Oleh: Iskandar Arimau
Meski merupakan bagian dari Ambawak, kaum kami kian berbeda dari adat, jiwa dan fisik. Ambil tinggi badan sebagai contoh, para Melati dari kaum kami bahkan sepadan dengan gadis-gadis Api, namun mereka jauh lebih lemah dan lamban, akan tetapi jauh lebih pintar. Walau aku yakin ilmu yang Genka emban lebih berharga ketimbang pengetahuan para Melati.
Hidup sebagai laki-laki Tanduk Putih dimulai dengan penderitaan dan penghinaan. Kami dituntut kuat, tangguh dan bijaksana, atau kami terpaksa ucapkan selamat tinggal pada kehormatan, dan bersiap menghadapi kematian akibat depresi dan rasa lapar.
*
Terlahir, tanpa kehormatan dan kasih sayang. Satu-satunya yang ibu kami berikan hanyalah 2 tahun cairan suci yang membuat kami tumbuh kuat. Setelah itu kami dididik oleh wanita lain di Surau, bersama anak-anak lainnya.
Sebagai laki-laki kami terpaksa menerima dinginnya lantai dengan tubuh kami, dan memakan sejalar ubi yang tumbuh di sekitar Surau. Sementara anak-anak perempuan akan duduk di atas kursi berlapis bantal-bantal permadani dengan daging dan nasi berjejer di meja mereka.
Meski terkadang, hati lembut mereka merasa kasihan terhadap kami dan menawari sebagian makanan di piring mereka. Namun itu semua merupakan jebakan, dan jika kami menerimanya, maka hukuman akan menunggu kami dengan sebatang rotan bersamanya.
Berumur 3, kami diajari cara membela diri kami, bertarung sebagai seorang laki-laki seutuhnya. Mereka mencekoki kami dengan ikrar-ikrar dan janji-janji suci tentang ketuhanan, dedikasi, penghormatan pada kaum wanita serta sumpah bodoh untuk melindungi mereka.
Sewaktu kecil aku begitu membenci gadis-gadis itu, dan teruslah bertanya-tanya, "Mengapa harus mengorbankan nyawa demi orang-orang yang memperlakukan kami layaknya sampah?"
Di umur 5, mereka mengajari kami cara mencari makanan dan berburu. Mereka akhirnya melarang kami untuk tinggal di Surau, dan kami hanya boleh berada di sana ketika matahari terbenam hingga ketika rembulan bersinar cukup kuat, lalu kami harus pergi mencari tempat sendiri untuk mengistirahatkan badan kami.
Di masa ini persaudaraan kami dibentuk, melalui kerjasama di kala mencari makan, dan penderitaan yang sama-sama kami emban.
Di saat malam tiba, anak laki-laki akan mencari alas tidur mereka dari daun-daun besar pepohonan serta menyusun mereka untuk melindungi kami dari air hujan. Sementara anak perempuan akan tidur nyaman di kasur kapas mereka, berlapiskan kain-kain lembut dari gadis-gadis Sarma.
Di umur 7, kami masih tak boleh tinggal di Surau, namun di masa itu kami lebih sering beraktifitas di sana. Belajar lebih banyak ilmu bela diri dan ketuhanan, serta kepemimpinan dan berdagang. Masa ini merupakan masa paling nyaman dari pelatihan kami.
Di umur 9 kami di usir dari tanah putih, dilarang menginjakkan kaki kami di antara bukit-bukit platina suci. Kami dilepas berusaha untuk bertahan hidup di antara orang-orang adat dan bandit-bandit keji mereka, penuh dengan konflik dan penghinaan.
Rakyat Ambawak menolak menerima kami di desa mereka karena kehidupan mereka yang begitu miskin. Dengan adanya kami, tiap suap nasi menjadi jauh lebih berharga, dan jelas membaginya tak berada di ambang kemampuan mereka.
Jadi kami tinggal di hutan bersama gunung-gunung intan, namun kami dilarang untuk berburu dan mengambil makanan darinya. Satu-satunya cara untuk makan hanyalah berdagang pada para bangsawan atau suku-suku di sekitar Mitralhassa. Dan untuk apa yang kami jual, satu-satunya yang diperbolehkan hanyalah hasil tambang, untuk itu, kami akan berkelahi, berebut dengan para penambang dan bandit-bandit di sana.
Raksasa-raksasa tanah itu punya gaya tarung yang berbeda-beda. Jadi kami terpaksa mengimprovisasi ilmu silek yang kami pelajari dan menyempurnakan mereka sesuai dengan ilmu apapun yang kami dapat.
Perkembangan ini akhirnya membuat bahkan Pasilek dari keluarga yang sama sekali pun memiliki gerakan tingkat tinggi yang berbeda-beda, karena kami terpaksa menyiptakannya sendiri.
Di umur 15 kami diperbolehkan untuk menambang di tanah putih, namun kami tetap belum bisa menganggap mereka rumah. Pada masa ini kami akan berguru pada orang-orang api tentang cara menempa dan membuat persenjataan yang benar. Sebagai bagian dari keluarga Arimau tentu aku menggunakan senjata khas kami, sebuah pisau lengkung bernamakan karambiak.
Dan akhirnya di umur 17 kami akan berkompetisi dengan saudara-saudara kami untuk mendapatkan gelar Pandeka, prajurit dengan keterampilan terbaik di antara Pasilek lainnya. Pada masa ini kami diperbolehkan untuk tinggal di Surau dan memperdalam ilmu silek kami.
Di umur 18, pandeka terbaik dari masing-masing keluarga akan mendapatkan gelar Datuk, sebagai pemimpin generasi di keluarga kami. Di masa ini kami diperbolehkan untuk memilih Melati yang akan kami nikahi, semakin kuat dan tinggi ilmu kami maka jumlah dan kualitas melati yang bisa kami miliki juga bertambah.
Pada masa ini, aku sadar betapa berharganya perjuangan kami semasa hidup. Dari lahir, hingga akhirnya menjadi Datuk generasi ketiga keluarga Arimau.
Dari istri-istriku aku belajar bahwa para Melati tidak menuntut ilmu yang sama dengan kami. Mereka dididik oleh Bundo Kanduang untuk belajar sihir, nilai dan norma, hukum alam, ketuhanan layaknya kami, adat, dan yang terakhir cara mebuat rumah kami tetap utuh dan bahagia.
Tentu saja, aku akhirnya mengerti mengapa kami bersumpah untuk melindungi mereka dengan nyawa kami. Karena melati-melati yang tumbuh di taman kami, merupakan harta paling berharga yang bisa dimiliki seorang Pasilek, di tengah kejamnya Dunia biadab yang keji ini.