Chereads / Ardiansyah: Raja dari Neraka / Chapter 57 - Chapter 6: New Home

Chapter 57 - Chapter 6: New Home

Setelah segala tradisi adat, pesta perayaan pun resmi dimulai. Para musisi Ratmuju menggabungkan musik mereka dan mengiringi sejuta kemeriahan. Sayangnya gabungan mereka sedikit membentuk... sihir cinta (atau sihir spiritual, terserah kalian mau menyebutnya apa), efek ini terlalu kuat untuk beberapa orang. Dan… huft… hal ini pun terjadi.

"Hai cowo, dengar-dengar nih kalian pintar soal logam, ajarin kami dong, boleh gak?" Dua orang gadis Genka dengan tubuh mereka yang lentik dan gaya mereka yang melengok feminim, mendekati seorang pemuda Iska yang sedang sibuk mengambil makanannya.

Namun pemuda itu tanpa mengucapkan apa-apa beranjak dari tempat itu dan pergi berdiri di tempat lain.

"Wah dinginnya…"

"Keren…"

Gak paham? Sama aku juga, perempuan itu aneh. Dan sementara itu di pikiran si Iska, hal ini terucapkan.

"(Ya Tuhan, cantik-cantik banget, dah gitu badannya… apa-apaan itu!? Menakjubkan!)"

Iya… iya… aku tahu, menyedihkan bukan? Fakta bahwa Iska di Daratan masih memiliki nafsu Ilmuan Langit di saat Pohon Kehidupan tidak sedang bereinkarnasi kadang membuatku amat menyayangkan mereka.

Lalu sementara itu di lain sisi.

"Hai gadis, sendirian aja nih…" Seorang pemuda Genka datang menggoda gadis Iska. Dan sama seperti Iska sebelumnya, gadis ini langsung beranjak dari tempat itu. Namun kali ini ada sesuatu yang berbeda. Si pemuda Genka lekas menyambar, berjalan ke depan dan menghadangnya.

"Tak perlu sedingin itu padaku nona, atau perlukah kita… menghangatkan suasana?" Ia memasang senyum manja yang anehnya tidak membuatku jijik.

Gadis itu tak kuasa memandang si Genka dengan ekspresi panik, tetapi mukanya luar biasa masak (kurasa tiap gadis Es memiliki sikap yang mirip). Dan inilah yang ada di benaknya pada saat itu.

"(Demi roh beku, gak kuat! Ganteng banget!)"

Aku benar-benar berharap generasi dari Iska di Daratan tidak semenyedihkan ini, tapi apa boleh buat?

***

Sore pun berganti malam, para Genka menyalakan api-api mereka di sepengunjung kota. Tapi kali ini ada sedikit yang berbeda dengan api di pusat kota bagian dalam setelah dinding ketiga. Mereka semua memiliki warna yang unik dan berbeda-beda.

"Aku tak tahu Genka mampu menciptakan api yang sebegitu berwarna-warni." Mata Naema berbinar dari atas bangkunya di pelaminan.

"Sebenarnya belum lama semenjak kami mempelajari soal ini." Jelas Amartya.

"Hmm…" Sang Permaisuri memandang Amartya dengan wajah yang datar, namun hasrat ketertarikannya cukup memancar untuk disadari Amartya.

"Lumayan menarik."

"Ngomong-ngomong adinda, aku sempat melihatmu tadi pagi."

"Oh ya!? Kapan?" Mendengarnya wajah Naema seketika bersinar, ia hampir berdiri dari singgahsananya.

"Ketika kamu baru marah ke pak Fannar soal menikah hari ini."

*Buk!*

Gadis itu kembali tertempel pada kursinya dengan tangan bersilang.

"Salah papa aku gak dikasih tau kalo kakanda datang melamar pada saat itu."

"Bicara soal itu, baju kamu bagus juga pas datang."

*Hop!*

"Sungguh!?" Kini dia benar-benar melompat dari kursi malangnya.

"Baju itu aku sendiri yang buat, walaupun desainnya dibantu oleh kak Ester… oh juga selama kita terpisah aku sempat belajar beberapa hal dari Ibunda Zoastria."

"Boleh juga…" Lihat bocah api itu tersenyum songong dan meninggikan kepalanya.

"Tapi adinda, kamu bukan satu-satunya orang yang belajar dari para Peghuni Surga."

"Hee… Kakanda juga?"

"Coba kamu perhatikan langit pada malam ini."

"Langit?" Naema segera menolehkan kepalanya ke atas.

*Klik!*

Lalu Amartya pun menjentikkan jemarinya.

Angkasa yang dipenuhi lentera, seketika diserbu ratusan jejak api yang meluncur ke atas. Kesetiap dari mereka meledak, bagai bunga-bunga api, menghiasi langit malam dengan cahayanya yang indah dan berpancarona.

Mata si Gadis tak kuasa berkilau penuh gemerlap, terbuka lebar dengan seisi malam terlukis di atasnya. Pipinya memerah, dan bibirnya terlepas dari cengkamannya.

Perayaan menjadi semakin ramai dengan suara mereka yang menikmati kembang api, namun tak satupun suara mereka menghampiri Naema, ia sungguh terhipnotis. Tiba-tiba tangannya tergenggam oleh sesuatu yang hangat, yang menyadarkannya kembali dari atap dunianya.

Di sana ia menemukan kekasihnya, tengah memandang ke arahnya, dengan senyuman yang terhiasi warna malam yang kian terus berganti.

"Kamu tumbuh menjadi gadis yang cantik adinda."

Suara Amartya seakan menghangatkan dadanya.

"Kakanda juga, kini begitu tampan dan gagah." Gadis itu membalas tersenyum dengan sebegitu manisnya.

"Bukankah itu sudah jelas?"

Mendengarnya, Naema tertawa geli.

Rembulan dan bintang-bintang seakan merayu mereka malam itu, dan tangan Amartya perlahan mengelus lembut pipi kiri permaisurinya, membimbing kedua wajah tuk saling mendekat, memejamkan mata di tengah suasana. Kini tak ada lagi yang menjadi penghalang di antara bibir mereka. Raja dan Ratu pesta kian menikmati diri di saat semua orang sibuk dengan cahaya yang bertaburan di Angkasa.

Kalian tanya bagaimana bisa Amartya berakhir mencumbu Naema? Itu karena Pohon Kehidupan sedang iseng dan mengalirkan energinya ke pelaminan mereka!

Beliau punya kontrol atas hawa nafsu Penempa Bumi. Ia bahkan juga mampu membuat seorang wanita mengandung di luar masa reinkarnasi. Aku bingung mengapa makhluk yang sudah ribuan tahun umurnya bisa bersikap sebegitu kekanakannya. Terkadang aku takut sikap konyolnya bisa membawa kehancuran pada orang-orang di Daratan.

***

Malam pun berlalu dan pesta upacara pernikahan Amartya dan Naema akhirnya selesai. Inolatendo mempersilahkan keduanya pulang terlebih dahulu, mereka yang akan membereskan sisa-sisa upacara.

Amartya dan Naema kini beranjak ke rumah baru mereka di Mitralhassa, rumah kecil yang ditinggali Naema semalam sebelumnya. Mereka ke sana dengan kereta kuda yang sama dengan kereta kuda yang dinaiki Naema sebelumnya. Mengingat kereta itu memang milik Amartya dengan kuda yang ia jinakkan dan besarkan sendiri.

"Ayo kakanda kita harus cepat pulang!" Gadis hampir besar kita bersikap teramat heboh, dia bahkan duduk di bangku kusir bersama Amartya.

"Mengapa terburu-buru?" Tentu saja karena hal itu, Amartya menjadi semakin berhati-hati agar permaisurinya tidak terlempar dari kereta.

"Kakanda akan tahu ketika kita sampai." Ia menyeringai dengan wajah yang tampak nikmat untuk ditampar.

"6 tahun dan gadis ini menjadi gila." Aku tak bisa lebih setuju lagi.

"Bukankah aku sudah layak dipanggil wanita sekarang?"

"Oh, tentu saja nyonya." Dengar betapa songongnya dia.

Setelah berkendara sekitar sekian puluh menit, mereka pun sampai di rumah mereka.

"Satu…"

"Dua…"

"Tiga!"

Dengan cincin api dan es mereka bersama membuka pintu. Kedua lingkaran kemudian melukis sepasang wanita dan pria yang sedang saling bergenggaman tangan di bawah matahari. Lingkaran cahaya itu memiliki sinar yang terus berputar layaknya roda gigi.

Asap pun keluar dari sela kedua pintu, dan perlahan terbukalah pandangan isi rumah kecil itu. Namun yang mereka lihat tak lain hanyalah ruangan gelap tak bercahaya. Karenanya, Naema tampak sedikit kecewa dengan apa yang kini terpampang di depannya.

*Klik!*

Namun Amartya kemudian menjentikkan jarinya, menyalakan tiap tungku api di dinding rumah. Seluruh ruangan kini di sinari oleh api mentari, dan betapa terkejutnya Amartya melihat seisi rumah telah penuh dan tertata rapih.

"Whoa, ini baru namanya rumah…" Amartya tak sanggup mengedipkan matanya.

"Oh jadi itu mengapa banyak tungku menempel di dinding." Dengan penasaran si gadis meletakkan jemari di atas bibir mungilnya.

"Kamu yang beresin ini semua!?" Amartya berjalan ke dalam, memandangi tiap sudut ruangan.

"Hihihi, lumayan kan?"

"Lumayan? Ini menakjubkan!"

"Te-ri-ma ka-sih." Si gadis (wanita) menari kecil, tampak begitu bangga dengan hasil kerjanya.

"Bagaimana caramu membawa semua benda ini?"

"Dimensi pribadi tentunya."

"Ahh…" Pemuda itu bisa merasakan tubuhnya perlahan melemas.

"Andai tasku bisa memiliki ruang sebesar itu."

"Aku bisa kok, menciptakan dimensi dalam tas kakanda yang akan memperluas isinya menjadi belasan kali lipat."

"Sungguh?" Ia seakan terisi ulang.

"Itu akan sangat membantu."

"Ngomong-ngomong, kakanda. Bagaimana caramu bisa membuat api berwarna-warni seperti tadi?" Naema mendekati salah satu tungku api.

"Oh itu? Seorang Dramu (musisi Kegelapan) bernama Jabir mengajariku tentang kegunaan lain alkali dan alkali tanah."

Amartya kemudian mematikan tungku api di depan Naema dan berjalan ke arahnya. Ia mengeluarkan tas kecil dari tas besarnya, dan mengambil sebuah lipatan kertas yang berisi bubuk logam.

"Perhatikan, aku akan menaruh sesium pada tungku ini, lalu kita nyalakan apinya." Ia pun menuangkan bubuk itu, dan kembali menyalakan apinya. Tungku itu kini berubah mengeluarkan api berwarna ungu.

"Lihat? Mudah bukan?"

"Wah… coba yang lain."

"Baiklah, kini kita coba barium."

Api itu sekarang menjadi warna hijau.

"Keren…"

"Kalau kamu mau nanti aku akan ubah tungku ini agar kamu bisa memasuk-keluarkan logam tanpa mematikan apinya."

"Bisa!?"

"Tentu saja, jangan pernah meremehkan keinsinyuran Genka."

"Hihihi… luar biasa."

"Sekarang aku akan matikan beberapa tungku api ini, kita beranjak tidur." Amartya menyisakan dua tungku api di dekat kasur mereka menyala, lalu berjalan ke arah ranjang yang telah dipasang Naema.

"Apa!? Bagaimana kakanda bisa tidur? Malam kan masih panjang!"

"Jika malam pertama yang kamu cari… itu tidak berlaku bagi Penempa Bumi, Pohon Kehidupan tidak memberi kami cukup nafsu ataupun kemampuan berkembang biak di saat dia tidak sedang bereinkarnasi." Amartya lekas merebahkan dirinya.

"Sekarang tidurlah, kita sudah harus menyiapkan peperangan esok pagi hari."

"Ba… baiklah…"

Naema pun berakhir memaksakan dirinya menyusul Amartya pergi tidur, walau penuh dengan kekecewaan. Bahkan sang Putri Salju sama menyedihkannya dengan Iska lainnya.

Oh Pohon Kehidupan, mengapa kamu tidak ambil alih nafsu Iska juga?

Sebenarnya aku sudah bertanya kepadanya soal ini, ia bilang hal itu agar Iska di Daratan menjadi yang paling liar di saat dirinya bereinkarnasi. Dasar pohon sinting! Bahkan itu bukan jawaban yang sebenarnya! Berani-beraninya dia...