Chereads / Broken wedding / Chapter 9 - Sembilan

Chapter 9 - Sembilan

Amara baru akan mengambil ponselnya yang berada di atas nakas, saat ponsel Daneil yang berada di atas ranjang berdering. Menandakan sebuah panggilan masuk. Suaminya pasti lupa membawa ponsel, pikir Amara.

Alexa

Nama itulah yang mengambang di layar ponsel milik suaminya. Perempuan? Siapa? Tanya Amara dalam hati, penasaran saat matanya membaca nama yang tertera di layar yang masih menunjukan panggilan masuk. Gadis itu baru akan mengambil ponsel itu, untuk diberikan pada suaminya takut jika itu adalah dari sekretarinya dan penting. Namun, panggilan itu sudah terlebih dahulu diputus. Tak lama setelah itu, terdengar bunyi berdenting, menandakan sebuah pesan masuk.

Amara memandang layar ponsel yang kini menyala dalam genggamannya, menunjukan sebuah pesan WhatsApp. Ternyata pesan itu dapat terlihat, dan Amara membacanya.

Alexa

Daneil, Aku ke kantormu dan sekretaris bodohmu mengatakan kamu tidak berangkat ke kantor.

Aku merindukanmu, datanglah ke apartementku malam ini❤

Untuk beberapa saat, tak ada ekspresi apa-apa di wajah Gadis itu. Ia tetap diam dengan menggenggam ponsel milik suaminya. Sebelum kemudian terdengar tarikan nafas panjang. Dengan perlahan, Amara mengembalikan ponsel milik Daneil pada tempatnya kembali dan mengambil ponselnya sendiri.

Entah kenapa, langkah Amara terasa berat. Ia ingin mengabaikan pesan itu, tapi ternyata pikirannya tak mendukungnya. Karena pada akhirnya Ia tetap memikirkan tentang pesan WhatsApp di ponsel Daneil. Jadi laki-laki itu memiliki kekasih?

"Hei Baby! Kenapa?"

Amara mengerjap, saat mendengar Ibu mertuanya memanggilnya. Gadis itu tersenyum pada wanita yang kini duduk di sofa ruang tengah, memandangnya dengan ponsel di tangan. Sebelum kemudian menggeleng pelan sebagai jawaban dari pertanyaan wanita paru baya itu.

"Lihat ini Amara! Ini baguskan? Kamu maukan?" Cintya menunjukan layar ponselnya yang kini menampilkan sebuah tas berended merek dior pada Amara yang mengambil duduk di sebelahnya.

Amara melihat gambar tas itu, bagus. Sebelum gadis itu mendapati harga yang tertera di bawah gambar. Tentu saja mata Amara langsung membulat, terkejut. Tapi Ia dengan segera dapat mengontrol ekspresinya. "Amara tidak suka Mom," ujarnya tersenyum menolak tawaran Ibu dari suaminya itu.

Cintya memberenggut, tak suka. "Semuanya nggak suka, terus kamu sukanya yang kaya apa?" Tanyanya kemudian, lelah selalu dijawab seperti itu oleh menantunya.

Amara memandang wajah Cintya, wanita ini memang selalu baik kepadanya. Bahkan sedari Ia belum menikah dengan putranya, Daneil. Cintya dan Tom sudah sering membantunya dan keluarganya.

"Amara benar-benar sedang tidak membutuhkan tas Mom. Jika Amara butuh, Amara tentu akan langsung meminta kepada Daneil." Jelasnya agar Ibu mertuanya tak terus memaksa untuknya membeli tas-tas berended itu.

"Tapi Momy ingin membelikan kamu," ujar Cintya terdengar kecewa. Wanita paru baya itu memang bukan tipe orang yang mudah mengalah. Jika Ia ingin, maka hal itu harus terjadi. Seperti saat ini, Ia sangat ingin memberikan menantunya sebuah hadiah. Jadi, Amara harus mau menerimanya.

Amara menghela nafas, mungkinkah sifat keras kepala Daneil adalah turunan dari Ibunya? "Tidak untuk sekarang ya Mom? Amara benar-benar sedang tidak membutuhkannya."

Cintya menghembuskan nafasnya, mengalah. "Baiklah, tapi lain kali. Kamu harus mau menerimanya." Peringat Cintya tak terbantahkan.

Amara mengangguk pelan, dan tersenyum tipis. "Dad dan Daneil belum kembali?" Tanya Amara, saat masih tak menemukan keberadaan suaminya dan ayah mertuanya. Kedua laki-laki itu, pada akhirnya memilih untuk menghabiskan waktu untuk bermain golf di salah satu tempat golf di tempat ini.

Cintya menoleh ke arah pintu, sebelum kemudian kembali menatap menantunya. "Belum," balasnya.

Amara mengangguk mengerti, "Mom hari ini mau menginap lagi?" Tanyanya penasaran, jujur saja Amara senang jika Ibu dan Ayah mertuanya sudi untuk kembali menginap di rumahnya. Setidaknya jika ada Ibu dan Ayahnya, Daneil terlihat lebih manusiawi.

Gelengan dari Cintya, meluruhkan sedikit senyum Amara. "Kenapa Mom?" Tanyanya akhirnya.

Cintya tersenyum mendengar pertanyaan menantunya. "Mom tidak mau menganggu kalian." Setelah mengucapkan itu Cintya mengedipkan matanya, menggoda.

Amara hanya membalas godaan itu dengan senyuman samar. Andai Ibu mertuanya tahu tentang pernikahannya yang tak berjalan seperti pemikirannya. Entah apa reaksi yang akan wanita paru baya itu tunjukan. Belum lagi tentang pesan yang Ia baca tadi, pesan intim yang dikirim oleh seorang wanita. Huh!

"Kamu masih berada di bawahku, Son." suara besar milik Tom terdengar dari ruang tamu. Sebelum kemudian disusul dengusan.

"Dad, aku hanya mengalah." Suara itu terdengar kesal.

"Wah, kalian menunggu kami?" Tanya Tom saat menemukan istri dan menantunya duduk di ruang tengah.

Cintya mendengus. "Malas sekali menunggu kalian," ujar wanita itu.

Tom segera menghampiri istrinya, membuat Amara menggeser tubuhnya memberi ruang untuk laki-laki itu. "Jangan marah, apa aku terlalu lama meninggalkanmu?" Tanya Tom, yang dibalas dengusan jijik Ibu mertuanya.

"Jangan bertingkah layaknya ABG Dad, malulah dengan menantumu." Peringat Cintya.

Tom terlihat tak peduli, laki-laki itu terus menggoda istrinya. "Tidak perlu malu,"

"Dad!" Peringat Cintya kembali.

Sebelum kemudian terdengar tawa dari Tom, laki-laki paru baya itu nyatanya malah senang saat melihat wajah istrinya yang memberenggut. Melihat hal itu, Amara ikut tersenyum tipis. Ayah mertuanya terlihat sangat mencinta istrinya, tidak seperti Daneil yang malah membencinya.

"Mau kembali kapan?" Tanya Tom setelah berhasil mereda tawanya.

Cintya menatap Amara terlebih dahulu, "sekarang," ujarnya kemudian pada suaminya.

"Kenapa tidak makan malam dulu, Mom?" Tanya Daneil, mengingat sebentar lagi langit akan petang.

Cintya bangkit berdiri, mengambil tas beredednya. "Tidak, Mom dan Dad makan malam di rumah saja." Balas Cintya.

"Setidaknya biarkan Dad mandi dulu Mom." Daneil kembali berujar.

Tom langsung bangkit berdiri. "Tidak perlu, Dad akan langsung mandi setelah sampai nanti." Ujar laki-laki itu.

Daneil tak lagi berucap, membiarkan Ibunya menghampiri Amara. Kedua wanita itu berjalan di depan, sedangkan Ia berjalan bersama Ayahnya di belakang.

"Mom pergi dulu sayang," Cintya memberikan kecupan di kening menantunya, sebelum kemudian masuk ke dalam mobil yang sudah dibukakan oleh supirnya.

"Iya Mom, hati-hati." Balas Amara.

Tom berhenti, membuat Daneil ikut menghentikan langkahnya. "Pikirkan ucapan Dad," ujar Tom serius, kemudian berganti menghampiri menantunya.

"Dad pergi," laki-laki paru baya itu melambaikan tangannya kepada Amara dan Daneil.

"Iya Dad," balas Amara tersenyum, sedangkan Daneil hanya terpekur di tempatnya.

Setelah mobil kedua orang tuanya berlalu keluar dari gerbang rumahnya. Tanpa kata Daneil berlalu masuk ke dalam rumahnya, meninggalkan Amara sendirian.

Amara menatap suaminya yang kini sudah menghilang di balik pintu. Untuk beberapa saat gadis itu masih terdiam di tempatnya. Sebelum kemudian memutuskan untuk berlalu.

Baru saja tangannya akan membuka pintu, pintu rumahnya sudah terlebih dahulu dibuka dengan tak sabar dari dalam. "Daneil," beo Amara saat suaminyalah yang membuka. Mata Amara jatuh pada salah satu tangan laki-laki itu yang menggenggam ponsel.

Daneil menggeram akan melewati begitu saja tubuh Amara, tapi pertanyaan wanita itu menghentikan langkahnya.

"Mau kemana?" Tanya Amara tanpa ekspresi.

Tanpa menoleh, Daneil menjawab. "Aku ada urusan," ujarnya langsung berjalan cepat menuju bagasi mobil.

Amara tersenyum kecut. "Urusan," gumamnya, memejamkan matanya erat-erat.