cerita oleh: Amartya Vasurha
Ah ya, Angkasa, negri dengan berjuta kenangan. Sewaktu kecil ayah sering membawaku kemari untuk bertemu Ketua Dewan Falah. Beliau adalah pemimpin para bangsawan Ilmuan Langit, yang berada langsung di bawah keluarganya, keluarga Yardian. Dengan kata lain, ia adalah Raja Angkasa, namun Ilmuan Langit cenderung memanggilnya dengan gelar kepemimpinannya, yakni Ketua Dewan.
Yardian memiliki seorang putri, namanya Hamsah, gadis es yang penuh dengan keajaiban. Umurnya 3 tahun lebih muda dariku, jika diingat kami berdua selalu bermain bersama semasa kecil, aku bahkan ada di sana ketika dia dilahirkan.
Di Angkasa kami juga berteman dengan anak-anak kepala suku di sana. Mereka sangat menarik dan punya banyak hal untuk diceritakan, namun yang paling dekat dengan kami adalah si bungsu dari suku Listrik, Parjanya. Bertiga kami akan menjelajahi seisi kota-kota Angkasa dan bermain-main di dalamnya.
Ilmuan Langit merupakan bangsa yang cukup menarik. Dengan kecerdasan dan listrik tanpa batas mereka mampu bahkan menerbangkan kota hingga ke atas awan. Hal yang paling aku suka dari mereka ialah kemampuan mereka untuk membuat ekosistem tanpa tanah dengan tumbuhan dan hewan-hewan tak bersayap berniang di Angkasa. Mereka bahkan bisa mengubah air laut menjadi air minum.
Akan tetapi satu hal yang tak diajari pendahulu mereka kepada anak-cucunya adalah ilmu berperang. Mereka begitu menghina-hinakan kekerasan hingga keturunan mereka tak tahu cara membuat senjata untuk melindungi diri mereka apabila didatangkan bahaya.
Beruntung semua akhirnya berubah di tangan suku Cahaya dan Kegelapan. Salah dua dari lima suku di Angkasa ini saling membenci satu sama lain hingga akhirnya mencari cara untuk melukai musuh-musuh mereka. Alhasil mereka mengambil inspirasi dari para Penempa Bumi, dan mulai mengembangkan senjata tajam dan sihir untuk membunuh.
Kota Cahaya dan Kegelapan berlokasi saling berseberangan tepat di pusat Angkasa. Hal ini menjadikan pertempuran mereka memotong rute transportasi dan perdagangan ketiga suku lainnya. Alhalsil, konflik yang mereka ciptakan menghambat perkembangan teknologi orang-orang Angkasa.
Ketua Dewan pun mengambil sebuah keputusan yang begitu riskan. Ia memindahkan Kastil Yardian ke atas pusat Angkasa dan membangun ibu kota bersamanya. Benar-benar sebuah revolusi yang besar bagi Ilmuan Langit, begitu banyak aktivitas besar pun pindah ke ibu kota, terutama bagian riset, teknologi dan perdagangan.
Aku, Hamsah dan Parjanya sering sekali bermain di sekitar Kastil Yardian, di tengah-tengah taman hidroponik buatan mereka. Namun berhubung kami tepat berada di atas medan pertempuran, terkadang orang-orang suku Kegelapan akan mengundang ayah untuk mengajari mereka seni berperang, dan tentu aku mengajak Hamsah dan Parjanya ikut bersama kami.
Seperti yang aku perkirakan, Parjanya menciut takut berada di area di mana orang-orang kehilangan nyawanya, tapi dibalik kabut muram yang menyelimutinya terlahir senyuman yang senantiasa bergejolak menutupi giginya yang mengigil. Rasanya seakan ia menikmati ketakutannya. Di sisi lain, Hamsah, memberikanku sedikit kejutan yang cukup menarik.
Ketika berada di kota suku Kegelapan, Gahanadalu, ayah akan menuntun mereka akan tiap-tiap etika, taktik dan persenjataan di medan perang. Sementara aku, dengan segala ilmu dan kisah yang diajarkan ayah padaku, bercerita pada Hamsah dan Parjanya tentang kekerasan, strategi dan berbagai macam politik peperangan yang terjadi di dunia baru maupun Buana Yang Telah Sirna.
Parjanya mungkin merupakan anak yang cengeng, akan tetapi ia memiliki obsesi yang nyata akan sejarah. Aku teringat sering mendengarnya berharap namanya terukir rapih dalam buku-buku terbitan Ziz Media, yang ditulis elegan dengan tinta hitam yang di ambil langsung dari cumi raksasa Kraken, sayangnya caraku bercerita tak pernah memperhatikan emosi dari mereka yang mendengannya, hingga ia sering menutup telinga dan matanya seraya menggigil ketakutan saat mendengar kisah-kisahku.
Sementara itu Hamsah dengan daya tarik tinggi selalu memintaku untuk berkisah padanya, tak peduli apakah mereka menyeramkan, membosankan ataupun sulit untuk dimengerti. Ia selalu memohon-mohon bersama kedua tangannya saling menggenggam, di depan senyuman lebar dan mata besar yang sedemikian cerahnya berbinar pada wajah manis itu.
Ketika Parjanya berkata, "Kak, sudah cukup ceritanya…" Hamsah akan menyela, "Lalu kak Amartya, apa yang terjadi setelahnya?" atau, "Ayo kak, kisah selanjutnya!" dan lainnya.
Reaksi mereka yang begitu berlawanan merupakan hiburan tersendiri bagiku. Namun satu hari tiba, ketika akhirnya aku tahu alasan mengapa Hamsah begitu tertarik dengan kisah-kisah brutalku.
Saat itu ia berkata, "Kak Amartya, tahu gak? Aku sayaaang banget deh sama kakak!"
Dan tentu dengan datar aku pun menjawab, "lalu kenapa?"
"Hah?" Ia seakan tersentak mendengarnya.
"Aku tidak memiliki perasaan yang sama padamu." Aku tahu jika diingat kembali jawaban itu memang terdengar kasar, apa boleh buat, hatiku memang tidak berfungsi.
"Tentu saja, kakak kan gak pernah sayang sama apapun!" Lanjutnya, gadis itu berjalan-jalan memutar dengan nada mengejek.
"Berisik ah..." Jawabku kesal.
Kemudian dia berbalik, mendekatkan wajahnya ke arahku dan dengan senyuman manis dari bibir kecilnya, seraya berbisik dengan nada-nada lembut, "jika aku bisa menyembuhkan kutukan kakak, akankah kakak jatuh cinta kepadaku?"
Perkataannya membuatku termenung sejenak, lalu melintaslah sebuah pikiran dalam benakku. Mungkin ia bisa menjadi obat yang selama ini aku cari, mungkinkah ia kunci yang selama ini aku butuhkan. Jika memang benar, maka jawaban dari pertanyaannya sudah sangat jelas.
"Tentu saja, itu satu-satunya jawaban logis yang bisa aku pikirkan."
Setelah mendengarnya, mulutnya terbuka lebar, dan wajahnya begitu berseri seakan memancarkan cahaya. Jika saja kecantikan manusia merupakan sebuah karya seni, aku yakin dirinya merupakan mahakarya terindah dalam sejarah Angkasa.
Semenjak saat itu aku menjadi begitu tertarik kepadanya, menanti-nanti hari di mana kutukan sial ini akhirnya akan terlepas dariku, dan mungkin ia akan menjadi orang pertama yang mampu mengajariku bagaimana rasanya menyayangi sesuatu.
Akan tetapi... kisah Hamsah tak akan pernah bisa seindah mimpi-mimpi kecilnya.