Cling!
Tidak ada perubahan apa-apa, sih. Enggak ada yang berubah. Tadinya aku mikir ruangan ini berubah jadi lebih bersih, atau kami pindah ke dimensi lain yang lebih uwow. Nyatanya, cuma gaya Nona Rara saja biar terlihat seperti si tukang sihir.
Berkali-kali dia menjentikkan jemari. Kalau kalian pernah nonton film Upin Ipin ada tuh nenek-nenek yang mengacungkan tongkat sambil baca mantra pim pin pow! Seperti itulah keadaannya Kuntilanak berbaju merah ini. Aku hanya bisa menghela napas sambil memutar biji mata.
"Sudahlah, Non! Kayak gini pun udah worth it banget, kok. Apalagi ditemenin oleh nona yang samlohay ini." Aku tersenyum dan hendak mendekat ke arahnya.
"JANGAN MENDEKAT!"
Tiba-tiba saja dia membentakku dengan mata melotot. Aku kaget, sumpah!
"Ke ... kenapa, Nona?" jantungku berdegup tidak menentu.
"Kamu bau!" jawabnya sambil mengibas-ngibaskan tangan.
"Maaf, Non. Aku kentut barusan."
Astaga. Itu Kuntilanak tertawa terkikik-kikik. Lucunya di mana coba?
"Sudah kuduga. Ya ampun, udah lama aku tidak mencium bau kentut manusia. Ternyata masih tidak ada perubahan, ya? Tetap saja bisa bikin hidung pekak. Btw, siapa nama kamu tadi?"
Dia masih mengibas-ngibaskan tangan mengusir bau kentut yang menurutku biasa saja. Enggak sedahsyat bau bangkai di dalam rumah ini. Bangkai yang tidak aku ketahui gimana penampakannya.
"Namaku Astrea Bulan, Nona. Seperti yang sudah aku jelaskan di part sebelumnya. Mungkin Nona ada yang mau ditanyakan lagi?"
Dia menatapku tidak percaya. "Astrea Bulan itu yang kayak gimana, sih?" Dia mulai mendekat. Aku deg-degan. Gimana tidak deg-degan, ini hantu, Coy! Kuntilanak merah, pula! Ratunya kuntilanak.
"Itu ... yang warnanya merah ... Nanti Nona gugling saja. Banyak tuh fotonya." Sekarang kami berdiri berhadap-hadapan. Ya Tuhan, kalau dia bukan setan, mungkin aku akan jatuh cinta kepadanya. Wajahnya begitu cantik. Namun, sorot matanya yang dingin jelas menyiratkan sejuta luka yang masih menganga.
"Guggling? Bahasa apa itu?" tanyanya dengan wajah penasaran. Wajah kami hanya berjarak lima sentimeter. Ya Tuhan, hawa yang dipancarkan tubuhnya begitu dingin. Membuatku menggigil.
"Bahasa gaul, Nona. Artinya kayak search atau diterjemahkan sama dengan temukan/cari. Ya gitu, deh!" Aku jadi grogi gitu. Dia menatapku tajam. Seperti tadi, nyaris tidak berkedip.
"Kenapa kamu gugup, gitu? Kamu takut sama aku?"
Oh, tentu saja aku menggeleng dengan cepat. Kalau aku bilang takut, ntar aku malah dikasih penampakan aslinya. Ih, 'nggak kuat, Nyak!
"Kalau 'nggak takut, kenapa wajahmu pucat? Dadamu juga berdebar kencang!" Ya Tuhan, sekarang dia menempelkan telinganya di dadaku. Bau bunga rampai menguar dari rambut hitamnya yang panjang. Rasa aneh menjalar di seluruh tubuhku. Jangan bilang kalau deg-degan di jantungku ini pertanda aku sedang jatuh cinta?
"Hmmm, aku mendengar suara hatimu. Jangan kebanyakan menduga-duga. Kamu lagi sedang tidak jatuh cinta, kok!? Mana mungkin, seorang manusia sepertimu balambin love kepadaku, Sang Kuntilanak Merah." Dia mengakhiri kalimatnya dengan tertawa menakutkan.
Aku mendorong tubuhnya. Namun, aku justru terjerembab ke depan. Daguku sukses menyentuh lantai. Rasanya asoy geboy sekali.
"Ckckck, aku ini mahkluk hampa. Tidak bisa disentuh atau pun diraba. Kecuali aku menginginkan disentuh sama kamu." Dia menggerakkan kepalanya. Selaksa rambut panjang tiba-tiba berkelebat cepat, membetot leherku kencang.
Wajah kami kembali begitu dekat. Matanya melotot merah. Ada amarah yang tiba-tiba muncul di parasnya.
"Kalian laki-laki sama saja!"
Jeratan di leherku terasa semakin kencang.
Kayaknya aku pingsan dulu, deh. Yang ini aku yakin, aku pingsan seiring dengan tertawa mengikik ala Kuntilanak di tengah malam.