"Sebelum itu, kakanda. Aku ada sedikit hadiah untukmu. Ya sebenarnya aku ingin memberikan ini saat pertama kita berjumpa, tapi lebih baik telat dari pada tidak sama sekali." Naema lekas mengeluarkan sebalut kain dari dimensinya, dan memberikan benda yang nampaknya teramat keras itu.
"Apa ini?" Amartya membuka kain tersebut.
"Itu adalah paduan magnesium dengan silikon karbida, ia jauh lebih ringan dan keras dari titanium…"
Kalian masih ingat dengan benda yang kuberikan pada Tuan Putri kita?
"Magnesium juga logam yang mudah terbakar, jadi aku pikir ini bahan pedang yang bagus untuk kakanda."
Aku tak pintar alkimia, tapi bukankah berarti logam itu akan tumpul dan habis terbakar bila terlalu sering digunakan?
"Mengesankan, aku tak pernah terpikirkan soal ini, kurasa Ilmuan Langit memang jauh lebih maju soal alkimia ketimbang kami, tapi aku tetap akan memakai tungsten karbida untuk ujung tajam yang sempurna."
Nampaknya Amartya juga setuju denganku.
"Oh, ngomong-ngomong itu bukan magnesium biasa, Polar, sang Raja Magnet sendiri yang membuatkannya khusus untuk kita."
Aku mengolahnya, bukan membuatnya.
"Tunggu sebentar, bukankah magnesium dan magnet dua hal yang berbeda?"
Tepat.
"Memang, itu sebabnya magnesium ini spesial, ia bersifat fero bukan para, dengan kata lain dia bereaksi kuat dengan magnet."
Kalian berharap apa dari Raja Magnet?
"Apa untungnya bagi kita?"
"Entahlah, aku tak terlalu mendalami fungsi magnet, tapi dia orang yang paling aku percaya mencari logam murni, jadi ya apa boleh buat."
Kalian ingin tahu mengapa aku membuatnya feromagnetik? Sayang sekali aku tak akan memberitahukannya, hehe. Anggap saja rahasia dagang.
"Baiklah, aku akan kirim ini pada Dinendra, pandai besi terbaik di suku Api, untuk dijadikan sebilah santi yang baik." Amartya kemudian memasukkan logam itu pada tas besarnya.
"Aku pikir kakanda pandai besi terbaik di suku Api?"
"Kamu tidak bisa menjadi yang terbaik dalam segalanya, adinda. Sekarang ayo kita mulai mebayar."
Setelah membayar semua barang itu, Naema memasukkan barang belanjaannya ke dimensi pribadinya.
"Oh! Oh! Kakanda!" Gadis itu seakan melompat.
"Ada apa?"
"Aku hampir lupa tapi lihat lah ini." Naema seketika mengeluarkan 3 makanan beku dengan 3 warna berbeda.
"Ini, kalau tak salah ayah pernah membawanya pulang, es krim kah?"
"Benar! Tapi bukan sembarang es krim, ini ramuan penyembuh, pengisi energi dan penguat." Naema menunjuk pada mereka satu demi satu.
"Bukankah seharusnya mereka berbentuk minuman?" Amartya tak memahami ataupun tertarik pada produksi makanan, hal ini terlihat sangat membingungkan baginya.
"Iya, tapi Iska tak terlalu suka dengan rasa ramuan, jadi kami mengubahnya menjadi es krim yang lebih manis dan menyenangkan!" Naema begitu girang dan bangga akan kreasinya.
"Tunggu, tidakkah kalian hanya perlu melarutkan pemanis di dalamnya?" Ia berbicara soal rasa ramuan.
"Apa? Tapi itu tidak menyenangkan."
"Ahh… oke… menarik (kurasa), aku akan mencobanya nanti, sekarang kita perlu kembali pada bangsawan itu, tak baik meninggalkannya begitu lama memunggu kita."
"Dimengerti~" Gadis (wanita) itu terlihat amat cerah hari ini. Ya, aku masih merasa janggal memanggil perempuan tanpa anak (apalagi perawan) dengan sebutan wanita.
*
Setelah itu mereka kembali ke Indomo untuk menuju salah satu pertambangan logam suku Tanah. Tambang ini berbentuk sebuah gua besar dengan berbagai batuan logam menempel pada dinding-dindingnya. Di depannya para penambang membuat gerbang besar dari semen dan bebatuan.
"Sudah sangat lama semenjak terakhir aku melihat dinding-dinding yang bergelimpangan sekian banyak bijih logam, apa dirimu pernah melihat hal semacam ini adinda?" Tanya Amartya.
"Tidak…" Mata Naema kian terhipnotis oleh bebatuan logam dan mineral yang bercahaya dengan beragam macam warna di tengah kegelapan gua.
"Tempat ini menakjubkan dan kian gemilang!"
"Tapi, bukankah gua ini terlalu dingin, tuan Indomo?" Tanya Amartya pada raksasa di sampingnya.
"Suasana di gua memang relatif dingin, Tuan." Indomo tersenyum seraya menjawab pemuda tersebut.
"Sungguh!? Bagiku suhu di sini terasa nyama—" Wajah Naema mendadak kaku, kian tersadar akan sesuatu. "Oh tidak…"
*Shhnng!*
Setiap batu di sekeliling mereka seketika memancarkan kilauan merah. Tempat itu mendadak panas dan menghembuskan uap yang mengepakkan pakaian setiap orang di sana. Indomo yang panik spontan menoleh ke arah Amartya, dan menemukan di depan wajahnya, tiga lingkaran api telah terbentuk begitu cerah dan merah. Senapan Amartya telah tertodong tepat di dagunya.
[Seni Api]
[Tingkat 7]
"(Ledakan Suhu Terpusat)"
"Genthersion… Intera!"
Asap pun menyentak dari senapannya, peluru api kian menyulap gua itu terang benderang, sesaat ketika dirinya menembus kepala Indomo. Tanah mereka berpijak kini serasa panas kian membara.
Naema menyusul mayat pertama Amartya dengan membekukan kaki setiap anak buah raksasa di sana, lalu membiarkan Amartya menembak habis mereka semua.
"Apa tak apa-apa kita membunuh bangsawan Ambawak?" Meski pertanyaan Naema begitu waras, wajahnya menampakkan kedinginan perasaannya. Mood seorang Iska akan dengan cepat berubah ketika mereka mulai memantrakan sihir di mode bertarung, demi memastikan suhu tubuh mereka tetap rendah.
"Tidak, dia bukan Indomo asli, bangsawan Ambawak selalu memiliki kulit yang bersih dan cerah, dari awal memang ada yang salah dengannya."
"Lalu, mereka siapa?" Gadis es itu mencoel-coel mayat di hadapannya dengan tongkat sihir.
"Kemungkinan salah satu dari dua keluarga bandit, Dehset atau Nefret, bandit di sini cukup berbahaya dan rela bersekongkol dengan suku lain demi runtuhnya pemerintahan." Amartya mengisi ulang pelurunya.
"Apakah sistem kerajaan di sini separah itu?"
"Aku masih tidak begitu yakin, katanya rakyat di sini harus berkerja keras untuk dapat hidup, sementara para bangsawan dan pasukan kerajaan hidup tenang." Pemuda itu tampak tidak setuju dengan apa yang baru ia ucapkan.
"Raja Adat disenangi semua orang bahkan para bandit karena keadilannya, jadi rakyat dan bandit ingin Raja Adat lah yang mengambil pemerintahan, itu sebabnya kadang terjadi kerusuhan antara rakyat dan kerajaan."
"Lalu Tanduk Putih ada di pihak siapa?"
"Mereka tak memihak dan dihormati keduanya, mereka sering menjadi penengah masalah Ambawak."
"Sepertinya hidup di sini cukup sulit."
"Ya, itu sebabnya banyak dari Ambawak yang merantau dan berdagang atau berkerja di provinsi lain, bahkan di Angkasa dan Samudra."
"Bagaimana mereka bisa berada di Angkasa dan Samudra?" Naema tampak kesulitan mempercayainya.
"Ambawak adalah bangsa yang amat kreatif, Naema. Ilmuan Langit mungkin terlahir jauh lebih cerdas dari Penempa Bumi, tapi bukan berarti kita tak bisa lebih berinovasi dari mereka."
"Aku kan gak bilang Penempa Bumi bodoh!" Bibir Naema kian manyun mendengar Amartya seakan mengantagonisir dirinya.
"Tapi yang jelas, ini kejutan yang menarik."
"Mungkin kamu bisa lebih banyak mempelajari tentang Dunia ini ketimbang sihir sukumu, alkimia ataupun cara membuatku bahagia, walaupun aku bersyukur soal yang terakhir." Pemuda itu menarik-narik pipi si gadis, berusaha membenarkan ekspresi wajahnya.
"Mny... mny... mungkin kakanda ada benarnya." Ia bisa merasakan panas dan perih di wajah mungilnya.
"Tahun depan aku akan menjadi Profisa Iska, mungkin memang sebaiknya aku mulai mempelajari lebih banyak hal soal Dunia Sang Pencipta."
"Jangan sungkan bertanya padaku atau ayah soal apapun."
"Tentu saja! Auw..." pipi malang itu akhirnya lepas dari tangan si pemuda.
"Ngomong-ngomong, kakanda. Aku harus memanggil pak Hakan dengan panggilan apa?"
"Ayah tentunya, aku juga akan memanggil papa dan mama pada orangtuamu—" Tiba-tiba Amartya jadi teringat akan sesuatu.
"Tunggu sebentar adinda, kita terlalu lama berdiri di sini sampai kita lupa akan keadaan kita."
"Apa? Oh—" Naema langsung menutup mulutnya erat dengan kedua tangan.
"Mari, kita bereskan apapun yang menunggu kita di dalam gua, lalu kita pulang ke rumah."
"Dimengerti…"