Chereads / Broken wedding / Chapter 11 - Sebelas

Chapter 11 - Sebelas

Amara membalas setiap sapaan juga senyuman dari orang-orang yang Ia lewati. Gadis dengan dres selutut bercorak abstrak itu, saat ini tengah berada di kantor suaminya. Di tangannya menenteng sebuah paper bag berisi bekal makan siang untuk Daneil. Ia memutuskan untuk mengantarkan makan siang  Lelaki itu, karena suaminya pagi tadi lagi-lagi melewatkan sarapannya.

Amara menyadari bagaimana dua resepsionis yang dulu juga melayaninya kini langsung bergegas berdiri saat melihat kedatangannya.

"Ada yang bisa Saya bantu Bu?" Tanya salah satu resepsionis di sana langsung. Ia memasang senyum seramah mungkin.

"Apa Daneil ada?" Tanya Amara memandang bergantian kedua resepsionis itu.

Salah satu resepsionis itu tersenyum sopan, "ada bu," ujarnya pelan.

"Terimakasih kalau begitu," Amara mengangguk mengerti. Sebelum kemudian berlalu dari sana menuju di mana lift berada. Gadis itu tersenyum melihat paperbag yang saat ini Ia bawa.

Ting!

Amara bergegas keluar dari dalam lift. Gadis itu kemudian berhenti sesaat, ketika melewati meja sekretaris Daneil. Membuat gadis yang saat ini berdiri dengan menunduk hormat pada Amara itu berdiri grogi.

"Siapa namamu?" tanya Amara.

Desy langsung mendongak, lantaran terkejut. Sebelum kemudian kembali menunduk, dan menjawab pelan. "Desy,"

Amara mengangguk dan tersenyum tipis mendengar itu. "Baik Desy, apa Daneil ada di dalam?" tanyanya kemudian.

Desy mengangguk pelan, "Tuan Daneil ada di dalam Bu," jawabnya.

"Baiklah, terimakasih kalau begitu."

Desy mendongak saat sosok dari Istri Bosnya berlalu. Senyum gadis itu kemudian terbit saat menyadari jika Istri dari Bosnya adalah seorang wanita yang baik. Tidak seperti istri-istri orang kaya lainnya yang sombong dan sok berkuasa.

"Tuan Daneil sangat beruntung," lirihnya.

***

Tok! Tok!! Tok!!!

"Masuk!"

Setelah mendengar perintah itu Amara dengan segera mendorong pintu di hadapannya. Gadis itu tersenyum, kala netranya melihat suaminya yang tengah duduk di kursi kebesarannya dan sibuk berkutat dengan berkas-berkas dan dokumennya. Sangking sibuknya bahkan lelaki itu sampai tak menyadari siapa yang datang berkunjung saat ini.

"Apa kamu sedang sibuk?" Gadis itu melangkah, mendekati meja Daneil.

Mendengar suara itu, tentu saja Daneil langsung mendongak. Pandangan lelaki itu terlihat jengah, tak suka. Tapi Amara tak peduli, Ia tetap melangkah mendekat.

"Aku membawakan Kamu makan siang, makanlah." ujar Amara meletakan paperbag yang Ia bawa di atas meja.

Melirik sekilas, Daneil menghembuskan nafasnya. "Sudahkan?" Lelaki itu memandang Amara lelah. "Kalau sudah Kamu bisa keluar, Aku sedang sibuk."

Amara tertegun, tersenyum pahit. "Apa Aku boleh menemanimu makan terlebih dahulu?" tanya Gadis itu penuh dengan harapan.

Daneil tentu saja langsung mendengus, memandang sinis pada Wanita di hadapannya yang sialnya adalah Istrinya. "Tidak," ujarnya.

"Kenapa?"

"Karena Aku tak akan berselera makan jika ada Kamu," padahal yang sebenarnya adalah ada ataupun tidak Daneil tak akan pernah mampu memakan makanan yang dibuatkan oleh Amara. Ia tak ingin memberikan gadis itu celah, walaupun hanya sedikit.

Tahu apa yang saat ini Amara rasakan? yah, sakit. "Baiklah, ingat untuk memakannya hingga habis." perintahnya.

Daneil tak menyahut, membuat Amara menghela nafas. "Kalau begitu Aku pergi," Gadis itu kemudian melangkah berlalu keluar dari ruangan suaminya.

"Hay,"

Amara terkejut, saat baru saja membuka pintu akan keluar. Dirinya dihadapkan oleh sosok lelaki tampan. Lelaki itu terlihat tersenyum padanya.

"Amara, Istrinya Daneil?" tebak Ben.

Amara mengangguk ragu, "ya,"

Ben tertawa, kemudian mengulurkan tangannya. "Aku Ben, teman suamimu. Kamu lupa, Aku datang diacara pernikahan kalian." ujarnya mengingatkan, berharap jika Istri dari temannya itu mengingatknya.

Daneil yang melihat interaksi itu, hanya mendengus. Sebelum kemudian memilih untuk tak peduli. Banyak berkas yang lebih penting ketimbang menyaksikan interaksi Ben bodoh dan Gadis keras kepala.

Amara yang mendengar itu meringis. "Maaf, Aku lupa." ujarnya tak enak.

"jahat sekali,"

Gadis itu hanya membalas dengan senyuman tipis. "Aku permisi," ujarnya kemudian.

Ben mengernyit, tak setuju. "Mau kemana?" Tanyanya penasaran.

"Pulang,"

Ben langsung melirik pada Daneil, Ah temannya itu terlihat sangat tak acuh. "Kenapa buru-buru?"

"Ben, biarkan dia pergi." itu adalah teriakan dari Daneil yang sama sekali tak mau mengangkat wajahnya.

Amara yang mendengar itu, hanya mampu tersenyum getir. Kemudian kembali mendongak dan mendapati tatapan yang tak Ia sukai. Tatapan kasihan, maka yang Amara berikan adalah senyuman tipis seolah mengatakan Ia baik-baik saja, "Permisi," ujarnya berlalu, melewati tubuh Ben.

Ben menyaksikan bagaimana gadis itu berlalu dengan senyum yang masih terpasang. Gadis yang baik, tapi sayang harus menikah dengan sosok arogan macam Daneil. Yah, menurut Ben ini tak adil untuk gadis itu. Gadis itu berhak mendapatkan lelaki yang jauh lebih baik dari Daneil menurutnya.

"Apa kau akan terus berdiri di sana?!" tanya Daneil sinis, lantaran temannya Ben masih saja berdiri di depan pintu.

Ben berdehem, membuka kancing jasnya. Lelaki itu kemudian duduk di sofa yang tersedia di ruangan temannya itu. "Kenapa tidak mencegahnya, setidaknya antarlah pulang Istrimu tadi."

Daneil menyandarkan punggungnya pada kursi kebesarannya. Pandangannya menatap jengah pada temannya itu. "Aku malah berharap dia tidak perlu datang-datang lagi kesini, hanya mengganggu saja."

Ben berdehem, "lalu apa yang dia lakukan?"

Mendengar pertanyaan itu, Daneil kembali melirik pada paperbag yang tadi Amara bawakan untuknya. makan siang, gadis itu bilang. Ah, Daneil tak sama sekali berminat untuk memakannya.

Ben menatap gerak-gerik Daneil yang bangkit berdiri dengan membawa sebuah kantung paperbag. Lelaki itu melangkah menuju tempat sampah di ruangan itu.

"Apa yang Kau lakukan?" Tanya Ben menghentikan Daneil yang baru saja akan membuang makanan pemberian yang Amara bawakan.

Ben dengan segera bangkit, merampas paperbag di tangan temannya. Maka saat laki-laki itu melihat isinya, Ia jumpai sebuah kotak bekal. Dan Ben sudah mengetahui dari mana makanan ini berasal.

"Kau ingin membuang makanan yang sudah Istrimu susah payah bawakan?" tanya Ben sinis.

Daneil mengedik, tak peduli. "Kalau Kamu mau, Kamu bisa memakannya."

Mendengar itu, membuat Ben berdecih. "Apa Kamu benar-benar tidak dapat menerimanya, setidaknya menghargai usahanya untukmu?"

Daneil menarik salah satu sudut bibirnya, sinis. "Tidak," ujarnya.

"Walau hanya sedikit, apa Kamu benar-benar tidak dapat mencobanya, mencoba untuk menerimanya?"

"Sebenarnya apa tujuanmu datang kemari Ben? Aku benar-benar akan mengusirmu, jika kau datang kemari hanya untuk sok mengguruiku." ujar Daneil malas, melangkah menuju sofa.

Ben menghembuskan nafasnya, ikut melangkah menuju sofa menyusul duduk di sana. "Aku ingin membahas tetang proyek Kita yang di Bali, tapi sebelum itu Aku ingin memakan makanan ini dulu." Ia angkat paperbag yang setia Ia bawa.

Daneil mengangkat salah satu alisnya, kemudian mempersilahkan Ben melakukannya. "Silahkan,"

Ben mendengus, saat Daneil terlihat tak masalah sama sekali. Maka laki-laki itu dengan segera mengeluarkan kotak bekal itu dan membukanya. Waw, tumis ayam suir kecap dengan sayur sawi jangan lupakan nasi.

maka dengan segera Ben mengambil sumpit yang ada dan mulai memakannya. Lelaki itu menggumamkan jika makanan itu enak, berharap Daneil mendengarnya. tapi walaupun mendengarnya, sahabatnya itu tetaplah tak acuh.

Benar-benar tak punya hati sepertinya temannya itu.

Nb. Dukung cerita ini dengan memberikan Power Stone sebanyak-banyaknya dan Review, tidak lupa juga komentar disetiap Updaten cerita ini. Agar saya selaku penulis dapat memiliki semangat untuk selalu meng-update cerita ini. Terimakasih:)