Mobil yang ditumpangi Amara mulai memasuki halaman rumahnya. Setelah berhasil menghentikan mobilnya, Gadis itu keluar. Mulai melangkah memasuki rumahnya. Kening Gadis itu mengernyit, saat mendengar suara ramai dari dalam. Dengan ragu Amara membuka pintu rumahnya.
"Kakak!"
"Amara!"
Gadis itu menahan nafas, sebelum kemudian senyumnya terbit. Saat ini Adik, Paman dan Bibinya tengah duduk di ruang tamu rumahnya. Dengan segera Amara menghampiri, menerima setiap pelukan dari keluarganya.
"Kakak dari mana saja?" tanya David, diangguki Bibi dan Pamannya yang juga penasaran.
"Iya, darimana saja Kamu Amara? Bibi sudah lama menunggumu,"
Amara hanya tersenyum mendengar keluhan dari Siska-- Bibinya. "Maaf ya Bibi, Aku tadi baru mengantarkan makan siang Daneil."
Siska menutup mulutnya, sebelum kemudian wajahnya terlihat tak enak. "Maaf Bibi tidak tahu,"
Amara menggeleng lemah dengan senyuman. "Tidak apa-apa Bibi,"
"Kamu ke kantor suamimu?"
Amara mengangguk, menjawab pertanyaan dari Banu--Pamannya yang terlihat antusias.
"Seperti apa Kantor suamimu? Paman dengar katanya Perusahaan Brown itu perusahaan terbesar di Negeri ini." Lagi-lagi Banu bertanya dengan suara memekik tertahan.
Mendengar itu, Amara mengulum senyum. Tangannya kemudian mengetuk-ngetuk dagunya, seolah berpikir. Ia melirik Paman dan Adiknya yang menunjukan wajah penasaran, membuat gadis itu tersenyum geli.
"Paman pasti akan takjub kalau ke sana. Perusahaannya sangat besar dan tinggi,"
"Waw..."
Amara cekikikan mendengar suara takjub dari tiga orang di hadapannya.
"Kakak-Kakak kapan-kapan ajak Aku ke sana, Aku ingin melihat perusahaan dari Kakak iparku." rengek David.
Amara mengangguk, "iya, kapan-kapan Kakak ajak Kamu ke sana ya."
David mengangguk antusias.
Amara mengangkat wajahnya, memandang Paman dan Bibinya yang menatapnya dengan pandangan tercengang. "Kalian menginapkan?" tanyanya kemudian.
Siska dan Banu saling pandang, kemudian kembali menatap Keponakannya. "Memang boleh?" tanya Siska tak yakin.
Mendengar itu, Amara tersenyum tipis. "Tentu saja boleh Bibi, bahkan jika Bibi mau. Bibi bisa menginap seminggu atau sebulan. Lagian lumayan bisa untuk menemaniku kalau Daneil pergi ke kantor,"
Tiga orang di sana langsung saling pandang, sebelum kemudian semuanya memekik senang. "Aaa..."
Amara hanya meringis mendengar pekikan itu, sambil menutup kedua telinganya. Tapi, setelahnya Ia tersenyum saat melihat ketiga orang yang Ia sayang meloncat-loncat kesenangan.
"Nginep di rumah Amara,"
"Nginep di rumah Amara,"
"Nginep di rumah Kakak,"
Lagi-lagi Amara tersenyum saat Paman, Bibi dan Adiknya bernyanyi-nyanyi kesenangan.
"Senangnya dalam hati, nginep di rumah mewah. Senang, senang banget!!!" teriak Banu.
"Paman, Bibi sudah. Kalian sudah makan?" tanya Amara kemudian.
Mendapati gelengan kepala yang kompak, membuat Amara menghela nafas. "Yasudah ayo makan dulu, belum makan tapi kenapa bisa sebertenaga itu berteriak-teriak dan meloncat-loncat." gerutu Amara bangkit berdiri, memimpin agar ketiga orang itu mengikuti langkahnya.
"Hihihi... Kami terlalu senang Mara," ujar Siska mengikuti langkah Keponakannya.
"Lagian pembantumu tadi juga sudah memberikan kami teh dan cemilan. Cemilan enak tahu," lanjut Banu.
"Iya Kak, tak Aku sangka. Betapa enaknya tinggal di rumah ini, ada pembantu, ada satpam, huh! Aku juga mau," lanjut Adiknya, David.
Sampai di meja makan, Amara dengan segera menarik kursi dan mulai duduk. Gadis itu menggeleng pelan, saat melihat pandangan takjub dari Paman, Bibi dan Adiknya. Tak Ia sangka akan sebegitu noraknya keluarganya.
"Bik Asih," mengabaikan pandangan keluarganya, Amara lebih memilih memanggil pembantunya.
"Iya Non, Ada apa?" tanya Bik Asih saat sampai di sana.
"Bibi yang masak?" tanya gadis itu, karena sebelum Ia berangkat ke kantor Daneil meja makan kosong hanya ada sisa masakannya tadi pagi yang belum masih. Tapi tiba-tiba sekarang, terdapat banyak menu.
Bik Asih mengangguk. "Iya, Non. Maaf, Saya pikir--"
"Terimakasih ya Bi," potong Amara cepat.
Bik Asih tersenyum, mengangguk. "Iya Non,"
"Bibi mau gabung?" Tanya Amara kemudian, mengajak pembantunya untuk ikut makan bersama.
Bik Asih langsung menggeleng. "Tidak Non," ujarnya.
Amara mengangguk, kemudian membiarkan pembantunya berlalu pergi. Ia mengernyit saat baru menyadari jika interaksinya diamati oleh tiga orang lainnya di sana.
"Kenapa?"
"Ah, tidak apa-apa." Balas Siska tersenyum. Ia senang karena ternyata walaupun sudah menjadi Nyonya kaya raya, keponakannya tetap tak sombong.
"Kalau begitu kenapa tidak duduk dan mulai makan." ujar Amara yang membuat ketiga orang itu berseru sambil menarik kursi. Kemudian mulai menyantap makanan yang tersaji di hadapan mereka.
***
"Bibi tidak bohong, Adikmu ini mulai berani mendekati gadis Mara." ujar Siska.
Saat ini Keempat orang itu tengah duduk di ruang tengah dengan televisi yang menyalah. Tetapi walaupun demikian, obrolan bersahut-sahutanlah yang mengisi ruangan itu. Apalagi Siska yang tak henti-hentinya banyak bercerita.
"Benarkah David? Apa sekolahmu sudah bagus, sampai-sampai Kau berani mulai mendekati anak gadis orang." tanya Amara pada Adiknya.
David menggaruk tengkuknya yang tak gatal. Lelaki itu merasa malu bercampur bingung harus menjawab apa pertanyaan dari Kakaknya. Ah, Bibinya memang benar-benar mengesalkan.
"Itu tidak benar Kak,"
"Bohong Amara, Paman lihat sendiri saat Adikmu itu tersenyum-senyum sendiri sambil memainkan ponsel." Oh, dan kini Pamannya menambah-nambahi. Pasangan suami-istri itu memang benar-benar mengesalkan, tapi David tetap sayang. Karena Ia tahu, jika sebenarnya pasangan suami-istri sangat menyayanginya dan Kakaknya.
Amara memberikan tatapan menusuk pada Adiknya. Tetapi wanita itu memilih tak kembali berucap. Karena Ia tahu, diusia Adiknya saat ini mungkin saha hormon mudanya mulai berkembang.
"Suamimu biasa pulang jam berapa?" Tanya Siska pada keponakannya, karena saat ini jam sudah akan menunjukan pukul sepuluh malam, tapi suami dari keponakannya ini belum pulang juga.
Amara mengerjap, mendengar pertanyaan dari Bibinya. "Sebentar lagi Bibi," ujarnya tersenyum tipis.
Siska mengangguk. Kemudian wanita yang masih berusia empat puluhan tahun itu kembali menyomot satu kue yang tersaji. Kue enak buatan Bik Asih, Pembantu keponakannya. Mungkin besok Ia bisa meminta untuk dibuatkan lagi. Ini benar-benar enak.
Siska dengan segera kembali mengembalikan kue yang telah Ia gigit sekali itu. Ia kemudian dengan segera bangkit berdiri saat melihat sosok Daneil muncul dari pintu yang menghubungkan dengan ruang tamu. Ia tersenyum cerah pada sosok suami keponakannya itu.
Daneil menghentikan langkahnya saat melewati ruang tengah. Melihat tak hanya ada Amara, Istrinya. Tapi juga Adik, Paman dan Bibi wanita itu. Ruang tengah itu terlihat tak berbentuk lagi, banyak bungkus makanan dan minuman berserakan. Memilih untuk tak peduli, Daneil kembali melanjutkan langkahnya yang tertunda menuju kamarnya.
"Dan--"
Banu menggantung sapaannya, saat melihat suami keponakannya sudah berlalu pergi. Lelaki itu terdiam untuk beberapa saat. Mencerna akan sikap Daneil yang menurutnya tak sopan.
Amara menahan nafas melihat itu. Gadis itu menelan ludahnya dengan susah payah. Sebelum kemudian bangkit berdiri saat kesadarannya mulai kembali.
"Aku ke atas dulu," ujarnya berlalu meninggalkan Paman, Bibi dan Adiknya yang hanya mengangguk pelan.
Apakah lelaki itu tak bisa menyapa keluarganya terlebih dahulu?
Apa lelaki itu harus mengabaikan sapaan Pamannya?
Apa Daneil benar-benar sekejam itu?
Tidak bisakan laki-laki itu menghargai keluarganya?
Nb.
Tolong bantu dukung cerita ini. Aku sangat berharap untuk mengetahui apakah cerita ini dapat diterima. Ketahuilah, itu sangat berarti untuk semangatku dalam mengetik setiap babnya.
Terimakasih:)