sedang terjadi di depan kedua mata Petra. Suatu kejadian langka yang sama sekali tidak pernah terpikirkan akan terjadi dalam hidup Petra.
"Melihat dari caramu bereaksi seperti itu, aku yakin seratus persen kalau Steven sudah menceritakannya kepadamu. Tentang diriku. Tentang siapa aku. Bukan begitu?" tembak Ken tanpa basa basi.
Ken berjalan pelan menuju kursi yang Petra duduki. Ken berdiri dihadapan Petra menyunggingkan seulas senyum tipis. Sebuah senyum tanpa makna. Senyum bukan seperti senyum Ken yang pernah Petra lihat tempo dulu atau kemarin.
"Itu bohong kan kak Ken? Mana mungkin di dunia tempat kita tinggal ada klenik semacam itu?" sanggah Petra parau. Seluruh tubuh Petra bergetar, berusaha untuk menyangkal kenyataan yang ada didepan mata Petra.
"Aku tidak bisa memaksamu untuk percaya, Petra. Cukup lihat diriku ini saja. Biarkan kedua matamu sendiri yang menilai. Jangan bawa emosimu sebagai penyangkalan. Cukup lihat aku sekarang." kata Ken lembut.
"Pasti ada yang salah dengan mataku. Atau kak Ken sendang bermain-main denganku lagi kali ini? Bagaimana aku bisa percaya..." raung Petra frustasi.
Ken menghela napasnya berat. Ken tidak bisa berbuat apa-apa melihat adik kecilnya itu menangis sedih. Menangisi seseorang yang ia anggap sebagai kakak, sebagai pelindung ternyata bukan seperti yang Petra sangka. Dunia mereka saling berbeda. Perbedaan dimensi itu membuat Petra menangis tidak percaya.
Sejak dulu, Petra tidak mempercayai adanya hal-hal yang bersifat supranatural. Walaupun buku-buku dogeng dimasa kanak-kanaknya dipenuhi oleh cerita fantasi, bagi Petra itu semua hanya pelampiasan dirinya akan rasa kesepian. Paman dan bibinya sibuk bekerja di ladang. Dan tidak berakhir setelah bibi Mia mengandung hingga melahirkan Abel.
Sejak orang tua Petra meninggal, sejak Petra diasuh oleh paman dan bibi, Petra terbiasa mandiri. Petra tidak ingin merepotkan keluarga satu-satunya hanya karena sibuk mengurusnya. Oleh sebab itu, Petra mengisi kekosongan kasih sayang orang dewasa dengan banyak membaca buku fantasi. Petra kecil berharap, rasa haus akan kasih sayangnya menjadi sirna terhibur oleh cerita-cerita dari negeri dongeng tersebut.
"Jangan pernah menyalahkan dirimu sendiri Petra. Aku lah yang salah disini. Kalau saja aku tidak pernah muncul di depan pintu rumahmu maka semua ini tidak akan terjadi kepadamu. Maafkan aku telah membuatmu terluka seperti itu, Petra. Maafkan aku tidak punya cukup kekuatan untuk menyembuhkan tangan kirimu. Maafkan aku untuk semua ingatanmu tentang diriku." bisik Ken penuh haru.
Tangan kanan Ken terulur menyentuh atas kepala Petra. Membelai rambut Petra yang sebahu dengan lembut. Belaian seorang kakak kepada adik kecilnya yang kesepian.
"Aku yang harus minta maaf." decit Petra, berusaha menghapus air mata di kedua pipi.
"Jangan memaksakan dirimu Petra. Jadilah Petra kecilku yang selalu memandang kedepan penuh semangat. Masa depanmu masih panjang, Petra. Dan selamat tinggal." kata Ken lagi. Lalu, samar-samar tubuh Ken terlihat memudar begitu saja. membuat Petra yang sudah berhenti menangis kembali histeris.
"Kak Ken, jangan pergi." raung Petra.
"Tidak, Petra. Setelah kamu mengetahui tentang diriku yang sebenarnya, aku harus menghilang dari hidupmu selamanya. Atau aku harus menghapus kenangan tentang kita dari ingatanmu." bisik Ken untuk terakhir kali sebelum benar-benar lenyap.
-tbc-