Chereads / Ardiansyah: Raja dari Neraka / Chapter 61 - Side Story : Sound of Heaven

Chapter 61 - Side Story : Sound of Heaven

Oleh: DiVarri Horace

Buana Yang Telah Sirna, Italia, 2061. Perang dunia ketiga kini sibuk melanda tiap belahan dunia. Namun, di masa-masa gelap ini aku tetap bersikeras menekuni apa yang telah kucintai sejak kecil, karena hanya ini yang mungkin bisa aku lakukan untuk mewarnai dunia di masa terkelamnya.

Musik namanya, sekumpulan variasi suara yang membentuk lantunan melodi. Di zaman ini kebanyakan musisi menggunakan teknologi untuk menciptakan musik mereka, namun aku, lebih tertarik pada cara yang lebih... klasik.

Aku memulai karirku dengan sebuah biola alto yang diberikan ibu ketika berumur 4 tahun. Dia seorang pemain biola profesional yang tergabung dalam orkestra terbesar di Eropa. Semenjak kecil dia selalu menemaniku bermusik hingga datang waktu tidur.

Lalu di usia 21 aku berhasil lulus dari universitas musik kerajaan di London sebagai lulusan terbaik. Saat itu sekiranya kurang lebih 9 jenis alat musik sudah kukuasai, dan dengan ilmu yang kudapat aku mulai menciptakan beberapa lagu dan meminta orkestra-orkestra besar untuk memainkannya.

Sayangnya tahun 2047 pun datang, perang akhirnya mulai berkecamuk di seluruh dunia.

Karena namaku yang reputasinya, katakan saja... cukup disenangi kebanyakan orang di beragam sisi dunia, pemerintah Itali memintaku agar menjadi intel mereka untuk melakukan pengintain data ke banyak negara, terutama di Bumi.

Awalnya aku menolaknya, namun mereka memberikan sebuah tawaran untuk mendapatkanku izin dan biaya masuk ke tiap perpustakaan serta museum musik di negara yang kukunjungi. Dan mereka menang, aku termakan rayuan manis itu.

Aku kemudian mulai meneliti setiap info militer musuh-musuh Itali, disampingi setiap ilmu mengenai musik. Lalu dari sana, aku mulai mendapati keingininan baru, aku ingin membuat alat musik.

Dengan yakin aku memilih biola karena keanggunannya. Kata demi kata kupelajari untuk bisa menciptakan sebuah biola dengan kualitas terbaik, tetapi teori saja tidak cukup, aku harus mulai mempraktekkannya.

Sayangnya yang bisa aku temui hanya video-video kecil di internet. Mereka yang biasa membuat biola dengan tangan kini tergantikan oleh mesin-mesin yang jauh lebih canggih ketimbang tulang dan daging mereka, aku terpaksa mulai belajar sendiri cara membuatnya.

Namun hasil-hasil yang aku dapatkan tak pernah memuaskan hati, selalu saja ada bagian yang aku tak suka dari karyaku.

Bahkan tiba dimana aku mulai berpikir untuk menyerah membuat biola, dunia ini sudah terlalu terotomasi untuk sesuatu yang terproduksi secara konvensional, dan para perakit biola kini sudah terlalu tua untuk tetap hidup. Tapi beruntunglah aku, angin membawakan ceritanya di waktu yang tepat.

Seseorang telah berhasil menciptakan mesin yang akan membuatku terlahir kembali di masa lampau. Walau terdengar cukup gila, ini adalah kesempatan yang amatlah besar bagiku. Aku akan hidup di masa di mana musik klasik masih sangat dihargai, dan mengemban ilmu di sana.

Jika ilmuku bisa kubawa dari masa depan, mungkin aku akan menemukan revolusi pembuatan alat musik, sebagaimana yang telah aku impi-impikan.

Aku lalu pergi menemui si jenius, dan memintanya untuk membawaku terlahir pada sebuah keluarga pembuat alat musik di abad ke-17. Aku juga dengar pada masa itu pohon-pohon telah mengalami musim dingin dan panas yang berkepanjangan, ini akan membuat kayu di sana kokoh dan padat, sangat bagus untuk membuat biola.

Sang pembuat alat sejujurnya agak menyayangkan aku pergi meninggalkan era ini, dia pikir dunia masih butuh akan karya-karyaku. Tapi sekarang sudah tahun 2061, aku sudah tua, biarlah orang lain yang menggantikan peranku.

Dia juga meminta biaya yang sangat mahal untuk menggunakan alatnya, tetapi mengingat kembali, aku akan meninggalkan semua yang ada di dunia ini, jadi apalah gunanya harta bagiku.

Pada akhirnya kita mencapai sebuah kesepakatan. Dia akan mengirimku ke tahun 1644, pada sebuah keluarga bernama Stradivari. Keluarga ini punya nama yang besar dalam pembuatan alat musik, sebuah pilihan yang amat menarik jika aku boleh bilang.

Aku lalu berbaring masuk ke dalam alat itu. Dengan aba-abanya benda itu pun mulai berkerja, aku bisa merasakan setiap partikel tubuhku ditarik ke dalam cahaya, cukup menyakitkan jika aku boleh bilang, tetapi pengorbanan seperti ini perlu dilakukan.

Seisi dunia rasanya bersinar ke arahku. Dan roh ini... dibawa ke sebuah tempat yang hampa. Di sana aku mendengar suara yang terbisikkan pada benakku.

"Isn't it weird that your whole life, is ruled by a concept."

"Thing that doesn't even have an actual form."

"Every time it ticks, it mocks your every moves."

"You can't touch it, can't rewind it, can't control it."

"Yet it judged every decision you made."

"When you're happy, it runs fast."

"When you're sad, it slows itself."

"When you're waiting, it becomes lazy."

"When you're in a rush, it becomes diligent."

"It contributed nothing, accomplished nothing."

"The only thing it do is laughing at your own failure."

"Don't you just hate time?"

"Its whole existence is just to remind you how finite you are."

Aku tak tahu mengapa aku mendengar suara-suara ini, yang aku tahu, aku berakhir membuka mataku di dunia yang berbeda.

Aku berada di tangan hangat seorang wanita, yang aku yakin adalah ibuku. Di sampingnya seorang pria menyelamati kedatanganku ke dunia ini, yang tentu aku yakin dia tak lain adalah ayahku. Mereka memberikanku sebuah nama, Antonio Stradivari.

Sesuai harapan, aku memiliki semua ingatan dari kehidupan sebelumnya, aku mungkin bayi terpintar yang pernah ada. Tetapi aku berusaha sebisa mungkin untuk menutupi fakta ini, aku tak ingin kedua orangtuaku tiba-tiba terkena serangan jantung mengetahui aku sebenarnya sudah bisa berbicara (atau bahkan lebih tua dari mereka).

Setelah 12 tahun aku menjalani kehidupan baru ini, akhirnya aku berguru pada seseorang bernama Nicola Amati, layaknya kakakku di keluarga ini. Dia tak seharusnya mengajar seseorang di luar keluarga Amati, tapi dia termasuk pembuat alat gesek terbaik dalam sejarah, jadi mengapa tidak.

Kuakui ia merupakan guru yang hebat, aku akhirnya bisa membuat sebuah instrument yang layak di umur 16. Tetapi ketimbang dirinya ilmuku jauh lebih luas, lama-kelamaan gaya instrument yang aku ciptakan pun mulai berbeda jauh darinya.

Kupakai setiap ilmu dari kehidupan terdahulu untuk membuat alat-alat musik yang sempurna. Para instrumen inilah yang mengeluarkan suara indah, seakan datang dari Surga kata orang. Dan tentu, kalian mengenal mereka, dengan nama, Stradivarius.