Gadis itu meringkuk di atas ranjang, memeluk tubuhnya yang tak terselimuti. Pikirannya melayang-layang tak tentu arah. Sesekali bola matanya melirik pada jarum jam yang berada di atas meja nakas.
Ini sudah hampir tengah malam dan suaminya belum pulang. Mungkin biasanya Amara hanya akan berpikir jika Daneil memiliki pekerjaan yang banyak di kantor dan tak dapat laki-laki itu tinggalkan. Tapi kini, entahlah Ia mulai ragu.
Amara mendesis saat perutnya kembali terasa sakit. Sudah sedari tadi, perut gadis itu terasa ngilu. Mungkin karena Ia belum memakan makan malamnya. Dibandingkan rasa sakit di perutnya, Amara hanya tak ingin memuntahkan makanannya karena memang tak bergairah untuk makan.
"Kamu kejam Daneil," gumam gadis itu, Ia dengan segera menghapus satu bulir air mata yang akhirnya lolos juga dari pelupuk matanya. Tapi, walaupun demikian wajah Amara tetap tak menunjukan ekspresi apa-apa.
Amara bangkit duduk, bersandar pada kepala ranjang. Menarik nafas, Ia mengambil ponsel yang Ia letakan di atas meja nakas. Matanya terpekur pada nomor yang kini terpampang, sebelum kemudian memutuskan untuk mendialnya. Kemudiam mulai menempelkan benda pipih itu disalah satu telinganya.
Panggilan pertama ditolak. Panggilan kedua bernasib sama. Hingga panggilan ketiga, bukan lagi ditolak tetapi suara operatorlah yang menjawab. Menandakan jika ponsel laki-laki itu mati, atau-- sengaja dimatikan.
Secara perlahan Amara menurunkan ponselnya dari telinga kanannya. Ia mendongak, menahan rasa nyeri yang tiba-tiba timbul saat membayangkan apa yang sedang suaminya lakukan. Sebelum kemudian muncul bayangan sepasang suami-istri paru baya yang duduk di hadapannya. Ah, bayangan itu seolah mengingatkan tentang janjinya.
"Bahkan ini masih di awal Amara, terlalu cepat untuk menyerah." Gumamnya mencoba menyemangati dirinya sendiri tapi yang terdengar malah sebaliknya.
"Selamat tidur Daneil, atau selamat bersenang-senang." Senyum getir itu muncul, seolah mengejek dirinya sendiri. Kemudian gadis itu kembali membaringkan tubuhnya, kembali meringkuk tanpa selimut. Membiarkan tubuhnya kedinginan di bawah suhu ac juga angin malam.
🌹🌹🌹
"Em... Apa Tuan Daneil semalam tak pulang Non?" Suara tanya Bik Asih terdengar tak enak, setelah sebelumnya ruangan dapur itu hanya diisi kesunyian.
Gerakan Amara yang memotong wortel terhenti, Ia terdiam. Kemudian kembali melanjutkan kegiatannya memotong wortel, lalu berganti sayur kol. "Dia bilang ada yang harus Ia selesaikan Bik, pekerjaan di kantornya mungkin tak dapat menunggu dan banyak, makanya dia tidak bisa pulang." Wow, dan Amara masih dapat membela suaminya. Meskipun Ia tahu yang sebenarnya.
Bik Asih mengangguk singkat, memilih melanjutkan kegiatannya menggongsong bumbu untuk sup yang akan Nyonyanya buat. "Non sayurannya sudah bisa dimasukan," ujar Bik Asih.
Amara menoleh, melihat air dalam panci yang sudah mendidih. Gadis itu kemudian membawa sayuran yang sudah Ia potong dan cuci untuk dimasukan ke dalam panci. Ia mengambil alih sutil dari tangan pembantunya. Menggunakannya untuk mengaduk agar sayuran itu dapat matang merata.
"
Kayanya kurang garam dikit Bi," ujar Amara setelah mencicipi sedikit kuah supnya. Ia menerima toples garam yang diberikan pembantunya, menambahkan satu sendok teh garam ke dalam sayurannya. Lalu kembali mencicipinya.
"Em... sudah pas Bi," ujar Amara, setelah di rasa sayur juga ayam di dalam supnya sudah lunak. Gadis itu memasukan masakannya itu ke dalam mangkuk sayur.
Amara mulai menata hasil memasaknya di atas meja makan. Sesekali mata Gadis itu mencuri pandang pada pintu yang menghubungkan ruang tamu, berharap sosok laki-laki yang sejak semalam Ia tunggu datang. Tapi sampai semua makanan tertatapun, tak ada tanda-tanda kehadiran Daneil.
Bik Asih yang melihat wajah Nyonya mudanya yang kecewa, mulai merasa kasihan. Bagaimana bisa, Tuannya melakukan hal ini kepada Nyonyanya? Tidak tahukah jika Nyonyanya sudah sangat berusaha melakukan semuanya untuk lelaki itu.
"Ada apa Non?" Tanya Bik Asih saat Nyonyanya hanya terus menatap meja makan dengan pandangan sendu.
Amara menoleh, "Kenapa Daneil belum pulang juga?" Tanyanya tersenyum getir.
"Seperti yang Nona bilang, mungkin pekerjaan Tuan Daneil belum selesai." Hibur Bik Asih.
Amara mengangguk ringan, sebelum kemudian mulai menarik kursi untuk dirinya sendiri.
"Saya permisi ke belakang Non," ujar Bik Asih sopan. Setelah mendapat anggukan pelan dari Amara, Bik Asih dengan segera berlalu dari sana.
Setelah kepergian Bik Asih, Amara mengambil dengan tak minat nasi dengan sayur dan lauk yang barusan Ia masak. Setelah semua sudah komplit di piringnya, Gadis itu hanya mengudaknya tak minat. Nafsu, makannya sama sekali tak ada. Padahal Ia sudah tak makan dari semalam.
Ditengah kegelisahaan Amara, tiba-tiba saja Daneil muncul dari arah ruang tamu. Penampilan lelaki itu tidak perlu ditanyakan lagi. Bahkan orang bodohpun tahu, apa yang telah dilakukan laki-laki itu hingga pakaiannya terlihat kusut seperti itu.
"Daneil!" Amara dengan segera bangkit dari duduknya, berjalan menghampiri suaminya. Walaupun merasa tak nyaman dengan penampilan Lelaki itu, tapi Ia berusaha mengabaikannya. "Kenapa baru pulang?" Tanyanya kemudian.
Daneil terlihat menghembuskan nafasnya kasar, "aku sudah mengatakannya semalam, ada urusan yang harus aku selesaikan."
"Apa harus sampai tidak pulang?" Tanya Amara kembali, tanpa ekspresi.
Daneil menaikan alisnya melihat bagaimana gadis di hadapannya berusaha mengintimidasinya. "Kamu tidak akan tahu urusanku," balas Daneil.
Amara mengangguk sambil tersenyum miris, "yah kamu benar, aku tidak akan tahu urusanmu." Ujar Amara.
Daneil tak sama sekali ambil pusing untuk ucapan yang baru saja gadis itu ucapkan. Ia lebih memilih untuk berlalu pergi dari hadapan Amara. Sebelum, gadis itu kembali memberinya pertanyaan yang menjengkelkan.
Melihat suaminya berlalu, Amara melihat terlebih dahulu kepergian suaminya. Ia menghembuskan nafasnya lelah, sebelum kemudian menyusul langkah Laki-laki itu. Sampai di kamar ternyata suaminya sudah berada di dalam kamar mandi, terbukti dari suara gemericik air yang terdengar. Mengabaikannya, Amara mulai menyiapakan pakaian untuk suaminya kenakan. Walaupun Gadis itu tahu apa yang Ia lakukan akan sia-sia, tapi Ia tak peduli. Selesai melakukannya, Amara baru akan berlalu namun urung karena kakinya malah melangkah menuju kamar mandi di kamarnya.
Tok! Tok!! Tok!!!
Gadis itu mengetuk pintu kamar mandi, tak ada sahutan. Tapi, suara gemricik air tak lagi terdengar seolah orang yang berada di dalam sana sengaja mematikan sower untuk menantinya berucap.
"Aku sudah menyiapkan pakaianmu, Aku tunggu di bawah." Tak ada sahutan, hanya suara gemricik air yang kembali terdengar. Membuat Amara paham jika suaminya sudah mendengar ucapannya. Gadis itu kemudian berlalu dari sana.
Sedangkan itu, Daneil lebih memilih terus mengguyur tubuhnya di bawah air sower. Tangannya bertumpu pada kaca yang memang menjadi sekat. Laki-laki itu memejamkan matanya, menikmati air yang mengguyur tubuhnya.
"Andai waktu itu kamu menolak, mungkin hidupmu tak akan semenyedihkan ini."