Amara baru saja membuka pintu kamarnya, dan dia langsung disuguhi keberadaan Ayah mertuanya. Lelaki yang memiliki garis wajah Daneil itu terlihat tersenyum lembut padanya. Tentu saja Amara membalas dengan senyuman yang tak kalah lembut.
"Ada apa Dad?" Tanya Amara kepada Tom, apakah ada sesuatu hal yang penting hingga Ayah dari Daneil itu datang ke kamarnya.
"Apa Daneil di dalam?" Balas Tom bertanya, menunjuk pintu masuk kamarnya dan Daneil.
Amara mengangguk pelan, "iya," wajah gadis itu terlihat bingung bercampur penasaran.
"Yasudah, Dady ada perlu dengan Daneil. Kamu sudah di tunggu Momymu di bawah," Tom seolah memberikan isyarat agar Amara segera turun. Sehingga, gadis itu hanya menurut dengan mengangguk pelan.
"Ah, iya Dad. Aku ke bawah dulu kalau begitu," setelah mendapat anggukan dengan senyum dari Ayah mertuanya, Amara dengan segera berlalu untuk menemui Ibu mertuanya. Walaupun sebenarnya Amara penasaran apa yang akan Ayahnya lakukan dengan Daneil di dalam sana.
"Hai sayang, kamu sudah bangun?" Suara lembut milik Cintya menyadarkan Amara dari lamunannya. Gadis itu segera menghampiri Ibu mertuanya yang saat ini berkutat di dapur dengan sayuran dan bahan makanan lainnya. Dimana di sana juga terlihat Bik Asih yang membantu.
Amara mengambil alih sayuran yang saat ini Bik Asih pegang. "Biar aku aja Bik," ujarnya membawa sayuran itu ke wastafel untuk dicuci.
Bik Asih menurut, wanita lanjut itu pada akhirnya memilih undur diri. Sudah ada Nyonya mudanya yang membantu Nyonya besarnya memasak, jadi Ia lebih baik pergi dan menyelesaikan pekerjaannya yang lain.
"Kalau begitu saya permisi ingin menyiram bunga dulu Non, Nya." Ijin Bik Asih mengingat kini terdapat pekerjaan baru untuknya, yaitu menyirami bunga-bunga yang kemarin Nyonyanya beli. Bunga-bunga serta tanaman yang kemarin Nyonya mudanya tanam, bukankah perlu Ia siram agar tumbuh subur.
"Iya, Bik." Jawab Amara disela dirinya meniriskan sayuran.
Tanpa kata, Bik Asih berlalu pergi menuju dimana pintu belakang berada. Pintu yang juga menghubungkan dengan halaman depan rumah.
"Mom ingin membuat menu sarapan apa?" Tanya Amara membawa sayuran yang sudah Ia cuci kepada Ibunya yang terlihat sibuk mem-fillet daging ayam. Wanita paru baya itu terlihat mahir dalam mem-fillet ayam. Amara sempat berfikir jika Ibu mertuanya ini mungkin tak suka berada di dalam dapur, jika melihat dari penampilan Cintya. Tapi, ternyata dugaannya salah. Cintya malah terlihat sangat cekatan dalam mengelolah bahan masakan.
Cintya mendongak, menatap menantunya dengan senyum dikulum. "Mom mau bikin menu Ayam fillet saus tiram, makanan kesukaan Daneil." Cintya semakin mengulum senyum saat melihat respond Amara yang membulatkan matanya, nampak terkejut.
"Saus tiram?" Gumam Amara yang diangguki oleh Cintya.
"Iya, Daneil itu paling suka kalau Momy masakin Ayam saus tiram, dia pasti nambah. Makanya kamu juga harus bisa bikin, biar Daneil tambah cinta. Ayo, Momy ajarin!" Cintya memberikan kode pada Amara untuk mendekat, tentu saja Amara menurut.
Amara melihat dengan seksama bagaimana Ibu mertuanya yang dengan cekatan mengolah daging ayam. Sebelum kemudian wanita itu melumuri daging ayam itu dengan telur lalu tepung terigu. Amara benar-benar tak mau melewatkan seincipun pandangannya dari tangan Cintya yang dengan lihai mengelolah daging ayam itu, entahlah Amara hanya merasa jika Ia harus dapat memasak makanan kesukaan suaminya itu.
🌹🌹🌹
Tom memasuki kamar Daneil, bertepatan dengan pintu kamar mandi yang terbuka. Di sana terlihat Daneil yang keluar hanya dengan menggunakan celana selutut dan bertelanjang dada. Lelaki itu menghentikan gerakannya mengusapkan handuk di kepalanya saat menyadari keberadaan ayahnya.
Kening Daneil mengkerut bingung menatap ayahnya. "Ada apa Dad?" Tanya Daneil melangkah menuju lemari pakaiannya, mengambil asal kaos untuknya pakai. Ia sudah memutuskan untuk tak bekerja terlebih dahulu untuk hari ini, atau Ibunya akan kembali menjewer telinganya.
Tom melirik pada lipatan baju yang berada di atas ranjang yang rapi. Sebelum kemudian Lelaki paru baya itu tersenyum tipis, senyum yang menandakan kekecewaan. Ia memilih untuk melangkah menuju pintu kaca yang menghubungkan dengan balkon kamar putranya itu.
Tentu saja Daneil melangkah mengikuti Ayahnya, berdiri di belakang lelaki paru baya itu yang menumpukan tangan di atas pagar pembatas balkon. Tom terlihat memandang ke depan, tak tahu apa yang tengah dipikirkan lelaki paru baya itu.
Daneil mulai melangkah mendekati ayahnya, berdiri di samping lelaki paru baya itu. Ikut memandang ke depan, dengan kedua tangan masuk ke dalam saku celana.
Tom menoleh, memandang anak yang kata orang-orang mirip dengannya. Anak yang menjadi kebanggaannya dan Istrinya, Cintya. Anak tunggalnya, Daneil Lew Brown.
"Terima dia Daneil," ujar Tom pelan, wajah lelaki itu memandang reaksi anaknya.
Daneil langsung menoleh, memandang wajah ayahnya yang kini memandangnya tanpa ekspresi. Apa? Apa Ayahnya tahu jika Ia tak benar-benar dapat menerima Amara dan pernikahan ini?
"Apa yang Dad katakan? Aku tidak mengerti," jawab Daneil balas menatap wajah Ayahnya. Kini keduanya saling menghunuskan pandangan, seolah-olah berbicara dengan mata mereka.
Tom menghembuskan napasnya pelan, kembali memandang ke depan. Jangan dipikir Ia tak tahu, jika pernikahan anaknya tak berjalan sebagaimana mestinya. Sedari awal, Tom sudah mengetahui hal itu.
"Kamu tahukan, jika Momymu selalu tahu yang terbaik. Bukan hanya untuk Dad tapi juga untukmu." Tom tak sama sekali mengalihkan perhatiannya. Saat dirasa anaknya tak ingin membalas ucapannya, Tom kembali melanjutkan ucapannya. "Menurut Momymu, dia gadis yang terbaik untukmu begitupun juga Dad. Dad tahu, kamu belum bisa menerima Amara. Tapi apa salahnya, mencoba? Dad mohon, cobalah untuk menerima Amara juga pernikahan kalian." Lanjutnya memandang wajah anaknya dari samping.
Daneil terdiam untuk beberapa saat, tapi tangannya di dalam sana mengepal erat. Apa kata ayahnya tadi, cobalah. Oh, yang benar saja.
"Aku bingung, sebenarnya apa yang gadis itu berikan hingga Mom dan Dad terlihat sangat menyayanginya?" Tanya Daneil dengan senyum mencemoh, entah mencemoh pertanyaannya sendiri atau ayahnya.
Tom terlihat tak suka dengan ucapan anaknya. "Dia memberikan segalanya, kamu tahu itu." Ujar Tom datar dengan pandangan penuh arti.
Daneil terperangah saat mendengar nada suara ucapan Ayahnya, sebelum kemudian memalingkan wajahnya kembali. "Apa? Memangnya apa yang dia berikan?" Daneil menahan nada geraman dalam pertanyaannya.
"Maaf Dad, Daneil. Sarapan sudah siap, Mom menyuruhku untuk memanggil Dad dan kamu, Daneil."
Tom baru akan menjawab saat sebuah suara lembut mengintrupsi mereka dari belakang. Kedua lelaki itu kompak menoleh dan mendapati Amara yang berdiri di depan pintu balkon. Wajah gadis itu menunjukan ekspresi tak enak, karena telah menganggu. Tapi, ini perintah Ibu mertuanya dan Ia harus melaksanakannya.
Amara menggigit bibir bawahnya saat Daneil memandangnya tanpa ekspresi. Lelaki itu bahkan tak sama sekali membalas ucapannya, bahkan walaupun sekedar 'iya' ataupun 'baik'. Setidaknya, hanya agar Ayah mertuanya tak mengetahui tentang bagaimana hubungan mereka yang sebenarnya.
Tom tersenyum tulus pada menantunya, "ah iya, sebentar lagi Dad dan Daneil akan turun." ucapnya kemudian.
Amara mengangguk kecil, sebelum kemudian melangkah pelan berlalu dari hadapan kedua lelaki itu.
Tom kembali memandang putranya setelah menantunya berlalu. "Pikirkan ucapan Dad, Niel. Dad hanya tidak ingin kamu menyesal," setelahnya, Tom berlalu pergi meninggalkan Daneil.
Setelah Ayahnya tak terlihat dari pandangannya, Daneil menghembuskan nafasnya kasar. "Sial!" Umpatnya tak terima dengan ucapan Ayahnya.
Kenapa Ia harus menyesal? Bahkan hidupnya berjalan dengan lancar sebelum Amara hadir. Tapi setelah gadis itu hadir dalam hidupnya, kehidupannya malah menjadi kacau, berantakan. Jadi, bagian mana yang harus Ia sesali? Selain, gadis itu yang tiba-tiba masuk dalam hidupnya.
🌹🌹🌹
Cintya mengulum senyum, melihat Daneil memakan makanannya dalam diam. "Enakkan?" Tanya Cintya pada Putranya.
Daneil mendongak, memandang Ibunya yang tersenyum ke arahnya. "Momy tahu itu," ujar Daneil tak minat.
Cintya semakin melebarkan senyumannya, kemudian melirik Amara. "Itu Amara lo yang masak," ujar Cintya membuat si empu nama mendongak.
Tak tahu kenapa, mendengar ucapan Ibunya. Daneil merasa jika makanan yang kini berada di dalam mulutnya terasa hambar, sangat hambar. Hingga rasanya ingin lelaki itu muntahkan dari dalam sana. Tapi, yang dapat lelaki itu lakukan adalah memaksanya masuk ke dalam kerongkongannya dengan bantuan segelas air.
Daneil tersenyum tipis, sinis. "Ini masakan Momy, Aku tahu itu." Daneil tak percaya, tentu saja. Ibunya sudah sering memasakannya makanan ini dan Ia masih sangat hafal bagaimana rasanya, seperti makanan yang saat ini Ia makan.