"Ayah! Ibu! Lihat apa yang ku dapatkan!"teriak seorang anak laki-laki. "Wah, juara pertama kompetisi sains daerah! Anakku memang hebat!"ucap sang ibu sembari membelai rambut anaknya. "Aku hebat kan, ayah?"tanyanya lagi sembari menunjukkan piagam penghargaan pada ayahnya.
"Kerja keras memang berbuah manis,"katanya sembari membelai rambut sang anak. "Ayo kita pulang. Ibu sudah menyiapkan makanan kesukaanmu di rumah!"kata sang ibu. "Darimana ibu tahu aku akan menang?"tanya sang anak dengan polosnya. "Firasat seorang ibu tak pernah salah."jawabnya sembari tersenyum.
"Besok kau harus ke balai kota kan?"tanya sang ibu. "Ya! Befok hompetivi tingkat hafional! Fenentuan haintis herbaik di Eheanor!"jawab sang bocah dengan mulut penuh. "Habiskan makananmu sebelum berbicara, nak."ujar sang ayah. "Vaik!"
Raut sang ayah terlihat kusut. Ia tak banyak bicara dan terlihat murung. "Aku sudah selesai."katanya meninggalkan setengah makanannya di meja makan. Ia minum, menyalakan cerutunya dan mulai menapaki tangga.
Ibu dan anak itu memandangnya dengan khawatir. Sang anak menunduk, mukanya muram, "Ayah tak pernah menyalakan cerutu ketika aku makan." Sang ibu mengangguk, tanda setuju. "Ayahmu juga tak pernah menyisakan makanannya, sebutir nasipun tidak. Kecuali,"
"Kecuali apa bu?"tanya sang anak. Sang ibu menatap sang anak dengan penuh kasih. "Tidurlah, nak. Kau butuh istirahat. Biar ibu yang menangani ayah."kata sang ibu sembari tersenyum. "Tapi, aku juga mau tahu alasan ayah bersedih."katanya dengan muka muram.
"Ibu tau. Kau pasti khawatir karna kau sayang ayah. Tapi, untuk kali ini percayakan pada ibu ya?" Ia berlutut, memegang kedua tangan anaknya dan menatapnya penuh harap. "Baiklah,"
Esok harinya, sang ayah dan ibu mengantarkan anaknya ke balai kota. Gedung itu penuh, tetapi mereka tetap berusaha untuk masuk. Untungnya, ayah dan ibu itu masih mendapat tempat duduk untuk melihat anak mereka bertanding dari kejauhan. Sang anak memandang kepada kedua orangtuanya. Dalam hati kecilnya, ia berharap ayahnya akan tersenyum dan menyemangatinya, seperti yang biasa dilakukannya.
Tapi, apa yang dilihatnya bukanlah raut kegembiraan ataupun kepedulian. Ketakutan, terpampang jelas pada wajah sang ayah. Ketakutan yang sangat besar, hingga membuat seluruh tubuhnya gemetar. Ketakutan yang besar, hingga mukanya pucat pasi.
"Sayang? Ada apa?"tanya sang perempuan. "Mereka...mereka akan membawanya."ujar sang ayah terbata-bata. "Siapa yang kau maksud sayang?"tanya sang perempuan lagi. "Mereka ada di sini! Mereka ada di sini!"kata sang ayah dalam kegilaannya.
Perlombaan berlangsung dengan cepat. Sang anak berhasil menjawab semua soal dengan tepat, mengalahkan lawan-lawannya. Ayah akan tersenyum saat melihatku menang. Ayah akan bangga ketika melihat medali itu tergantung di leherku. Dan aku akan menggantungkannya di leher ayah. Ayah pasti akan tersenyum kembali, pikirnya dalam hati.
Dengan medali di lehernya, ia berlari secepat mungkin. Ayah dan ibu pasti sudah menungguku di ruang peserta. Aku tak sabar. Sebentar lagi, aku akan bertemu dengan ayah!
Brak! "Ibu! Ayah! Aku me...nang." Apa yang di hadapannya mengejutkan dirinya. Tiga orang asing berdiri di hadapan orang tuanya. Sang ayah bersujud, tubuhnya bergetar. "Oleander, kau tahu arti kedatanganku kemari."ujar seorang pemuda di tengah. "Tidak, jangan ambil anakku. Ku mohon!"
Sang pemuda melihat ke arah sang anak. Anak tersebut berlari dan berpegangan erat pada ibunya. Keduanya tak mengerti apa yang terjadi, namun satu hal yang dimengerti sang ibu, anaknya, anak semata wayangnya akan dibawa oleh mereka, orang-orang mencurigakan yang jelas tak punya maksud baik.
"Lari, nak."bisik sang ibu. DUAR! Sebuah peluru tertancap di tembok, menggores pipi kiri sang perempuan tepat sebelum sang anak menginjakkan langkah pertamanya. "Ups, aku meleset. Maafkan aku, VX."ujar sang lelaki pirang. Pemuda itu memandang ke arah sang anak. "Bagaimana?"tanyanya singkat.
"Jangan sentuh orang tuaku,"jawab sang anak dengan tatapan tajam. Sang pemuda tersenyum. Ia berbalik, dan berjalan keluar. "C, bawa anak itu." C, pemuda kekar bermata satu itu mengulurkan tangannya pada sang anak. Anak itu menepisnya dan menatapnya tajam.
"Cepat,"kata VX dari luar rumah. Sang anak berbalik. Ia merobek lengan bajunya, menghentikan pendarahan ibunya dan mencium tangannya. Ia memandang ayahnya yang masih tetap dalam posisinya. "Selamat tinggal, ayah."ujarnya sembari menggantungkan medalinya ke leher sang ayah.
"Maafkan ayah,"bisiknya pelan. Tapi, anak tersebut tak mendengarnya. Ia berlari keluar, menyusul ketiga orang tersebut.
"Mulai sekarang, namamu Hemlock. Selamat bergabung di organisasi Manchineel."ujar pemuda itu sembari menjulurkan tangannya. Anak itu membalas jabatannya. "VX," ujar pemuda itu. "Aku B, sniper dan ini C, bodyguard tuan VX."ujar lelaki pirang sembari melangkah masuk ke kereta kuda.
"Kau akan diberi ruangan khusus, makanan, pakaian dan semua kebutuhan keluargamu akan terjamin."ujar B. Anak itu tak menjawab, ia memandang keluar jendela dengan tatapan tak peduli. "Bocah kurang ajar, setidaknya dengarkan ketika aku berbica..."
Cklek. Grep. B mengeluarkan senapannya, anak itu mengeluarkan sebuah buku. Tangan C mencengkeram erat pergelangan tangan keduanya. "B, turunkan senapanmu."ujar C. "Dan Hemlock, kembalikan bukumu ke dalam tas."
Anak itu menatap tajam C, tangannya tak bergerak, tetap berada di depan hidung B. "Diam."ujar VX. Ia menatap tajam B dan anak itu. Anak itu merinding, tak pernah ia merasakan hawa yang menyeramkan seperti itu.B gemetar, ia mengembalikkan senapannya ke sarungnya. Tak lama kemudian, anak itu kembali memasukkan bukunya.
"Kita sudah sampai,"ujar C. VX mendampingi anak tersebut,berjalan disampingnya dan diam-diam mengambil bukunya. "Tch, lucu sekali. Melawan sniper dengan sebuah buku? Apa yang dilihat Tuan VX dari anak itu?"
"Kaulah yang tidak mengerti, B"ucap C. "Itu bukan buku biasa. Itu bom potasium nitrat."ujar C. "Tidak mungkin,"ujar B sembari melihat sang anak. "Ingatlah B, sekeras apapun kita bekerja dengan kedua tangan kita, mereka bisa menghancurkan kita dengan otak mereka kapan saja."katanya sembari berjalan lalu. "Tch! Cerewet!"gerutu sang sniper sembari mengikuti C dari belakang.
C menunjukkan dan mengantar anak itu ke tempatnya. "Ini tempat kerja sekaligus kamarmu. Kantin di lantai dua, aula pertemuan di lantai 3. Jas laboratorium wajib dipakai selama kau berada di daerah Manchineel. Kalau ada yang ingin ditanyakan, silakan tanyakan padaku."kata C. "Tidak, terimakasih."ujar sang anak sembari menunduk.
"Kalau begitu aku permisi."kata C sembari menunduk. "Dan Hemlock," Anak itu berpaling, menatapnya. "Kau bisa menceritakan apa saja padaku. Mengerti?" Anak itu mengangguk, meski dalam hatinya ia menolak. Mengatakan hal-hal yang melukainya tak akan menguntungkanku, katanya dalam hati. Sekalipun aku mendapat celah dan kabur, mereka tahu dimana orangtuaku tinggal.
"Pemberitahuan, kepada semua peneliti, diharapkan berkumpul di aula pertemuan sekarang. Sekali lagi, pemberitahuan kepada semua peneliti, diharapkan berkumpul di aula pertemuan sekarang."
Anak itu bangkit, mengambil jas laboratoriumnya dan menuju aula pertemuan. Begitu ia masuk, pintu ditutup dan seorang lelaki menampakkan dirinya di podium. Begitu melihatnya, anak itu terdiam. Ia tak percaya apa yang ia lihat. Ia tahu siapa lelaki itu. Tidak, ia kenal baik siapa lelaki yang berdiri di podium itu.
"Ayah?"